Warta JELANG MUKTAMAR

Dikritik, Semua Calon Ketua Umum PBNU dari Jawa

Sen, 15 Maret 2010 | 05:17 WIB

Jakarta, NU Online
Beberapa nama calon ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang akan dipilih dalam Muktamar ke-32 NU di Makassar semuanya berasal dari pulau Jawa. Hal ini menjadi perhatian khusus dalam Diskusi Terbuka Menyambut Muktamar ke-32 NU yang digelar oleh Pengurus Besar PMII di Taman Ismail Marzuki (TIM), Ahad (14/3) malam.

Saat ini ada enam nama yang mencuat sebagai kandidat ketua umum PBNU dan semuanya berasal dari Jawa. Slamet Effendi Yusuf dan Masdar Farid Mas’udi dari Jawa Tengah, Said Aqil Siradj dan Ahmad Bagdja dari Jawa Barat, sementara Salahuddin Wahid dan Ali Maschan Moesa dari Jawa Timur.<>

Ulil Abshar Abdalla yang dalam dialog terbuka itu juga disebut sebagai kandidat ketua umum juga berasal dari Jawa Tengah. Hanya Andi Jamaro Dulung yang disebut-sebut sebagai kandidat dari luar Jawa.

Dalam diskusi terbuka itu, Andi Jamaro Dulung sendiri, salah satu Ketua PBNU yang berasal dari Sulawesi Selatan, menyayangkan konsentrasi kaderisasi NU yang hanya berlangsung di Jawa. Bahkan ia menyoroti beberapa ketua badan otonom juga berasal dari Jawa, terutama Jawa Timur.

”Sekarang ini ketua Ansor, Muslimat, IPNU dan IPPNU semuanya dari Jawa Timur. Hanya Fatayat yang tidak, itu pun masih orang Jawa Barat juga,” katanya.

Menurutnya, proses kaderisasi di NU perlu dibenahi. Selain pemerataan kaderisasi di semua daerah, jenjang kaderisasi juga berlu ditata. Para putra kiai pesantren yang ingin berkhidmah di NU juga harus melalui jenjang kaderisasi tertentu.

Ditambahkan, beberapa persoalan kaderisasi ini juga terjadi di partai politik yang secara kultural berafiliasi dengan NU.

“Banyak kader, baik di NU maupun di partai politik yang telah dikader dari awal tapi kalah hanya oleh rekomendasi, karena mereka bukan ‘gus’ atau tidak berdarah biru,” katanya.

Pengamat sosial Laode Ida yang menjadi pembicara pembanding dalam diskusi terbuka malam itu juga menyoroti proses kaderisasi NU yang hanya terfokus di Jawa, terutama di kalangan pesantren.

“Orang-orang NU hanya mengurusi komunitas pesantren di Jawa dan sebagian di luar Jawa. Ini adalah jebakan sejarah karena NU memang dilahirkan di Jawa,” kata Laode yang menulis beberapa buku tentang NU.

Ia mengamati, selama ini kalangan NU cukup bangga dengan kulturnya, dan tidak terlalu fokus pada pembenahan organisasinya. “Kultur ini tidak diorganisasir dengan baik. Yang diorganisir hanya kiainya. Itu pun lebih banyak di Jawa,” katanya. (nam)