Warta

Beayun Maulid Masyarakat Banjar

Sen, 21 Februari 2011 | 05:22 WIB

Masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah. Masjid juga bisa menjadi tempat melestarikan seni budaya dan tradisi ritual yang memperkuat persatuan masyarakat, bahkan memperkaya kegiatan keagamaan itu sendiri.
Inilah yang menjadi kekuatan dan daya tarik masjid tua bernama Masjid Keramat Al Mukarromah di Banua Halat, Kecamatan Tapin Utara, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.

Tempat ibadah itu menjadi semarak karena berlangsung tradisi ritual baayun maulid, yakni prosesi mengayun anak (sekarang juga diikuti orang dewasa) di lingkungan masjid tersebut.

Masjid berukuran 30 x 30 meter itu dibanjiri warga pelbagai daerah. Mereka<> yang datang umumnya masih keluarga atau zuriat (turunan) dari orang yang lahir di Banua Halat. Hari itu pun akhirnya menjadi acara reuni keluarga, seperti pada Idul Fitri dan Idul Adha.

Prosesi baayun maulid diperkirakan sudah ada sejak masuknya Islam di daerah itu pada awal abad ke-17. Baayun sendiri bukan datang dari tradisi Islam. Tradisi ini diperkirakan terkait dengan kebiasaan dan kepercayaan masyarakat setempat yang sudah ada sejak lama dan terus bertahan. Penduduk asli Banua Halat memiliki hubungan keturunan atau kekerabatan dengan warga Dayak Bukit yang tinggal di Pegunungan Meratus, Kalsel.

Daerah itu sendiri dinamakan Banua Halat karena kampung tersebut dinilai sebagai pahalat atau pembatas antara warga yang beragama Islam dan penduduk yang masih menganut kepercayaan tertentu. Meski telah memeluk Islam, tradisi baayun tetap dipertahankan.

Masjid tersebut diperkirakan didirikan pada masa Kerajaan Banjar tahun 1890 di bawah pimpinan Sultan Muda Abdurrahman. Pada 1910, masjid itu dibakar oleh pasukan kolonial Belanda, namun kemudian dibangun kembali dan baru selesai pada 1914. Pada 1993 masjid tua di Banua Halat itu ditetapkan sebagai cagar budaya.

Upacara baayun maulid di Banua Halat ini adalah yang terbesar dari segi peserta. Tradisi ini tidak lagi dinamakan baayun anak, tetapi baayun maulid karena banyaknya orang dewasa yang ikut serta. Setiap tahun jumlahnya terus meningkat. Pada Selasa, 15 Pebruari 2011 kemarin, malah ada peserta umpat (ikut) beayun Maulid yang berusia 100 tahun.

Menurut Kepala Bagian Seni Budaya, Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tapin, Ibnu Mas’ud, di sela-sela kegiatan di Desa Banua Halat yang berjarak sekitar 7 kilometer dari Kota Rantau, ibukota Tapin, peserta tua itu seorang wanita.

“Beliau bernama Rabiah, warga Desa Linuh, Kecamatan Bungur, Tapin, yang bernadzar akan ikut baayun Maulid bila diberi Allah SWT umur yang panjang 100 tahun,” ujarnya sebagaimana dikutip Media Kalimantan beberapa hari lalu.

Untuk peserta termuda adalah seorang bayi berusia 40 hari. Ardian namanya, warga Desa Banua Halat Kiri. Tidak hanya anak-anak, tapi juga orang dewasa. Bahkan sejumlah pejabat pemerintahan daerah pun tak mau ketinggalan ikut diayun.

Ritual baayun Maulid sendiri mulai diagendakan Pemerintah Kabupaten Tapin sebagai kalender wisata religius sejak 1997. Setiap tahunnya, jumlah peserta selalu bertambah banyak.

Pada 2008 lalu tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan peserta terbanyak, yaitu 1.557 orang. Pada pelaksanaan 2011 ini, jumlah peserta bertambah 2 kali lipat lebih dari pelaksanaan 2008 dan rekor MURI kembali dipecahkan.

“Kali ini jumlah peserta seluruhnya sebanyak 3.741 orang yang terdiri dari 1.714 anak-anak dan 2.027 dewasa,” katanya.

Untuk peserta paling jauh yang mengikuti ritual kali ini berasal dari Jakarta. “Tahun-tahun sebelumnya, peserta biasanya dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam,” tambahnya.

Biasanya, peserta dari luar Kalsel yang datang adalah etnis Banjar atau keturunan Banjar yang telah bermigrasi. “Tujuan mengikuti baayun Maulid itu beragam, seperti menunaikan nadzar, sebagai wujud syukur kepada Allah karena sembuh dari sakit, atau sekadar meramaikan saja,” katanya.

Tujuan sebenarnya adalah agar yang ikut baayun Maulid senantiasa berkecukupan secara ekonomi, kuat ingatan dalam mempelajari ilmu agama, dilimpahkan kebahagiaan, dan memiliki keteguhan iman.

Untuk mengikuti acara ini peserta dipungut biaya pendaftaran sebesar Rp 50 ribu yang akan dipergunakan panitia membeli semua perlengkapan seperti kain untuk ayunan dan beragam sajian.

Kain ayunan dan sajian akan menjadi hak milik dan boleh dibawa pulang oleh peserta pasca kegiatan usai dilaksanakan. Sementara kegiatan yang sama dilakukan di Banjarmasin, tepatnya kawasan Masjid Sultan Suriansyah. Seperti halnya di Banua Halat, Tapin, tujuan baayun Maulid ini juga bertujuan sama. Hanya saja, seluruh peserta baayun didominasi bayi dan bocah.

Tradisi ritual baayun

Pada masyarakat suku Banjar dan Dayak di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, kegiatan baayun bukan sekadar menidurkan anak. Baayun adalah tradisi yang menjadi bagian beberapa ritual dalam proses peralihan dari bayi sampai menjadi anak yang sudah bisa tidur sendiri. Dari sisi ini aneh jika ada orang tua pengen diayun.

Ayunan dari tapih bahalai (kain batik panjang) yang diikat dengan tali dan digantung membentuk huruf “U” hampir dipastikan selalu dijumpai di rumah-rumah warga di daerah itu. Ayunan tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan masyarakat Banjar sejak dulu hingga kini.

Ayunan biasanya dipertahankan sampai sang anak sudah bisa tidur sendiri di ranjang, yakni pasca umur tiga-empat tahun.

Karena sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, tidak mengherankan kalau masyarakat Banjar kemudian memiliki pelbagai jenis upacara mengayun bayi dengan nilai kepercayaannya sendiri.

Bagi bayi yang baru lahir, ada beberapa tahap upacara yang harus dilalui, yakni pada saat memotong tali pusar, membersihkan dan mengubur tembuni, membisikkan azan dan iqamat, serta mengadakan acara kesenian bertutur seperti bakisah, balamut, atau basyair. Namun, ketiga acara kesenian terakhir sudah jarang dilakukan, digantikan dengan tadatusan Al-Qur’an.

Setelah bagian pusar bayi mengering–disebut lepasnya tali tangkai pusat–diadakan prosesi adat memangku. Untuk mulai diayun, biasanya pasca bayi berumur 40 hari, diadakan bapalas bidan, yakni upacara mengayun anak untuk melepaskan pengaruh magis dari bidan dan memastikan anak itu menjadi anak kedua orangtuanya. Upacara ini juga disebut ritual baayun bidan.

Proses mengayun tersebut ada dua bentuk, yakni dipukung, yaitu bayi diayun dalam posisi duduk, dan barabah, bayi dalam posisi tidur terlentang di ayunan. Selain tapi bahalai, kalangan tertentu menggunakan kain sarigading bercorak naga balimbur. Namun, kain ini jarang dipakai karena sudah sangat langka.
Hatta, seorang bayi juga akan mengikuti prosesi baayun maulid. Upacara ini dipercaya mencegah bayi rewel dan sakit-sakitan, juga sebagai bentuk tolak bala dari pengaruh-pengaruh jahat.

Sejak Kerajaan Banjar

Sebagian tatuha (pemuka masyarakat) Banjar mengatakan, baayun maulid ini sudah ada sejak berdirinya Kerajaan Banjar. Tradisi ini dilaksanakan untuk anak-anak keluarga kerajaan yang lahir pada bulan Safar. Bulan ini dipercaya sebagai bulan penuh bala. Itu sebabnya, anak-anak wajib mengikuti acara tersebut sebagai bentuk ritual tolak bala.

Tradisi baayun sudah ada sebelum Islam masuk, terjadi asimilasi kebudayaan lama dengan Islam. Baayun kemudian menjadi bagian dari tradisi Islam Banjar setelah diperkenalkannya perayaan maulid di Kalsel oleh Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari pada abad ke-17.

Selain baayun maulid, yakni upacara pengayun anak dengan diiringi proses pembacaan syair-syair maulid, ada pula baayun madihin (upacara ayun anak dengan melakukan syair madihin), baayun wayang (upacara ayun anak yang didahului pertunjukkan wayang kulit Banjar), baayun topeng (upacara ayun anak yang disertai pergelaran tarian topeng Banjar).

Tradisi baayun memang merupakan tradisi lama sebagai ritual peralihan tahap kehidupan seseorang menjadi anak manusia. Tradisi ini kini bahkan sudah menjadi bagian dari tradisi ritual Islam Banjar. Hakikat upacara adalah sebagai sarana membangun dan menyempurnakan akhlak dan moral mulia, sebagaimana tugas Nabi Muhammad SAW membawa Islam yang penuh kedamaian terhadap sesama manusia dan alam.

Laporan dari Muhammad Iqbal, dosen STAI Al-Falah, Banjarbaru, Kalimantan Selatan).