Warta

Benarkah Konstitusi harus Berdasar Qur’an tak Terbantahkan?

NU Online  ·  Senin, 19 Januari 2009 | 09:17 WIB

Jakarta, NU Online
Meskipun Indonesia sudah merdeka lebih dari 63 tahun, perdebatan tentang konstitusi yang menjadi dasar negara sampai saat ini terus mengemuka. Kalangan Islam konservatif atau golongan salafy selalu menyuarakan Al Qur’an sebagai konstitusi.

Benarkan konstitusi tertinggi sebuah negara harus Al Qur’an, pernyataan ini seolah tak terbantahkan, tapi jika ditelusuri lebih jauh, konsep yang mendasari sebuah kitab suci dan konstitusi berbeda.<>

“Konstitusi merupakan kalimat singkat, tapi padat berisi prinsip bagaimana kita hidup bersama, sementara Al Qur’an ada 6666 ayat dengan berbagai isi, ada bumi-langit, ibadah dan lainnya. Tidak pada tempatnya ini kalau jadi konstitusi, Qur’an kita tampatkan jauh diatas konstitusi ini,” kata Ketua PBNU Masdar F Mas’udi dalam sebuah acara baru-baru ini.

Alasan lainnya, konstitusi akan selalu mengalami amandemen sesuai dengan perkembangan zaman sementara Al Qur’an akan terus bertahan sampai dengan akhir zaman.

Ditegaskan oleh Masdar, Pancasila yang menjadi dasar negar Indonesia juga sejalan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam Islam seperti ketuhanan, keadilan sosial, persatuan, kemanusiaan dan musyawarah.

“Pancasila, merupakan satu kesepakatan agung. Memang, di dalam Pancasila hurufnya latin, tapi pemahaman agama yang tidak berhenti pada huruf saya kira penting. Dalam al Qur’an sudah disindir orang yang menyembah Alllah secara harfiah dan memahami agama kalau hurufnya bukan huruf Arab dianggap tidak Islami,” imbuhnya.

Polemik mengenai dibuangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yang merupakan konsep awal UUD 1945, dinilai oleh Masdar juga terlalu berlebihan. Rasulullah sendiri dalam sejarahnya juga pernah membuang tujuh kata, yaitu Muhammadur Rasulullah dan Bismillahirrahmanirrahim dalam Piagam Madinah yang merupakan perjanjian dengan masyarakat plural di Madinah. Perjanjian ini akhirnya menjadi dasar bagi kehidupan yang damai.

“Sesungguhnya problem kita saat ini adalah bagaimana mengisi dan menjabarkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata, bukan jargon-jargon politik, terutama pada masa seperti ini,” tegasnya.

Bagi NU, NKRI dan Pancasila dianggap sudah final, mempersoalkan hal-hal tersebut sama dengan memubadzirkan energi yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun bangsa menjadi lebih baik. (mkf)