Ada sebuah kisah menarik berupa pergaulan antara Kiai dan Pastur. Dua pemimpin agama ini akrab sekali. Suatu saat ketika pergi ke suatu desa terpencil, keduanya terpaksa harus menyeberang sungai. Tetapi Pastur itu kebetulan takut pada air sehingga Sang Kiai menawarkan untuk gendong.
Sesudah sampai di daratan, Sang Kiai berkata pada Pastur. “Wah hebat sekali, ternyata hari ini pastur sudah naik haji,” ujar Pastur kepada Kiai yang kebetulan sudah menunaikan ibadah haji itu.<>
Sang Kiai kemudian bergantian menjeburkan pastur ke sungai. Setelah pastur dijeburkan, Sang Kiai terkekeh, ngakak. “Pastur pun bertanya kenapa ketawa, Kiai?”. Kiai pun menjawab: “Baru kali ini, ada Kiai membaptis pastur,” jawab Sang Kiai sembari tersenyum. Tentu saja, kontan keduanya tersenyum geli.
Guyonan dua tokoh agama itu disampaikan Tokoh Budayawan Ahmad Tohari saat mengisi dialog Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di gedung KORPRI, Brebes Jumat (18/3).
Menurut penulis Novel Ronggeng Dukuhparuk itu, dari guyonan konyol itu dapat ditarik pelajaran bahwa mereka itu, orang-orang yang benar-benar menyembah Tuhannya, bukan agamanya.
Jadi yang dia sembah Tuhan, selain Tuhan, termasuk agama adalah suatu hal diluar Tuhan sendiri. Jadi memisahkan antara Tuhan dengan Agama.
“Bayangkan, kalau umat beragama itu, memandang agama ya tuhan, tuhan ya agama, jadi berabeh,” ujarnya.
Sehingga pertaruhannya menjadi sangat mahal. Bahkan kadang-kadang bukan Tuhan yang dipuja-puja tapi agama yang sangat dipuja-puja.
Pengasuh pondok pesantren Al Falah Jatilawang Banyumas itu menilai, banyak orang NU menempatkan NU dengan Islam sendiri, sama dengan agama sendiri, sama dengan gusti Allah sendiri. Sehingga pertaruhan ke-NU-an sama dengan pertaruhan keagamaan.
“Ini yang menurut saya, perlu kita koreksi. Betul yang kita sembah Tuhan, lanjutnya, bukan agama, bukan paham. Sehingga kalau kita punya tetangga sama-sama Islam tapi lain paham, apakah saya perlu meng-NU-kan orang Muhammadiyah, misalnya? Tidak perlu, sama sekali tidak perlu!,” tandasnya.
Tetapi, kata Ahmad Tohari, akan lebih mengena bila kita memberdayakan saudara Muhammadiyah dalam hal kesalehan sosial, dan peningkatan ekonomi. “Itu perlu, dan itu berpahala. Tapi meng-NU-kan orang Muhammadiyah, tidak perlu,” ungkapnya.
Tohari masih bertanya-tanya apakah apakah mengislamkan orang kristen berpahala atau tidak? Tapi dia yakin kalau kita mengajak orang Kristen yang tadinya suka bermabuk-mabukan supaya berhenti mabuk, supaya badannya sehat. Menurut Tohari lebih berpahala.
Untuk itu, dia mengingatkan agar konsep tentang model dakwah yang masih feodal, seperti 1000 tahun yang lalu berupa memperbanyak umat agar dimodifikasi lagi. Agar tidak terjadi perpecahan umat seagama maupun antar umat agama. Renungkan konsep dakwah yang sudah berabad-abad, terutama bagi agama-agama dakwah seperti Islam dan agama Kristen Katolik.
“Tolong dimodernkan konsep. Jangan pakai konsep jaman pertengahan,” pintanya.
Dimasyarakat awam, mengkatolikan orang kristen disebut kebaikan. Dan keliru lagi, ada kelompok yang mau mengislamkan orang Islam. Sangat keliru, karena seakan-akan lebih benar sendiri.
“Konsep-konsep yang seperti ini, pikirkanlah lebih dalam kalau kita sudah berada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Renungkanlah,” ajak Tohari. Sebab, konsep-konsep menambah umat, berpotensi mendatangkan masalah, selama konsep yang berumur ribuan tahun itu tidak diperbaharui.
“Meningkatkan kualitas orang, siapapun, agama apapun menurut saya berpahala. Tolong direnungkan oleh tokoh agama islam, keristen, NU, Muhammadiyah,” tandasnya.
Tohari menjelaskan, menurut kebudayaan jawa, agama itu artinya pakaian. Agomo ageming aji. Jadi agama itu pakaian. Insya allah saya datang ke sini, batin saya berpakaian islam. Apakah pakaian itu membawa saya pantas dan menyenangkan untuk bergaul di ruang ini?
Dengan agama, manusia menjadi lebih beradab. Bukan malah tidak beradab. Menjadi pantas dipergauli, menjadi beradab. Bangun agama sebagai ageman (pakaian) batin. Ageman moral. Sehingga kita beragama menjadi pantas, hidup beradab. Pantas hidup di dalam masyarakat. (was).
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
2
Khutbah Idul Adha: Menanamkan Nilai Takwa dalam Ibadah Kurban
3
Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama
4
Khutbah Idul Adha: Implementasi Nilai-Nilai Ihsan dalam Momentum Lebaran Haji
5
Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa 1446 H: Makna Haji lan Kurban minangka Bukti Taat marang Gusti Allah
6
Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan
Terkini
Lihat Semua