Warta

Bagdja: Harus Diakui SBY Lebih Populer

NU Online  ·  Kamis, 23 September 2004 | 08:55 WIB

Jakarta, NU Online
Berkaitan dengan kekalahan Mega atas SBY, Ahmad Bagdja, salah satu tim sukses Mega Hasyim mengakui bahwa terdapat masalah pencitraan yang dihadapi oleh Mega yang dianggap oleh banyak kalangan sudah tidak layak lagi jadi presiden.

“Harus diakui bahwa SBY lebih populer daripada Mega, misalnya dicitrakan bahwa pemerintahan yang lama itu kurang tegas tentang korupsi, membangun pemerintahan yang bersih, dll. Penjelasan-penjelasan yang diberikan tidak bisa mengalahkan kesan masyarakat bahwa pemerintahan Mega tidak tegas,” ungkapnya kepada NU Online ketika ditemui di Gedung PBNU (23/09).

<>

Dalam hal ini, juga harus diakui bahwa banyak kalangan NU yang mencoblos Mega Hasyim karena faktor Hasyim Muzadi sebagai pemimpin NU. “Dibeberapa daerah seperti Blitar dan Kuningan Jawa Barat, banyak nahdliyyin mencoblos atas nama Hasyim, bukan Mega,” tandasnya.

Dari sudut pandang kerja yang sudah dilakukan oleh tim sukses selama ini, secara umum instrumen mesin politik tidak sampai ke bawah dan kurang efektif. Ini terjadi karena koalisi kebangsaan yang dianggap sebagai pengumpul suara ke bawah, tapi kenyataannya dia juga tidak efektif.

Bagdja menjelaskan bahwa sebenarnya dari sisi internal NU sebenarnya instrumennya sudah siap, “Cuma untuk mendorong untuk instrumennya efektif sampai bawah, itu kan memerlukan biaya, dan itu yang tidak ada,” tandasnya.

Persoalan lainnya adalah ada juga kekecewaan dengan adanya koalisi kebangsaan yang melibatkan Golkar. “Kan nga serta merta orang menganggap Golkar sebagai figur yang memiliki daya tarik, kita lupa akan hal ini,” ungkapnya.

Lainnya adalah koordinasi antara NU dan koalisi kebangsaan tidak begitu memuaskan, memang NU kan bukan partai politik, itu memang kita sadari setelah tahu koalisi kebangsaan juga tidak efektif seperti yang kita ketahui. “Ada juga masyarakat yang kecewa, meskipun kecil dengan kredit yang mau dikasih dari bank, kan sudah disebar formulirnya, akan tetapi tidak jadi,” tambahnya.

Suara NU dalam pilpres saat ini juga tidak kompak karena banyak hal. Ketua Foksika PMII tersebut menjelaskan bahwa hal ini terlihat dari banyaknya kyai yang mengkampanyekan calon lain. Hal tersebut juga terjadi di kalangan politisi NU yang sebenarnya juga diharapkan kompak memilih Mega Hasyim. “Juga faktor Gus Dur, tidak memilih, bahwa dikesankan oleh orang bahwa ia berbeda dengan Hasyim. Ini membikin warga NU tidak kompak,” tandasnya.

Realitas ini mematahkan asumsi bahwa suara NU tidak dapat disatukan. “Ke depan, pengalaman-pengalaman sekarang ini merupakan proses pendewasaan politik dalam rangka meraih cita-cita yang lebih besar dan masyarakat juga yang menentukan perubahan, saya kira elit NU, baik struktural, kultural, maupun politik ke depan harus ada figur kelompok yang bisa mempersatukannya,” tandasnya.(mkf)