Warta

Balimau, Tradisi Menjelang Ramadhan di Ranah Minang (2-habis)

NU Online  Ā·  Ahad, 8 Agustus 2010 | 00:17 WIB

Masyarakat yang menyelenggarakan (mandi) balimau mengharapkan dapat membersihkan diri memasuki bulan puasa Ramadhan. Karena (ba)limau yang digunakan terdiri dari bunga-bungaan yang harum. Balimau berarti membersihkan diri untuk melaksanakan ibadah puasa.

Belakangan, kegiatan balimau mulai disalahgunakan oleh sebagian masyarakat, terutama kalangan generasi muda. Balimau lebih banyak dilakukan di tempat pemandian umum sehingga terjadilah percampurbauran antara kaum Adam dengan kaum Hawa.<>

Praktek ini tentu sudah melenceng dari tujuan semula dan melanggar nilai-nilai agama. Bahkan dalam pelaksanaannya, balimau juga mengundang bahaya, kecelakaan. Sampai ada yang tidak dapat melaksanakan shalat tarwih perdana karena terlambat pulang balimau. Lantas, masihkah perlu balimau dipertahankan?

Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Propinsi Sumatera Barat sendiri terkait dengan tradisi Balimau, sudah mengeluarkan himbauan saat malam Lailatul Ijtima Kamis (5/8/2010) lalu. Menurut PWNU Sumbar, balimau jangan sampai mengganggu amal ibadah puasa.

Masyarakat yang pergi balimau diharapkan sudah kembali ke rumah masing-masing waktu shalat Ashar. Jangan sampai tiba di rumah sudah malam dan tidak bisa melaksanakan tarawih. Sebaiknya, balimau tersebut yang hakikinya adalah mensucikan diri dengan permohonan maaf kepada orangtua dan para tetangga. Bukan dengan mandi-mandi yang bercampur laki-laki dengan perempuan di tempat terbuka.

Akhir-akhir ini memang balimau disalahartikan. Sehari atau beberapa hari menjelang Ramadhan masuk, mereka berbondong-bondong mengunjungi obyek wisata. Disana mereka berkumpul laki-laki perempuan. Ironisnya disertai mandi-mandi antara laki-laki dan perempuan.

Bagi masyarakat yang mengikuti kegiatan balimau memang beragam penafsiran. Ada diantara mereka balimau ke obyek wisata hanya sebagai hiburan semata. Sepulang balimau, mereka kembali mandi balimau (pakai limau yang terdiri dari bunga-bungaan) di rumah masing-masing. Ada juga beralasan, balimau untuk mempererat silaturrahmi dengan teman-teman. Sekalian saling bermaaf-maafan dengan kawan-kawan.

Sementara bagi remaja yang lagi dimabuk asmara, kesempatan balimau dimanfaatkan untuk saling berdua-duaan. Kelompok inilah yang paling banyak menyalahgunaan makna balimau menjelang Ramadhan. Mereka bukan mensucikan diri dengan balimau, tapi malah menambah dosa dengan perbuatan yang melanggar norma dan nilai agama.

Di Pariaman, ada lagi tradisi bagi pasangan suami isteri yang baru menikah, menjelang Ramadhan biasanya sang isteri mengunjungi orangtua (keluarga) suaminya. Biasanya dinamakan maantakan simbareh (mengantarkan serabi) ke rumah mertua. Makanya bulan Sya’ban disebutkan juga bulan simbareh. Saat itu, sang isteri bersilaturrahmi dan mensucikan diri dengan permohonan maaf kepada keluarga suaminya. Karena beberapa hari kemudian memasuki bulan suci Ramadhan.

Sepertinya perlu direnungkan, bukankah balimau hanya pembersihan fisik, lahiriah. Sedangkan di sisi batiniah, ā€œkotoran-kotoran’nya tak pernah dibersihkan dengan balimau hati. Jika sang hati masih dipadati ā€˜kotoran’, sifat iri dengki, tamak, rakus, sombong, kikir, egois dan seterusnya, mungkinkah bulan Ramadhan penuh berkah itu dapat memberikan nilai tambah bagi kehidupan kita? Hanya diri sendirilah yang dapat menjawabnya. (Bagindo Armaidi Tanjung)