Syariah

Ketentuan Iddah Perempuan yang Memasuki Masa Menopause

Kam, 8 September 2022 | 22:00 WIB

Ketentuan Iddah Perempuan yang Memasuki Masa Menopause

Iddah didasarkan pada bilangan haidh. Tetapi iddah juga memiliki perhitungan ketika perempuan memasuki masa menopause

Menentukan masa iddah perempuan, salah satunya didasarkan pada haidh dan tidaknya perempuan tersebut. Jika masih mengalami haidh, maka masa idahnya adalah selama tiga quru atau tiga kali masa suci. Sementara jika ia sudah berhenti haidh alias menapouse, maka masa iddahnya ditetapkan selama tiga bulan.   


Pertanyaannya, bagaimana kondisi perempuan yang tiba-tiba berhenti haidh atau terus-menerus keluar darah haidh (istihadhah) ketika menjalani masa iddah, padahal ia masih berada dalam usia haidh dan belum memasuki usia menapouse? Apakah masa haidhnya disamakan dengan perempuan yang sudah berhenti haidh?   


Para ulama beragam pendapat dalam menyikapi masalah ini. Namun, di antara semua ulama mazhab tidak ada satu pun yang langsung mengalihkan iddah quru kepada iddah syuhur. Hal itu seperti yang terekam dalam kitab al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu karya Syekh Wahbah az-Zuhaili. 


Disebutkan az-Zuhaili, perempuan yang berhenti haidh saat menjalani masa iddah, sementara ia tidak tahu apa penyebabnya, apakah karena hamil, menyusui, atau sebab penyakit, maka masa iddahnya menurut ulama Hanafi dan Syafi’i, harus ditunggu hingga kembali haidh, atau memasuki usia menapouse ditambah iddah syuhur selama tiga bulan. Pasalnya, jika seorang perempuan masih melihat lagi darah haidh, maka artinya ia masih tergolong perempuan yang haidh dan harus menjalani iddah quru, bukan dengan iddah yang lain.   


Adapun usia menapouse perempuan, sebagaimana dijelaskan az-Zuhaili, berbeda-beda di kalangan para ulama. Menurut ulama Hanbali, usia menapouse perempuan adalah 50 tahun; menurut ulama Hanafi, usia 55 tahun; menurut ulama Syafi’i usia 62 tahun, dan menurut ulama Maliki usia 70 tahun.  


Berbeda dengan ulama Syafi’i, ulama Maliki dan Hanbali berpendapat, masa iddah perempuan yang berhenti haidh ditetapkan selama satu tahun sejak berhentinya haidh terakhir. Penjelasannya, ia harus  menunggu selama sembilan bulan, sebagai masa umumnya kehamilan, kemudian ditambah iddah syuhur selama tiga bulan, sehingga genap menjadi satu tahun.


Alasan mereka adalah maksud dari masa iddah sendiri  untuk mengetahui kekosongan rahim perempuan dari kehamilan. Semantara kehamilan dapat diketahui dalam jangka waktu satu tahun.   


Hal itu berdasarkan riwayat Umar ibn al-Khathab tentang seorang suami yang menceraikan istrinya. Kemudian, mantan istrinya itu haidh satu atau dua kali, dan tidak haidh lagi selamanya. Ia tidak tahu apa penyebab berhenti haidhnya. Akhirnya, perempuan tersebut menunggu selama sembilan bulan. Setelah terbukti tidak hamil, ia lantas menjalani iddah syuhur selama tiga bulan.    


وأما المرتابة بالحيض أو ممتدة الطهر: وهي التي ارتفع حيضها، ولم تدر سببه من حمل أو رضاع أو مرض. فحكمها عند الحنفية والشافعية: أنها تبقى أبداً حتى تحيض أو تبلغ سن من لا تحيض، ثم تعتد بثلاثة أشهر؛ لأنها لما رأت الحيض، صارت من ذوات الحيض، فلا تعتد بغيره، وعند المالكية والحنابلة: عدتها سنة بعد انقطاع الحيض، بأن تمكث تسعة أشهر، وهي مدة الحمل غالباً، ثم تعتد بثلاثة أشهر، فيكمل لها سنة، ثم تحل، وذلك إذا انقطع الحيض عند المالكية بسبب المرض أو بسبب غير معروف


Artinya, "Adapun perempuan yang diragukan haidhnya atau perempuan yang panjang masa sucinya, yakni perempuan yang berhenti haidh (saat menjalani masa iddah), sementara ia tidak tahu penyebabnya, apakah karena kehamilan, menyusui, atau penyakit, maka hukum perempuan tersebut menurut ulama Hanafi dan Syafii, tetap tersisa masa iddahnya hingga kembali haidh, atau sampai memasuki usia tidak haidh (menapouse), dilanjutkan dengan menjalani iddah syuhur selama tiga bulan. Sebab, jika masih melihat haidh, ia tergolong perempuan haidh, sehingga tidak bisa beriddah dengan yang lain. Sementara menurut ulama Maliki dan Hanbali, iddah perempuan itu selama satu tahun setelah terhentinya haidh. Cara penghitungannya, ditunggu selama sembilan bulan, dimana sembilan bulan merupakan masa umumnya kehamilan, kemudian ditambah iddah syuhur selama tiga bulan, sehingga menjadi genap satu tahun dan ia menjadi halal. Menurut ulama Maliki, iddah satu tahun itu dihitung ketika haidh terhenti akibat penyakit atau sebab yang tidak diketahui." (Lihat: az-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus: Darul Fikr], jilid 9, hal. 7185). 


Adapun perempuan yang mengalami istihadhah atau terus-menerus keluar darah haidh, sedangkan ia lupa kebiasaan haidhnya, maka menurut ulama Hanafi, masa iddahnya berakhir setelah tujuh bulan dengan memperkirakan enam bulan masa suci dan satu bulan tiga kali masa haidh.


Berbeda halnya, jika darahnya terus keluar dan ia tahu kebiasaan haidhnya, maka lamanya haidh dikembalikan kepada kebiasaan.


Sementara menurut ulama Hanbali dan Syafi’i, iddah perempuan istihadhah yang lupa waktu haidhnya, sama seperti iddah perempuan menapouse, yakni tiga bulan. Kemudian, menurut ulama Maliki, perempuan yang mengalami istihadhah seperti perempuan yang diragukan haidhnya, yaitu ditunggu sembilan bulan lalu ditambah iddah syuhur selama tiga bulan, sehingga menjadi satu tahun.


Walhasil, perempuan yang berhenti haidh di saat masa iddah, dan ia belum saatnya memasuki usia menapouse, maka tidak serta-merta beralih kepada iddah syuhur selama tiga bulan.


Menurut ulama Syafi’i, ia harus menunggu sampai haidh lagi atau masuk usia menapouse ditambah masa iddah syuhur selama tiga bulan. Sementara menurut ulama Maliki, ia harus menunggu waktu sembilan bulan sejak berhenti haidh lalu menjalani iddah syuhur selama tiga bulan. 


Demikian pula perempuan yang mengalami istihadhah. Menurut ulama Hanafi, ia harus menunggu sampai tujuh bulan, menurut Syafi’i harus menunggu tiga bulan, sedangkan menurut Maliki harus menunggu satu tahun.  


Demikian ragam pendapat tentang masa iddah perempuan yang berhenti haidh sebelum usia menapouse atau mengalami istihadhah saat menjalani masa iddah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.


Ustadz Tatam Wijaya, alumnus PP Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.