Syariah

Panduan Memahami Makna Thaharah

Sen, 20 Juni 2022 | 09:00 WIB

Panduan Memahami Makna Thaharah

Panduan Memahami Makna Thaharah

Kita penting memahami makna thaharah, mengapa? Karena, dengan thaharah, kebersihan dan kesucian, menjadi cermin sempurnanya keimanan, dan tentu keabsahan ibadah shalat kita. Dalam hadits riwayat Imam Muslim, dalam kitab Shahîh Muslim, Kitâb al-Thâhârah, Bâb Fadhl al-Wudhȗ’ (Bab Keutamaan Wudhu), disebutkan:

 

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ هِلاَلٍ، حَدَّثَنَا أَبَانٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، أَنَّ زَيْدًا حَدَّثَهُ؛ أَنَّ أَبَا سَلَّامٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الأَشْعَرِيِّ؛ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: ﴿الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيْمَانِ، وَالْحَمْدُ ِللهِ تَمْلَأُ الْمِيْزَانَ، وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ ِللهِ تَمْلَآنِ (أَوْ تَمْلَأُ) مَا بَيْنَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَالصَّلَاةُ نُوْرٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ. كُلُّ النَّاسِ يَغْدُوْ، فَبَائِعٌ نَفْسَهُ. فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوبِقُهَا﴾‏. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).

 

Artinya: ”...Dari Abȗ Mâlik al-Asy’arî, ia berkata: ’Rasulullah saw bersabda: ’Bersuci itu bagian dari iman, ucapan Alhamdulillâh memperberat timbangan (kebaikan), ucapan Subhânallâh dan ucapan Alhamdulillâh memenuhi ruangan antara langit dan bumi, shalat adalah nur (cahaya), sedekah adalah burhan ”bukti nyata”, sabar adalah pelita dan Al-Qur’an adalah ”hujjah” argumen yang membela atau justeru yang menuntutmu. Semua orang berusaha. Ia pertaruhkan (menjual) dirinya. Apakah ia akan membebaskan dirinya ataupun justeru menghancurkannya’.” (HR Muslim, nomor 223).

 

Hadits ini begitu besar kedudukannya, dan merupakan pokok atau sumber dari sumber-sumber keislaman (ashlun min ushȗl al-Islâm). Di dalamnya disebutkan hal-hal penting sebagai pedoman Islam (muhimmat min qawâ‘id al-Islâm) bagi kaum muslimin --di kehidupan dunia dan akhirat. (al-Nawawî, Shahîh Muslim bi-Syarh al-Nawawî (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2001, juz II, h. 102).

 

Makna Thaharah

Kata thahȗr, sebagaimana tersebut dalam hadits di atas, maknanya adalah wudhu, dan thahârah asal maknanya adalah al-nadhâfah (kebersihan) dan al-nazâhah (ketulusan, kesucian). Pengertian ini, misalnya dikemukakan Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Bathâl al-Rakbî, dalam Syarh Gharîb al-Muhadzdzab:

 

اَلطَّهَارَةُ أَصْلُهَا النَّظَافَةُ وَالنَّزَاهَةُ

 

Thahârah asal maknanya adalah al-nadhâfah (kebersihan) dan al-nazâhah (ketulusan, kesucian). (al-Syaikh al-Imâm Abȗ Ishâq Ibrâhim bin ‘Alî bin Yȗsȗf al-Fairuzabâdî, al-Muhadzdzab, Surabaya: Al-Hidayah, t.t., juz I, h. 3). 

 

Dikatakan bahwa thahara al-syai’u bi-al-fath wa-thahura bi-dhammi thahâratun fîhimâ (kata thahara dan thahura, berarti thaharah, kebersihan dan kesucian). Dan firman Allah Taala:

 

...اِنَّهُمْ اُنَاسٌ يَّتَطَهَّرُوْنَ، أَيْ يَتَنَزَّهُوْنَ مِنَ الْأَدْنَاسِ

 

Artinya: ”Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu menyucikan diri (dari perbuatan keji).” (QS al-Naml [27]: 56), yakni menyucikan diri dari kotoran-kotoran/perbuatan keji. Ayat tersebut lengkapnya:

 

فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهٖٓ اِلَّآ اَنْ قَالُوْٓا اَخْرِجُوْٓا اٰلَ لُوْطٍ مِّنْ قَرْيَتِكُمْۙ اِنَّهُمْ اُنَاسٌ يَّتَطَهَّرُوْنَ

 

Artinya: ”Jawaban kaumnya tidak lain hanya dengan mengatakan, “Usirlah Luth dan pengikutnya dari negerimu! Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu menyucikan diri (dari perbuatan keji)” (QS al-Naml [27]: 56).

 

Syekh Syihâb al-Dîn al-Qulyȗbî (1069 H/1659 M) menjelaskan lebih rinci makna thaharah, tersebut dalam kitab Hâsyiyatâ al-Qulyȗbî wa-‘Amîrah, berikut:

 

والطهارة بضم الطاء اسم للماء الذي يتطهر به، وبالكسر اسم لما يضاف إلى الماء من سدر ونحوه، وبالفتح المراد هنا لغة النظافة والخلوص من الأدناس حسية كانت كالنجاسات، أو معنوية كالعيوب من الحقد والحسد والزنا والغيبة والنميمة ونحوها، فهي حقيقة فيهما وصححه البلقيني، وقيل مجاز في أحدهما، وقيل مشتركة، وعطف الخلوص تفسير. وعرفا زوال المنع المترتب على الحدث والخبث، قاله القاضي، أو صفة حكمية توجب لموصوفها صحة الصلاة به أو فيه أو له، قاله ابن عرفة المالكي، وأشار بالأول للثوب، وبالثاني للمكان، وبالثالث للشخص.

 

Artinya: ”Kata thaharah, dengan dibaca dhamah thâ’-nya (thuhârah) adalah nama air yang digunakan untuk bersuci; dan dengan dibaca kasrah thâ’-nya (thihârah) adalah nama sesuatu yang disandarkan pada air, berupa sidr (jenis tanaman berduri, lotus jujube -ing.) dan semisalnya (pen. maksudnya air sidr, air mawar, dst.). Dan dengan dibaca fathah thâ’-nya (thahârah) itulah yang dikehendaki di sini menurut arti bahasa (lughawi, etimologi) adalah bersih dan murni dari kotoran-kotoran, baik yang tampak (hissiyyah), seperti najis-najis atau  kotoran yang maknawi (ma‘nawiyyah), seperti berbagai aib: dendam, hasud (iri hati), zina, ghibah (gosip), namîmah (adu domba), dan semacamnya, maka thaharah hakikatnya mencakup arti keduanya (pen. bersih/suci dari kotoran fisik maupun maknawi), dan makna inilah yang dipandang sahih (benar) oleh imam al-Bulqînî. Menurut satu versi, thaharah adalah majaz (kiasan) dari suci dari kotoran yang tampak dan kotoran yang ma‘nawî/tidak tampak. Menurut satu versi lainnya, thaharah mencakup arti keduanya (suci dari kotoran zahir dan kotoran ma‘nawî). Adapun kata al-khulȗsh tersebut merupakan tafsir (penjelasan) dari kata nadhâfah (bersih). Adapun thaharah dalam arti ‘urf (istilah) adalah hilangnya penghalang yang diakibatkan hadats dan kotoran (najis), hal itu dikatakan oleh al-Qâdhî; atau sifat hukmîyah (secara hukum) yang memastikan, bagi sesuatu yang dilekati sifat itu, keabsahan shalat dengan menggunakan sesuatu tersebut (kain) atau di dalam sesuatu itu (tempat), maupun baginya (orang yang telah thaharah), demikian dikatakan Ibnu ‘Irfah al-Mâlikî. Isyarat kata yang pertama (bihi) untuk kain, pada yang kedua (fîhi) untuk tempat, dan pada yang ketiga (lahu) untuk seseorang.” (al-Qulyȗbî dan ‘Amîrah, Hâsyiyatâ al-Qulyȗbî wa-‘Amîrah ‘alâ Syarh al-Mahallî ‘alâ Minhâj al-Thâlibîn, Semarang: Thaha Putera, t.t., juz II, h. 17).

 

Kebersihan/Kesucian Bagian dari Iman

Syaikhul Islam Imam al-Nawawî (631-673 H/1233-1277 M), dalam Shahîh Muslim bi-Syarh al-Nawawî (juz II, h. 102), menyebutkan perbedaan pendapat ulama tentang makna”syathr al-îmân”, kebersihan/kesucian itu bagian keimanan, dalam hadits di atas. Makna berikut ini saling berdekatan dan saling melengkapi.

 

Pertama, anna al-ajra fîhi yantahî tadh‘îfahu ilâ nishf-i ajri al-îmân, pahala wudhu berlipat hingga separuh pahala iman, --keimanan hakiki mencakup kebersihan (kesucian) batin dan zahir, dan wudhu menyucikan zahir. Seluruh pekerti atau pilar keimanan baik perkataan maupun perbuatan adalah untuk membersihkan dan menyucikan hati. Thaharah dengan air adalah khusus menyucikan dan membersihkan badan (jasmani). Jadi, pilar keimanan ada dua: membersihkan (menyucikan) sesuatu yang dhahir (jasmani), dan membersihkan (menyucikan) sesuatu yang bâthin (tidak tampak, ruhani). Thaharah (wudhu) secara jelas membersihkan dan menyucikan sesuatu yang zahir, meski juga mengandung pembersihan (pensucian) yang batin. Ini sejalan dengan hadis:

 

...عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ؛ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: ﴿مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ﴾ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).

 

Artinya: ”...Dari ‘Utsmân Bin ‘Affân r.a., ia berkata: ‘Rasulullah S.a.w. bersabda: ’Barangsiapa yang berwudhu lantas membaguskan wudhunya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan (dosa-dosa kecil) dari tubuhnya, bahkan keluar dari bawah ujung-ujung kukunya.” (HR Muslim, nomor 245)

 

Kedua, bersuci itu sebagian iman, maksudnya iman menghapuskan dosa-dosa sebelumnya (besar maupun kecil), demikian juga wudhu (menghapuskan dosa-dosa kecil), di mana wudhu tidaklah sah tanpa disertai keimanan, sehingga ketergantungan wudhu pada keimanan itu dalam makna syathr (separuh iman).

 

Ketiga, para ulama menyatakan bahwa thaharah adalah syarat sahnya shalat, sehingga thaharah itu laksana sebagian (syathr). Arti syathr (sebagian) tidaklah mesti separuh secara hakiki (nishfan haqîqiyyan). Ini merupakan pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran (aqrab al-aqâwil); dan bisa jadi maknanya bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan kepatuhan dengan perbuatan zahir (anna al-îmân tashdîq bi-al-qalb wa-al-inqiyâdu bi-al-dhâhir), keduanya merupakan dua bagian dari iman, sedangkan thaharah itu mencakup shalat, yang shalat itu merupakan kepatuhan dalam perbuatan zahir. Jadi, kata ”syatr al-îmân” (sebagian iman) berarti sebagian (syarat) shalat; iman dalam konteks ini artinya shalat, syarat sahnya dengan wudhu. Hal ini sejalan dengan ayat:

 

...وَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُ....

 

Artinya:Dan tidaklah Allah menyia-nyiakan keimananmu” (QS al-Baqarah [2]: 143), yakni shalatmu.

 

Pandangan bahwa thaharah (wudhu) dapat menghapuskan dosa-dosa kecil itu sebagaimana dikemukakan Syekh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (773-852 H/1371-1449 M), ahli hadits berkebangsaan Mesir: lahir di Fustat (ibukota Mesir pra-Kairo), wafat dan makamnya di Kairo. Ibn Hajar al-‘Asqalani, dalam kitabnya Risâlat fî al-Khishâl al-Mukfirah li-al-Dzunûb al-Mutaqaddimah wa-al-Muta’akhkhirah, sebagaimana juga dikutip Muhammad ‘Abd al-Ra’uf al-Munawi (952-1031 H/1545-1621), juga berkebangsaan Mesir: lahir dan wafat di Kairo, dalam kitabnya Faidh al-Qadîr Syarh al-Jâmi‘ al-Shaghîr, menyebutkan 16 (enam belas) pekerti (amalan, ibadah) yang dapat menghapuskan dosa terdahulu dan dosa kemudian (mâ taqaddama wa-mâ ta’akhkhara), di antaranya adalah menyempurnakan wudhu (isbâgh al-wudhû’). Hadânallâhu wa-Iyyâkum Ajma‘în.

 

Ustadz Ahmad Ali MD, Wakil Sekretaris Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI MUI)