Syariah

Liur Anjing dan Larangan Berburuk Sangka dalam Fiqih

Rab, 19 Juni 2019 | 07:30 WIB

Liur Anjing dan Larangan Berburuk Sangka dalam Fiqih

Sejarah panjang buruk sangka manusia terhadap pihak lain, dapat penawarnya yang cukup ampuh selama tradisi fiqih masih berlangsung di masyarakat.

Manusia dan hewan termasuk barang bergerak. Manusia bergerak badannya termasuk mulut dan jiwanya. Karena ramai-ramai bergerak, manusia berinteraksi dengan makhluk yang lain. Hubungan ini dipenuhi dengan cakap-cakap dan segala bentuk bahasa tubuh yang bisa dimengerti. Manusia dan hewan masuk dalam makhluk yang bisa mengerti dan menangkap sesuatu yang terjadi di sekitar bahkan di dalam diri mereka, baik yang bergerak maupun yang diam. Penerimaan dan pengertian sesuatu di luar dan di dalam dirinya, dapat menghasilkan sangka buruk selain sangka baik.
 

Buruk sangka atau suudzan dalam kamus bahasa Indonesia adalah salah menyangka orang atau salah menerima. Tindakan, ucapan, termasuk tampilan pihak lain, disalahpahami dengan yakin. Sepanjang hayatnya, manusia pernah melakukan sikap tidak terpuji ini. Ia menganggap orang lain melakukan sesuatu yang tak dilakukannya.
 

Buruk sangka cukup berbahaya karena dapat menyuramkan hubungan dengan pihak lain. Keruhnya hubungan dengan pihak lain, tak dikehendaki oleh Tuhan semesta dan fitrah manusia. Hubungan yang keruh dengan pihak lain, dapat mengubah peta sejarah ke depan yang pada gilirannya dapat menyusahkan manusia itu sendiri, juga pikirannya.
 

Fiqih yang sudah menjadi rujukan hukum masyarakat Nahdliyin, ternyata juga menyuguhkan ajaran moral yang luar biasa. Apalagi buruk sangka terhadap manusia, terhadap hewan saja, manusia tidak boleh menaruh sangka hatta anjing sekalipun yang dianggap hewan yang mengandung najis yang agak berat. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Sayid Bakri bin Sayid Syatha Dimyathi dalam I’anatut Thalibin.
 

ولو رفع كلب رأسه من ماء وفمه مترطب ولم يعلم مماسته له لم ينجس. (ولو أدخل رأسه فى إناء فيه ماء قليل فإن خرج فمه جافا لم يحكم بنجاسته أو رطبا) 


Andaikan seekor anjing mengangkat kepalanya dari air, sementara mulutnya dalam kondisi basah tetapi tidak diketahui persinggungannya dengan air, maka hukum air itu tidak najis. Dengan kata lain, jika seekor anjing memasukkan kepalanya ke dalam wadah (baskom misalnya) yang sedikit airnya (kurang dari dua qulah, penulis), lalu mulutnya keluar dalam keadaan kering atau basah maka hukum air itu tidak dikatakan mutanajis,
 

Mulut anjing yang basah bisa saja berasal dari air liurnya sendiri, bukan hasil persinggungan dengan air yang ada di dalam wadah. Buruk sangka tak lebih dari satu tindakan tercela yang perlu dikesampingkan. Para ulama, menyampaikan ajaran moralnya melalui jalur fiqih yang sangat akrab dengan masyarakat.
 

Seruan moral dengan masuk ke dalam dunia masyarakat, merupakan cara yang sangat efektif. Terlebih lagi fiqih Bab Air yang mana pelajaran pertama dalam fiqih sebelum masuk perihal ibadah yang lainnya. Sejarah panjang buruk sangka manusia terhadap pihak lain, dapat penawarnya yang cukup ampuh selama tradisi fiqih masih berlangsung di masyarakat. Karenanya, pembelajaran fiqih mesti panjang usia.
 

Semangat anti buruk sangka para ulama, bukan mengada-ada tetapi adalah perintah Allah. Allah melarang sekali manusia untuk berburuk sangka terhadap pihak lain,


ياأيها اللذين آمنوا اجتنبوا كثيرا من الظن إن بعض الظن إثم ولاتجسسوا ولايغتب بعضكم بعضا أيحب أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا فكرهتموه واتقوا الله إن الله تواب الرحيم


Hai orang yang beriman, jauhilah banyak sangka! Karena, banyak sangka adalah dosa. Janganlah mencari aib-aib orang lain dan jangan mengumpat sebagianmu pada sebagian yang lain. Apakah kamu suka memakan bangkai saudaramu yang telah mati? Tentu, kau tak suka memakannya. Takutlah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Penerima tobat dan Maha Penyayang.(Al-Hujurat ayat 12). Wallahu a'lam. (Alhafiz K)

 

Catatan: Naskah ini terbit pertama kali di NU Online pada Kamis, 29 Maret 2012 pukul 01:58. Redaksi mengunggahnya ulang dengan sedikit penyuntingan.