Warta

Butuh Kearifan Untuk Memulihkan Aceh

NU Online  ·  Kamis, 24 Februari 2005 | 00:18 WIB

Banda Aceh, NU Online
Tidak mudah membangun kembali Aceh. Bencana dahsyat akibat gempa bumi dan tsunami di wilayah ini memang telah memorakporandakan sejumlah wilayah Aceh secara fisik. Akan tetapi, bencana lain yang tak kalah dahsyat adalah lunturnya jati diri keacehan mereka akibat kesalahan pemerintah pusat dalam menangani daerah konflik ini.

Pengaruh negara yang begitu besar terhadap Aceh di masa lalu, terutama sejak Orde Baru, telah menyebabkan hal-hal yang tipikal Aceh seperti ikut tergerus.

<>

Hal ini menyisakan pertanyaan besar : apakah masih tersisa semangat pada masyarakat Aceh setelah terkena musibah itu? Kalau ada, apakah sisa-sisa modal sosial, modal kultural, dan modal keagamaan yang masih bertahan pada masyarakat Aceh masih mampu diangkat ke atas? dimanakah letak akar persoalannya sehingga Aceh tak pernah dirundung musibah? Adakah nilai-nilai kultural yang mampu membangkitkan kejayaan Islam Aceh?

Dalam percakapan dengan NU Online, ketika menyerahkan bantuan PBNU kepada sejumlah pesantren di Nangroe Aceh Darussalam (23/2), Nashikin Hasan seorang aktivis LSM yang dekat dengan Gus Dur ini menyatakan bahwa untuk memulihkan kembali Aceh dibutuhkan kearifan dalam bentuk pemberian dorongan dari luar, terutama untuk membangun psikologis mereka. Mencari dan mengenali akar relegiousitas Aceh, yang merupakan gerbang Islam di bumi Indonesia. Ini penting dilakukan supaya masyarakat Aceh tidak merasa ditinggalkan. Jika persoalan ini tidak diselesaikan lebih dahulu, kata Nashikin, tidak akan ada langkah ke depan.

Jadi masalah psikologis dan kebutuhan fisik harus diselesaikan dahulu?

Benar. Gempa tsunami ini menghancurkan keseluruhan Aceh, bukan hanya dari segi fisik, tetapi juga dari segi mental masyarakat Aceh. Apa yang saya saksikan sendiri disini, banyak sekali warga Aceh yang linglung, banyak yang bertanya-tanya mengapa musibah ini menimpa mereka. Kalau dari segi ini dilihat, satu-satunya jalan adalah memberikan dorongan kekuatan untuk memengaruhi pemulihan mental dan psikologi masyarakat Aceh.

"Jadi dasar persoalan masyarakat Aceh sekarang ini; apakah mereka masih cukup mengenali kekuatan-kekuatan atau modal sosial dan kultural yang mereka miliki. Menurut saya, di sanalah problemnya sehingga yang diperlukan sekarang ini adalah dorongan dari luar masyarakat Aceh. Disamping perlu kesadaran masyarakat aceh sendiri untuk melawan tekanan dirinya dan lingkungannya," katanya di sela-sela pemberian bantuan PBNU di pesantren Darul Jahidin Lam Ateuk Aceh Besar.

Ini yang harus dilakukan dulu. Jadi, lanjut tim strategy pemulihan Aceh PBNU Peduli Tsunami ini, hal-hal yang konseptual harus sudah dimulai dilakukan tiga bulan ke depan tentang apa yang terjadi sekarang ini di Aceh. Lagi pula, apakah sisa-sisa modal sosial, modal kultural, modal keagamaan yang masih bertahan masih mampu diangkat ke atas? Sebab, di masyarakat Aceh-sejak zaman Orde Baru-tidak ada yang spesifik karena pengaruh negara sudah begitu kuat berpenetrasi. Ditambah dengan bencana yang mahadahsyat ini, hal- hal yang tipikal masyarakat Aceh dari segi mental, segi kebudayaan, dan seterusnya menjadi hilang. Belum lagi dengan adanya konflik-konflik bersenjata itu, yang menyebabkan mereka kian susah mengidentifikasikan diri mereka secara budaya maupun secara keagamaan.

Pada titik inilah, kata Nashikin perlunya gerakan budaya sebagai sebuah solusi dari hancurnya budaya Aceh dengan cara membangun kekuatan pendidikan melalui pesantren. Karena pendidikan melalui jalur pesantren jika dimulai sejak dini, dengan menanamkan nilai-nilai keislaman, semangat bangkit melawan keterpurukan, mengembangkan ekonomi lewat koperasi-koperasi di pesantren, anak didik (santri) di pesantren bisa menjadi khalifah--manusia yang unggul. "Inilah peluang NU untuk membangun pesantren menjadi pusat of excelent, pusat dari pemulihan baik fisik maupun mental karena semua resource di pesantren sudah tersedia," tandas  mantan pendiri Lajnah Kajian Pemberdayaan Sumber daya Manusia (Lakpesdam NU) dan P3m ini. (cih)