Warta

Agama Di Indonesia Terlalu Tekankan Hubungan Vertikal

NU Online  ·  Kamis, 14 Agustus 2003 | 19:05 WIB

Jakarta, Nu.Online
Rais 'Aam Syuriah PBNU,  KH Sahal Mahfudh menilai, agama di Indonesia terlalu menekankan hubungan vertikal, sedangkan hubungan herisontal antar-sesama dan alam masih sangat rendah. Fungsi kemanusiaan yang diajarkan agama belum begitu menonjol, katanya pada seminar Pendidikan Bernafas Agama di Semarang, kemarin.

Implikasi dari sikap tersebut, ujarnya, menonjolnya budaya ritualistik, antara lain pada perayaan Natal, Lebaran atau saat Ramadan. Di luar itu kembali seperti biasa, tidak ada apa-apa lagi. Ia mengatakan, nilai-nilai spiritual yang berpihak pada kemanusiaan masih lemah. Kekerasan terjadi di mana-mana, korupsi belum ada tanda-tanda berkurang, bahkan transparan, padahal mengaku manusia religius.

<>

Mbah Sahal mengatakan, agama menurut pendapat ulama adalah ketentuan-ketentuan Illahi yang bisa mendorong orang yang berakal sehat untuk melakukan hal yang baik.Fungsi agama, katanya, bukan saja legalitas formal, tetapi luas sebagai pembimbing, tuntunan dalam kehidupan manusia.

Ia menegaskan, pluralitas keberagamaan di Indonesia belum sepenuhnya menjadi potensi, bahkan akhir-akhir ini perbedaan agama dituduh sebagai potensi konflik. Selama ini, pendidikan agama itu suatu pengajaran yang belum pada internalisasi, sehingga sangat formal dan belum dihayati dalam kehidupan. "apalagi menjelang HUT kemerdekaan ini, seharusnya aktualisasi nilai-nilai agama lebih diinternalisasikan dalam memaknai kehidupan berbangsa dan bernegara agar tercipta nuansa beragama yang toleran," ungkapnya.

Ia juga menyesalkan, agama hanya sebagai aspek legal formal. Masyarakat agamis melakukan agama karena sifat emosional sehingga fungsi disampingkan. Ia memberi contoh, sholat hanya sebagai ritual formal, secara fungsional belum dihayati dan dimaknai dalam kehidupan. Ternyata yang sholat juga melakukan kejahatan.

Orang banyak mengatakan bahwa Indonesia religius, agamis, bukan sekuler, tetapi religi-religi yang dilaksanakan masih legal formal, secara fungsional belum dihayati, sehingga menjadi potensi konflik, demikian dikatakan KH. Sahal Mahfudh (Cih)