Syariah

Apakah Cairan Hitam pada Cumi-cumi itu Najis?

Sen, 24 Desember 2018 | 08:00 WIB

Apakah Cairan Hitam pada Cumi-cumi itu Najis?

Ilustrasi (cookpad.com)

Cumi-cumi merupakan salah satu hewan laut yang dihalalkan oleh syara’ untuk mengonsumsinya.  Namun setiap kali mengonsumsi cumi-cumi, kita pasti mendapati cairan hitam yang berada di dalam daging cumi-cumi ini. Bahkan seringkali cairan hitam yang ada pada cumi-cumi justru merupakan pelengkap kenikmatan makan bagi sebagian orang.

Hal yang menjadi pertanyaan, sebenarnya apakah status dari cairan hitam pada cumi-cumi ini? Apakah najis, sehingga tidak boleh untuk dikonsumsi, atau suci sehingga bebas untuk dikonsumsi?

Dalam menyikapi status cairan hitam yang terdapat dalam cumi-cumi, para ulama terjadi perbedaan pendapat. Ulama yang berpandangan suci berpijak pada ketentuan bahwa cairan hitam merupakan cairan khusus yang hanya dimiliki oleh cumi-cumi yang berfungsi untuk sembunyi dari hewan laut yang akan memangsanya. Cairan ini tidak dapat disamakan dengan kotoran-kotoran yang terdapat di dalam ikan yang memang secara umum dihukumi najis.

Penjelasan ulama yang berpandangan bahwa cairan hitam pada cumi-cumi dihukumi suci, misalnya terdapat dalam kitab Bulghah at-Thullab:

ـ (مسألة: ث) السواد الذي يوجد في بعض الحيتان مما اختلف فيه هل هو من الباطن فيكون نجسا أو لا فيكون طاهرا, فينبغي للعاقل أن يتحققه لأنّ هذا مما يتعلّق بالعيان. قلت: يعني أنّ هذا السواد إذا كان من الباطن فهو أشبه بالقيئ فيكون نجسا وإلّا فهو أشبه باللعاب فيكون طاهرا. وقد قال بعض مشايخنا: أنّ هذا السواد شيء جعله الله لصاحبه ترسا يتترس به عن كبار الحيتان فإذا قصده حوت كبير ليأكله أخرج هذا السواد فاختفى به عنه فلا يقاس بالقيئ ولا باللعاب لكونه خاصا له بهذه الخصوصية ويكون طاهرا والله أعلم

“Warna hitam yang ditemukan di sebagian jenis ikan merupakan sebagian persoalan yang diperselisihkan apakah termasuk kategori cairan yang keluar dari bagian dalam ikan sehingga tergolong najis, atau bukan dari bagian dalam sehingga dihukumi suci. Hendaknya bagi orang yang berakal agar memperdalam permasalahan ini karena termasuk suatu hal yang berhubungan dengan realitas. Aku (pengarang) berkata cairan hitam ini jika memang berasal dari bagian dalam maka lebih serupa dengan muntahan sehingga dihukumi najis, jika tidak dari dalam maka serupa dengan air liur sehingga dihukumi suci. 

Sebagian guruku pernah berkata: “cairan hitam ini merupakan sesuatu yang diciptakan oleh Allah pada hewan yang memilikinya untuk dijadikan tameng agar dapat berlindung dari makhluk laut yang lebih besar. Ketika terdapat makhluk laut besar yang akan memangsanya maka ia mengeluarkan cairan hitam ini agar dapat bersembunyi. Maka cairan hitam ini tidak dapat disamakan dengan muntahan ataupun air liur, sebab cairan hitam ini adalah sesuatu yang menjadi ciri khas hewan ini, sehingga dihukumi suci” (Syekh Thaifur Ali Wafa, Bulghah at-Thullab, hal. 106)

Sedangkan ulama yang berpandangan bahwa cairan hitam pada cumi cumi adalah sesuatu yang najis dan tidak dapat dikonsumsi, berpijak pada ketentuan umum dalam hewan bahwa segala sesuatu yang tergolong bagian dalam hewan dan bukan merupakan juz dari hewan maka dihukumi najis, termasuk cairan hitam ini, sebab menurut pandangan mereka, cairan hitam tergolong cairan yang keluar dari bagian dalam cumi-cumi, bukan dari bagian luar. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam Bughyah al-Mustarsyidin:

الذي يظهر أنّ الشيء الأسود الذي يوجد في بعض الحيتان وليس بدم ولا لحم نجس, إذ صريح عبارة التحفة أنّ كلّ شيء في الباطن خارج عن أجزاء الحيوان نجس, ومنه هذا الأسود للعلّة المذكورة إذ هو دم أو شبهة

“Cairan hitam yang ditemukan pada sebagian makhluk laut dan bukan merupakan daging ataupun darah dihukumi najis. Sebab teks dalam kitab Tuhfah menegaskan bahwa sesungguhnya setiap sesuatu yang berada di bagian dalam adalah sesuatu yang bukan termasuk dari juz (juz/organ) hewan dan dihukumi najis, termasuk cairan hitam ini, karena alasan yang telah dijelaskan. Sebab cairan hitam ini sejatinya adalah darah atau serupa (dengan darah).”  (Syekh Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 15)

Jika berpijak pada ulama yang berpendapat najis, siapa saja yang ingin mengonsumsi cumi-cumi wajib baginya untuk membersihkan cumi-cumi dari cairan hitam ini, sekiranya daging dapat menjadi bersih. Selain itu wajib baginya untuk menyucikan tangan atau anggota tubuh lain yang terkena cairan hitam ini. Jika berpegangan pada pendapat bahwa cairan hitam itu suci maka boleh bagi seseorang untuk menikmati cumi-cumi lengkap dengan cairan hitamnya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam menyikapi najis tidaknya cairan hitam pada cumi-cumi, para ulama berbeda pendapat antara yang menghukumi suci dan najis. Kedua pendapat tersebut sama-sama dapat digunakan oleh masyarakat secara umum. Wallahu a’lam.

(Ustadz Ali Zainal Abidin)

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua