Syariah

Baju Baru, Suci atau Najis?

Sen, 3 Februari 2014 | 05:04 WIB

Baju Baru, Suci atau Najis?

Ilustrasi (isigood)

Pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia. Pakaian sering dikelompokkan ke dalam jenis kebutuhan primer. Sebagai kebutuhan pokok, pakaian berfungsi sebagai penutup aurat yang dalam Islam hukumny adalah wajaib. Maka wajib pula bagi individu memiliki pakaian yang cukup untuk menutup auratnya. Tidak harus mewah dan beragam, yang penting aurat itu tertutup dengan rapat.

 

Hanya saja di zaman sekarang ini macam pakaian sungguh amat ragamnya. Baik merk, kwalitas, maupun modenya yang terus berubah. Sehingga dinamika dalam dunia mode terus berkembang, baik karena tuntunan nilai guna dan fungsi saja tetapi juga tuntutan pasar.

 

Hal inilah yang menjadi salah satu faktor seseorang memeiliki banyak pakaian. Sehingga mereka dapat berganti-ganti memakainya. Jika salah satu pakaian telah dipakai dan dianggap kotor ataupun terkena najis maka seseorang akan menggantinya dengan yang bersih dan suci, begitulah keadaan yang kesehariannya dialami seseorang.

 

Pakaian yang dianggap telah kotor dan najis akan dicuci kembali menggunakan air dengan tujuan supaya kembali bersih dan suci lalu bisa digunakan untuk beribadah seperti shalat dan ibadah lain. Ketika seseorang memiliki pakaian yang telah usang dan warna pakaian yang memudar, kecondongan akan muncul untuk membeli pakaian baru.

 

Tidak ada larangan membeli pakaian baru meskipun pakaian yang lama masih layak untuk dipakai, tentu tiada lain tujuan membelinya adalah untuk menutup aurat, agar terlihat rapi dan menjaga kebersihan. Kebingungan dan keragu-raguan akan kesucian pakaian baru terkadang menjadi beban tersendiri, dikarenakan jika seseorang membeli pakaian baru entah itu kemeja, celana, sarung dan lain-lain merasa was-was akan kesuian pakaian tersebut.

 

Maka untuk solusi menghilangkan rasa keragu-raguan apakah pakaian tersebut suci atau tidak, sebagian ulama’ memberi penjelasan bahwa pakaian yang baru saja ia beli dihukumi suci karena asal dari pada sesuatu itu suci selama tidak ada hal-hal yang membuatnya terkena najis, seperti baju yang terbuat dari campuran kulit bangkai hewan, atau terbuat dari campuran sesuatu yang najis, maka jika diketahui itu semua, baju tersebut dihukumi najis. Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Asybah Wa Al-Nadloir menjelaskan,

 

قَاعِدَة: الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيم

 

"Salah satu qaidah Fiqhiyah berbunyi: Asal sesuatu itu hukumnya mubah, sampai ada dalil yang mengharamkannya."

 

Kaidah Fiqhiyah ini memberi penegasan bahwa sesuatu misalnya hewan atau apapun  dihukumi mubah dan halal selama tidak didapati dalil yang mengharamkannya. Jika Qaidah ini disesuaikan dengan akar masalah diatas, maka seseorang yang membeli baju baru namun ia dilanda keragu-raguan apakah baju tersebut suci atau najis, atau terbuat dari barang yang suci ataukah najis, kesucian baju tersebut menjadi hukum yang dimenangkan dalam artian baju baru itu dihukumi suci selama tidak diketahui ada sesuatu yang membuatnya menjadi najis. 

 

Jika diketahui bahwa baju itu terdapat sebuah najis yang menempel maka hukum baju tersebut tidak bisa dibawa kehukum asal, karena telah diketahui ada najis yang menempel. Qaidah ini berlaku jika tidak diketahui asal muasal apakah baju tersebut suci ataukah najis, maka boleh dibawa kehukum asal yang mengatakan bahwa asal sesuatu tersebut suci selama tidak ada dalil atau bukti yang menyebutkan mengenai najisnya baju tersebut. (Pen. Fuad H/Red. Ulil Hadrawi)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua