Warta

AS Campuri Selat Malaka untuk Alasan Ekonomi

NU Online  ·  Rabu, 9 Juni 2004 | 05:57 WIB

Bengkulu, NU Online
Keinginan AS untuk ikut memainkan peran di Selat Malaka dengan dalih alur pelayaran tersebut tidak aman, adalah suatu kebohongan, karena tujuan utama AS adalah untuk alasan ekonomi.

Pengamat hukum dari Universitas Bengkulu, Amirizal SH. MHum, Rabu, mengatakan, Selat Malaka merupakan alur lalulintas paling ramai yang melintasi dua benua dan dua samudera dan itu merupakan jalur perdagangan sangat komersil.

<>

Bila negara adidaya itu tidak campur tangan dalam mengatur lalulintas di Selat Malaka, AS mungkin saja menilai kepentingannya jadi dirugikan misalnya beralihnya arus lalulintas perdagangan internasional dari Singapura.

Malaysia sendiri sudah membangun pelabuhan bebas cukai seperti Hongkong dan Taiwan yang tentunya bisa mengancam Singapura dan pada akhirnya berpengaruh terhadap AS.

Bila AS masuk ke Selat Malaka, akan memberikan dampak yang cukup signifikan seperti kedua negara Indonesia dan Malaysia tidak lagi bebas dalam mengelola kedaulatan.

Bisa juga setelah AS menancapkan kukunya di Selat Malaka, negara itu akan mengambil peran lebih besar, sehingga yang hidup justru lalu lintas di Singapura.

Dampak politis dari keinginan AS itu, akan membuat kelompok ekstrimis agama, etnis dan ekstrimis nasional jadi marah dan pada akhirnya bisa merepotkan pemerintah Indonesia dan Malaysia.

Ia mengatakan, Indonesia dan Malaysia yang merupakan negara berdaulat harus menolak keinginan AS itu. Kalaupun nanti hal tersebut tidak mungkin dilakukan mengingat hegemoni AS, kerjasama yang dilaksanakan harus jelas dan berbentuk "multilateral agreement".

"AS ibaratnya kini sedang menggiring bola dengan isu ketidakamanan di Selat Malaka, tapi jangan Indonesia dan Malaysia jadi dirugikan," ujarnya.

Amirizal menyatakan, apa yang dilakukan AS dengan upaya menegakkan kedaulatan hukum dinegara lain adalah suatu intervensi.

Tapi harus disadari di AS sendiri ada hukum internasional yang mengatur masalah terorisme sehingga apa yang dilakukan negara itu akhirnya bisa dipahami.
 
AS sendiri sepertinya tidak percaya dengan kemampuan aparat kemananan Indonesia dan Malaysia untuk menciptakan jalur yang aman tidak hanya dari kegiatan perompak, tapi juga teroris dan perdagangan narkoba.

Indonesia sebenarnya sudah membuat UU tentang kelautan tahun 1994. Begitu juga dalam konvensi hukum laut internasional ketiga, sehingga sudah jelas bahwa Indonesia berdaulat atas Selat Malaka.(mkf/an)