Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) NU di delapan kabupaten di Jawa Timur menunjukkan daerah-daerah tersebut belum memiliki kesiapan yang maksimal jika terjadi bencana yang datang tiba-tiba.
Kondisi ini tentu saja bisa menyebabkan terjadinya korban yang seharusnya bisa dihindari jika masing-masing daerah memiliki kesiapan yang maksimal pada penelitian yang dilakukan antara Juli-November 2010.<>
Ketua LPBINU Avianto Muhtadi menjelaskan UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah mengamanatkan pembentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tiga tahun setelah pembentukan UU tersebut atau di seluruh Pemda TK II tahun 2010, tetapi kenyataanya, masih sangat sedikit yang membentuknya.
Dari delapan daerah tingkat II yang diteliti, yang meliputi Bojonegoro, Lamongan, Mojokerto, Pasuruan, Lumajang, Malang, Trenggalek dan Tulungagung, lima diantaranya sudah memiliki BPDB sedangkan tiga belum.
Sayangnya, aturan penanganan bencana tersebut dibuat masih didasarkan pada aturan Peraturan Bupati (Perbup) bukan Perda yang memiliki kekuatan hukum dan anggaran yang lebih tinggi.
Ia menjelaskan, jika menggunakan Perbub, maka dana yang digunakan hanyalah dana on call jika terjadi bencana sementara jika Perda, maka ada anggaran khusus yang memang sudah dialokasikan jika terjadi bencana.
Dan on call tersebut merupakan dana bersama yang dikelola bupati melalui SKPD, yang kebutuhan dan pencairannya tergantung situasi yang ada. Jika terkait dengan bencana, maka dana on call hanya untuk kebutuhan tanggap darurat saja, padahal masih banyak persoalan bencana yang harus ditangani setelah itu.
“Penanganan bencana harus dilakukan secara komprehensif, mulai dari pra bencana sampai pasca bencana, bukan sekedar tanggap darurat saja,” katanya.
Dijelaskannya, aspek pra bencana sendiri terdapat beberapa tahapan seperti perencanaan, mitigasi dan kesiapsiagaan sementara pasca bencana juga meliputi tiga aspek, yaitu tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Masing-masing tahapan tersebut juga harus memperhatikan aspek sosial, ekonomi, politik dan lainnya.
Diakuinya, banyak daerah memang belum siap membentuk kelembagaan kebencanaan, diantaranya masalah anggaran dan SDM.
Disisi lain, pendirian lembaga kebencanaan juga penting agar tidak ada ego sektoral diantara berbagai dinas. Ia mencontohkan, dinas PU merasa berhak untuk penanganan rekonstruksi dibanding dinas lainnya sehingga bisa menimbulkan tumpang tindih.
Sejauh ini, berbagai kebijakan yang dikeluarkan juga masih bersifat top down, padahal ada mekanisme Musrenbang untuk menampung aspirasi masyarakat dalam berbagai kebijakan, termasuk dalam masalah bencana.
“Kita berharap agar masyarakat dan ormas juga dilibatkan dalam penanganan bencana karena mereka juga bagian dari aset masyarakat.” Katanya.
Pemerintah daerah diharapkan juga mengambil sikap yang lebih tegas terhadap kebijakan yang bisa menimbulkan potensi bencana seperti pengeluaran Amdal yang sembrono sehingga berpotensi merugikan masyarakat banyak.
Penelitian ini merupakan hasil kerjasama antara LPBI NU, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Australia-Indonesia Facilitaty for Disaster Reduction serta melibatkan sejumlah perguruan tinggi yang ada di daerah penelitian seperti STAIN Tulungagung, Unibraw, UNM, Unair, dan ITS dan komunitas yang selama ini terlibat dalam penanggulangan risiko bencana. (mkf)
Terpopuler
1
Kemenag Tetapkan Gelar Akademik Baru untuk Lulusan Ma’had Aly
2
LKKNU Jakarta Perkuat Kesehatan Mental Keluarga
3
Mahasiswa Gelar Aksi Indonesia Cemas, Menyoal Politisasi Sejarah hingga RUU Perampasan Aset
4
3 Alasan Bulan Kedua Hijriah Dinamakan Safar
5
Kopri PB PMII Luncurkan Beasiswa Pendidikan Khusus Profesi Advokat untuk 2.000 Kader Perempuan
6
Pentingnya Kelola Keinginan dengan Ukur Kemampuan demi Kebahagiaan
Terkini
Lihat Semua