Syariah

Memilih Bahagia atau Sedih di Hari Asyura?

Sel, 10 September 2019 | 16:15 WIB

Memilih Bahagia atau Sedih di Hari Asyura?

Tanggal 10 Muharram menyimpan sejarah kesedihan dan kebahagiaan sekaligus. (Ilustrasi: masrawy.com)

Hari Asyura mempunyai sejarah panjang. Di antaranya adalah momen diselamatkannya Nabi Musa bersama kaum Bani Israil dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Saat itu Nabi Musa diperintah Allah memukulkan tongkat yang biasa ia gunakan untuk berjalan dan menggembala kambing ke laut. Dengan berbekal tawakkal penuh, tiba-tiba terbelahlah  lautan menjadi daratan atas izin Allah subhanahu wa ta’ala. Setelah Nabi Musa lewat, Fir’aun dan tentaranya pun ikut mengejar, tapi Allah berkehendak menutup jalan dan kembali menjadikan lautan sebelum Fir’aun melewatinya. Dengan demikian, Nabi Musa bersama sahabat-sahabatnya selamat, sedangkan musuh-musuhnya celaka.
 
 
Atas kebahagiaan tersebut, Nabi Muhammad ﷺ meluapkan kebahagiannya di antaranya dengan cara berpuasa. Sebagian ulama mengatakan “Barangsiapa yang berbahagia atas terlematkannya Nabi Musa dari musuh-musuh, maka dia adalah orang yang benar. Karena para Nabi dan Rasul diberi keselamatan pada hari tersebut.”
 
Sebuah hadits merekam cara Nabi mengisi peringatan keselamatan Nabi Musa dari Fir’aun:
 
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ فَرَأَى اليَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: «مَا هَذَا؟»، قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: «فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ»، فَصَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
 
Artinya: “Nabi Muhammad ﷺ datang ke kota Madinah. Beliau kemudian melihat orang Yahudi puasa pada hari Asyura’. Lalu Rasul bertanya ‘Ada kegiatan apa ini?’ Para sahabat menjawab ‘Hari ini adalah hari baik yaitu hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka kemudian Nabi Musa melakukan puasa atas tersebut.’ Rasul lalu mengatakan ‘Saya lebih berhak dengan Musa daripada kalian’. Nabi kemudian berpuasa untuk Asyura’ tersebut dan menyuruh pada sahabat menjalankannya” (HR Bukhari: 2004).
 
Di sisi lain, pada hari Asyura’ atau 10 Muharram ini terdapat kejadian yang memilukan dan menyedihkan yaitu terbunuhnya Sayyidina Husain radhiyallahu anhu, seorang cucu Nabi Muhammad ﷺ. Kepalanya dipenggal oleh musuh-musuhnya pada hari itu. Siapa yang tidak sedih mengenang tokoh mulia dihabisi nyawanya dengan cara yang amat keji? Karena itu, bersedih hati pada hari Asyura’ atas meninggalnya Husain juga memiliki relevansi dari sisi sejarah, bahkan berhubungan dengan kecintaan pada Rasulullah ﷺ. Yang berbahaya adalah ketika ada orang yang berbahagia atas wafatnya Sayyidina Husain dan bersedih atas terselamatkannya para nabi.
 
Hanya saja, menurut tarekat Bani Alawi, jika pada hari yang sama terdapat kebahagiaan dan kesedihan, maka al-farah yaghlibul huzn (kebahagiaan mengalahkan kesusahan). Hal ini berdasarkan pada tanggal 12 Rabiul Awwal yang merupakan hari lahir dan sekaligus hari meninggalnya Baginda Rasulullah ﷺ. Kita semua merayakan tanggal 12 Rabiul Awal tidak karena merayakan meninggalnya Rasul, tapi merayakan hari lahir Rasulullah. 
 
Oleh karena itu, kita diajarkan Rasulullah ﷺ jika dalam sehari kita mendapatkan kebahagiaan dan kesusahan maka kita lebih didorong untuk mengingat kebahagiaan.
 
 
Di Tarim ada sebuah tempat yang dikenal sebagai pekuburan seribu wali. Wali Quthubnya ada 80 orang. Berapa wali yang meninggal di tanggal dan bulan yang sama? Bila setahun ada 365 hari maka niscaya hari-hari kita bakal penuh dengan ratapan kesedihan ketimbang tawa gembira. 
 
Andai seseorang berbahagia pada hari Senin, ketahuilah Al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Alwi Ba Alawi wafat di hari itu. Selasa adalah meninggalnya Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dan Rabu merupakan hari wafatnya Imam Dasuqi. Apabila seperti ini, kita akan selalu mengalami kebingungan, tidak akan pernah merasakan kesenangan. Belum lagi wafatnya para nabi yang jumlahnya 124 ribu. Tentu akan amat merepotkan. 
 
Orang mulia yang meninggal secara tragis tidak hanya Sayyidina Husain. Banyak pula nabi yang wafat dalam keadaan terbunuh. Nabi Zakariya meninggal terbunuh. Bahkan Nabi Yahya meninggal setelah kepalanya dipenggal menjadi dua.
 
Sangat wajar bila sejarah meninggalnya Sayyidina Husain menyisakan bekas kesedihan. Namun di sana terselip kebanggaan karena beliau meninggal dalam keadaan syahid. Cucu Rasulullah itu menutup masa hidupnya dalam kondisi membela kebenaran sampai titik darah terakhir. Sejarah itu memuat pelajaran-pelajaran berharga. Peristiwa-peristiwa buruk penting untuk diingat, bukan untuk memelihara dendam, melainkan agar tak terulang.
 
Walhasil, karena berkumpulnya peristiwa sedih dan bahagia sekaligus pada momen Asyura maka—menurut tarekat Bani Alawi—seseorang dianjurkan untuk mengutamakan kebahagiaan, tanpa mengurangi sedikit pun penghormatan pada Sayyidina Husain.
 
 
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang
 
 
Disarikan dan dikembangkan dari ceramah Habib Jamal bin Thoha Baaqil, Senin, 9 September 2019 di Masjid Al-Huda, Embong Arab, Malang.