Syariah

Empat Hal yang Membatalkan Wudhu

Sab, 14 Oktober 2017 | 09:00 WIB

Empat Hal yang Membatalkan Wudhu

Ada empat hal yang dapat membatalkan wudhu sehingga seseorang berada dalam keadaan berhadats.

Wudhu sebagai sarana untuk mensucikan diri dari hadats kecil bisa menjadi batal bila terjadi beberapa hal yang dapat membatalkannya. Orang yang batal wudhunya tentunya ia tidak diperbolehkan melakukan shalat dan amalan ibadah lain yang menuntut kesucian dari hadats kecil bila akan melakukannya.
 
Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safinatun Naja—sebagaimana sebagian ulama Syafi’iyah lainnya—menyebutkan ada empat hal yang dapat membatalkan wudhu sehingga seseorang berada dalam keadaan berhadats. Keempat hal pembatal wudhu tersebut berikut penjelasannya adalah:
 
1. Keluarnya sesuatu dari salah satu dua jalan (qubul dan dubur) selain sperma.Berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 6:
 
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
 
Artinya: “Atau salah satu dari kalian telah datang dari kamar mandi”.
 
Selain sperma, apa pun yang keluar dari lubang depan (qubul) dan lubang belakang (dubur) baik berupa air kencing atau kotoran, barang yang suci ataupun najis, kering atau basah, itu semua dapat membatalkan wudhu. Sedangkan bila yang keluar adalah sperma maka tidak membatalkan wudhu, hanya saja yang bersangkutan wajib melakukan mandi jinabat.
 
 
2. Hilangnya akal karena tidur, gila, atau lainnya.
 
فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ
 
Artinya: “Barangsiapa yang tidur maka berwudhulah.” (HR. Abu Dawud)
 
Orang yang tidur, gila, atau pingsan batal wudhunya karena ia telah kehilangan akalnya. 
 
Hanya saja tidur dengan posisi duduk dengan menetapkan pantatnya pada tempat duduknya tidak membatalkan wudhu. Posisi tidur yang tidak membatalkan wudhu tersebut bisa digambarkan; bila Anda tidur dengan posisi duduk dimana posisi pantat sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan Anda untuk kentut kecuali dengan mengubah posisi pantat tersebut, maka posisi tidur dengan duduk seperti itulah yang tidak membatalkan wudhu.
 
3. Bersentuhan kulit seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sama-sama telah tumbuh besar dan bukan mahramnya dengan tanpa penghalang.
 
Allah berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 6:
 
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
 
Artinya: “atau kalian menyentuh perempuan.”
 
Tidak batal wudhu seorang laki-laki yang bersentuhan kulit dengan sesama laki-laki atau seorang perempuan dengan sesama perempuan. Juga tidak membatalkan wudhu persentuhan kulit seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang menjadi mahromnya. Wudhu juga tidak menjadi batal bila seorang-laki-laki bersentuhan dengan seorang perempuan namun ada penghalang seperti kain sehingga kulit keduanya tidak bersentuhan secara langsung.
 
Pun tidak batal wudhunya bila seorang laki-laki yang sudah besar bersentuhan kulit dengan seorang perempuan yang masih kecil atau sebaliknya. Adapun ukuran seseorang itu masih kecil atau sudah besar tidak ditentukan oleh umur namun berdasarkan sudah ada atau tidaknya syahwat secara kebiasaan bagi orang yang normal.
 
Ada satu pertanyaan yang sering timbul di masyarakat tentang batal atau tidaknya wudhu sepasang suami istri yang bersentuhan kulit.
 
Pertanyaan tersebut dapat dijawab bahwa wudhu pasangan suami istri tersebut menjadi batal dikarenakan pasangan suami istri bukanlah mahram. Mengapa demikian? Bahwa seorang perempuan disebut sebagai mahramnya seorang laki-laki adalah apabila perempuan tersebut tidak diperbolehkan dinikahi oleh sang laki-laki. Sebaliknya seorang perempuan disebut bukan mahramnya seorang laki-laki bila ia boleh dinikahi oleh laki-laki tersebut. Sepasang suami istri adalah jelas dua orang berbeda jenis kelamin yang boleh menikah. Karena keduanya diperbolehkan menikah maka sang istri bukanlah mahram bagi sang suami. Karena bukan mahram maka saat kedua bersentuhan kulit batallah wudhu mereka. Demikian.
 
4. Menyentuh kelamin atau lubang dubur manusia dengan menggunakan bagian dalam telapak tangan atau bagian dalam jari jemari.
 
Rasulullah bersabda:
 
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
 
Artinya: “Barangsiapa yang memegang kelaminnya maka berwudhulah.” (HR. Ahmad)
 
Wudhu menjadi batal dengan menyentuh kelamin atau lubang dubur manusia, baik yang disentuh masih hidup ataupun sudah mati, milik sendiri atau orang lain, anak kecil atau besar, menyentuhnya secara sengaja atau tidak sengaja, atau kelamin yang disentuh telah terputus.
 
Hal ini hanya membatalkan wudhunya orang yang menyentuh dan tidak membatalkan wudhunya orang yang disentuh. 
 
Tidak membatalkan wudhu bila menyentuhnya dengan menggunakan selain bagian dalam telapak tangan dan bagian dalam jari-jari, menyentuhnya dengan penghalang semisal kain, atau yang disentuh adalah kelamin binatang. Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)