Syariah

Tujuh Hal yang Dimakruhkan saat Wudhu

Jum, 17 November 2017 | 16:03 WIB

Wudhu adalah salah satu hal yang harus dilakukan sebelum melakukan shalat. Wudhu merupakan sarana untuk membersihkan diri dari hadats kecil, yang mana membersihkan hadats kecil adalah bagian dari syarat sah shalat sehingga tanpa wudhu shalat yang dikerjakan tidak sah.

Selain memiliki rukun dan kesunahan, ada beberapa hal yang dimakruhkan ketika berwudhu. Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha menjelaskan secara rinci tujuh hal yang dimakruhkan dalam wudhu dalam karyanya yang berjudul Fiqhul Manhaji ala Madzhabil Imamis Syafi’i sebagaimana berikut:

Pertama, boros dalam menggunakan air atau terlalu sedikit menggunakan air. Hal tersebut dimakruhkan karena bertentangan dengan sunah.

Hal ini sebagaimana disebutkan bahwa Allah SWT berfirman:

ولا تسرفوا إنه لا يحب المسرفين

Artinya, “Janganlah kalian berperlaku boros karena sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang boros.”

Kedua, mendahulukan basuhan tangan kiri daripada tangan kanan, atau mendahulukan membasuh kaki kiri daripada kaki kanan. Hal ini dimakruhkan karena bertentangan dengan perilaku yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW tentang kesunahan tayamun (mendahulukan anggota kanan).

Ketiga, mengusap anggota wudhu dengan handuk kecuali karena ada udzur, misalkan karena kedinginan sehingga ketika air wudhu dibiarkan saja mengalir di anggota wudhu akan menjadikan kita menggigil dan sakit.

Sebagaimana ketika diberikan handuk, Rasulullah SAW tidak mau memakainya, (HR Muslim).

Keempat, memukul wajah dengan air, karena hal tersebut dapat menghilangkan kemuliaan wajah.

Kelima, menambah jumlah basuhan lebih dari tiga kali dengan yakin (yakni bukan karena ragu telah membasuh sebanyak tiga kali atau tidak), atau sebaliknya, malah mengurangi dengan yakin.

Karena Rasulullah SAW pernah bersabda setelah berwudhu sebanyak tiga kali-tiga kali:

هكذا الوضوء فمن زاد علي هذا أو نقص فقد أساء وظلم

Artinya, “Beginilah cara berwudhu, barangsiapa yang menambah atau mengurangi (jumlah tiga kali setiap basuhan) maka dia telah berbuat buruk dan zhalim,” (HR Abu Dawud).

Menguatkan hadits di atas, Imam An-Nawawi dalam Majmu’-nya mengatakan bahwa hadits tersebut shahih. Ia juga mengatakan bahwa siapa yang melanggar hadits tersebut, berarti ia telah melanggar sunah.

ومعناه أن من اعتقد أن سنة أكثر من ثلاث أو أقل منها، فقد أساء وظلم، لأنه قد خالف السنة التي سنها النبي صلي الله عليه وسلم

Artinya, “Makna hadits tersebut bahwa barangsiapa yang berkeyakinan bahwa sunah adalah membasuh atau mengusap lebih dari tiga kali atau lebih sedikit, maka ia telah berbuat buruk dan zhalim karena ia telah melanggar sunah yang telah diajarkan Nabi Muhammad SAW.”

Keenam, meminta tolong orang lain untuk membasuhkan anggota badan kita tanpa uzur (misalnya karena sakit dan lain sebagainya), karena hal ini merupakan salah satu bentuk takabbur (kesombongan) yang dapat menghilangkan kesan peribadatan.

Ketujuh, terlalu banyak atau berlebih dalam berkumur atau menyerap air ke dalam hidung bagi orang yang berpuasa. Hal ini ditakutkan air masuk kedalam rongga tenggorokan dan membatalkan puasanya.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

وبالغ في الإستنشاق الا أن تكون صائما

Artinya, “Berlebih-lebihlah dalam istinsyaq (menyerap air ke dalam hidung) kecuali ketika kalian sedang berpuasa.”

Selain tujuh hal di atas, Syekh Abdullah bin Abdurrahman Bafadhl Al-Hadhrami (wafat 918 H) dalam kitabnya yang berjudul Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah juga memakruhkan menyela-nyelati jenggot yang tebal bagi orang yang sedang ihram, karena dikhawatirkan ada jenggot yang rontok setelah disela-selati.

Namun hal ini dibantah oleh Ibnu Hajar Al-Haitami (wafat 974 H) dalam Al-Minhajul Qawim yang merupakan syarah dari kitab Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah.

ويكره ترك تخليل اللحية الكثة لغير المحرم "وتخليل اللحية الكثة للمحرم" لئلا يتساقط منها شعر وهذا ضعيف والمعتمد أنه يسن تخليلها حتى للمحرم لكن برفق

Artinya, “Hukumnya makruh jika tidak menyela-nyelati jenggot yang tebal bagi orang yang tidak berihram, juga dimakruhkan menyela-nyelati jenggot yang tebal bagi orang yang sedang ihram agar bulu jenggot tersebut tidak rontok. Tetapi pendapat ini lemah. Pendapat yang benar adalah tetap disunahkan menyela-nyelati jenggot bahkan bagi orang yang ihram, tetapi sebaiknya dilakukan dengan pelan-pelan.”

Hal-hal di atas memang merupakan hal yang makruh saja, yakni walaupun dikerjakan tidak membatalkan wudhu kita. Tetapi, akan lebih baik jika hal-hal yang dimakruhkan sebagaimana yang telah disebutkan di atas dijauhi dan dihindari agar wudhu kita mencapai kesempurnaan. Wallahu a‘lam. (M Alvin Nur Choironi)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua