Pidato Ketua Umum PBNU KH Hasyim dalam Pembukaan Rapat Kerja Nasional Fatayat NU
NU Online · Kamis, 10 Mei 2007 | 10:00 WIB
Bogor 4 Mei 2007
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Selamat atas terselenggaranya rakernas ini sebagai suatu momen organisasi dan semoga bermanfaat untuk kelanjutan perjuangan fatayat NU, bukan hanya sebagai bagian dari NU, seperti juga bagian dari bangsa dan bagian dari perjuangan perempuan untuk seluruh dunia. Saya ingin mempertegas apa yang tadi disampaikan oleh pucuk pimpinan Fatayat NU, ada beberapa tantangan yang harus kita cermati, kita waspadai dan kita atasi.
Berkembangnya Aliran Islam dan Ideologi Transnasional di Indonesia
Pertama yang menyangkut masalah keagamaan. Setelah reformasi, seluruh aliran, ideologi, bahkan gerakan-gerakan secara bebas masuk di Indonesia. Tentu karena yang paling banyak di Indonesia ini beragama Islam, tentu gangguan itu juga banyak yang menyentuh masyarakat kaum muslimin. Yang masuk ini ada dua macam. Pertama, aliran-aliran keagamaan. Kedua, yang sering saya katakanan, ideologi transnasional.
Antara ideologi dan agama itu beda. Kalau Islam itu agama. Tetapi kalau sudah PPP itu sudah ideologi politik, termasuk PKB atau termasuk yang lain. Disebut agama ketika masih merupakan ajaran, sebagai way of life. Tetapi ketika sudah berupa cara ijtihadi dalam gerakan-gerakan membawakan agama, maka dia sudah masuk dimensi ideologi yang berbasis agama, dalam hal ini Islam. Kalau aliran masih murni faham dari agama itu. Aliran yang sekarang gencar masuk di Indonesia ada dua. Pertama wahabisme dan kedua syiah.
Wahabisme berpusat di Saudi Arabia dan meraka merasa bahwa Rasululah SAW lahir, hidup, berjuang dan wafat di Hijaz. Maka mereka berpendapat bahwa sesuatu yang tidak ada di Saudi Arabia berarti bukan Islami sehingga dia menjadi frigid dalam masalah pengembangan budaya dan teknologi. Apa saja yang disana tidak ada, karena Rasulullah disana, berarti bukan bagian dari Islam sedangkan yang masuk di Indonesia ini adalah satu pemahaman Islam yang universal. Islam lahir di Saudi tetapi bukan hanya untuk orang Saudi. Yang membawa ke sini adalah kelompok ahlusunnah wal jamaah yang dalam hal ini dimotori wali songo yang dalam membawakan Islam disenyawakan dengan adat budaya yang ada di Indonesia sepanjang adat budaya ini tidak bertentangan dengan ajaran Rasulullah SAW.
Adat budaya yang sudah ada di Indonesia sebelum Islam masuk harus dibagi dua bagian. Adat pertama yang sejak awal sudah selaras dengan Islam, maka tinggal menggunakannya, bahkan menjadi pijakan mengembangkan agama melalui akulturasi. Misalnya sebelum Islam datang di sini, gotong-royong sudah ada. Gotong-royong ini ajaran Islam juga, maka menjadi tidak ada problem disitu.
Ada budaya yang tidak sama tetapi masih bisa diperbaiki, maka diperbaiki untuk diselaraskan dengan agama, misalnya sebelum Islam datang di Indonesia, di sini dipenuhi Hindu dan Budha. Mereka sangat menghormati leluhur, tetapi cara menghormati leluhurnya itu tidak sama dengan kita, mereka membawa nasi dan diletakkan di bawah dipan untuk mengirim ke ahli kubur, memintanya bukan kepada Allah. Maka ada dua unsur disini, unsur penghormatan leluhur itu Islami, tetapi unsur memberikan makanan kepada ahli kubur itu tidak Islami. Maka makanannya dikasih orang, lalu orangnya disuruh baca laa ilaaha illallah. Maka jadilah tahlil yang sekarang kita punya itu. Proses ini tidak mungkin ada di Saudi Arabia. Timur Tengah dengan 23 negara mempunya satu budaya. Indoensia yang satu negara, mempunyai lebih dari 230 budaya. Maka sangat tidak mungkin untuk menuangkan agama itu di Indonesia tanpa akulturasi budaya.
Ketika budaya yang tidak bisa diperbaiki, itu harus dipotong, tidak boleh masuk karena dia bid’ah, khurafat, dholalah. Ahlusunnah wal jamaah itu kebalikan dari ahlul bid’ah wadholalah. Sunnah disini kebalikan dari bid’ah, jamaah di sini kebalikan dari dholalah. Saya datang ke Lombok, tidak tahu dimana, suku Sasak atau apa, itu ada adat, kalau jejaka meminang seorang gadis, misalnya Fatayat, itu harus dicuri dulu, dibawa lari, satu minggu, kalau sudah lungset semua, dikembalikan kepada orang tua sebagai tanda cintanya. "Nah cinta jurusan penglusetan tadi, tentu tidak bisa karena seorang wanita baru halal ketika sudah terjadi akad nikah." Maka budaya seperti ini harus dipotong.
Inilah yang menjadikan akulturasi budaya di Indonesia sangat bagus. Sehingga dengan demikian, tanpa terasa, tanpa perang, 90 persen orang Indonesai menjadi beragama Islam yang asalnya Hindu, Budha dan kebatinan. Ini tidak pernah difahami oleh wahabisme.
Saya ketepatan oleh Rabithah Alam Islami dijadikan salah satu dari pengurusnya di sana. Saya juga heran kok NU jadi pengurus disana, padahal bukan wahabi. Ternyata disana ingin tahu Islam Indonesia kayak apa. Maka saya sekarang sedang menulis yang akan saya kirim ke sana bahwa Islam di Indonesia itu tidak keluar dari bingkai Islam, tetapi punya metodologi sendiri dalam Islamisasi di Indonesia.
Aliran kedua adalah syiah. Ini pusatnya di Iran dan jaringannya dimana-mana. Oleh karena itu, Amerika kalau mau menyerang Iran maju-mundur, jadi atau tidak jadi. Kalau nyerang Irak gampang karena disana rentan, dipimpin oleh seorang diktator yang kalau diktatornya habis, negaranya retak. Tapi Iran ini relatif utuh di negaranya, jadi punya kaki dimana-mana. Kalau dia bergerak, maka seluruh sudut akan bergerak.
Syiah Berbeda dengan sunni
Syiah ini tidak sama dengan ahlusunnah. Ahlusunnah ini artinya kembali ke ajaran. Sebelumnya Islam ini mengkultuskan seseorang, bukan ajaran, ada yang pro Sayyidina Ali dan ada yang kontra Sayyidina Ali. Yang pro namanya syiah yang kontra namanya khawarij. Jadi Islam selalu dicantelkan pada personifikasi, tidak pada ajaran. Maka ahlusunnah kembali ke sunnahnya, bukan pemimpinnya. Jadi tidak ada personifikasi ajaran.
Syiah hanya mengakui Sayyidina Ali dan seketurunanhya sambil, “ini yang tak enak,” menghujat Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman. Bahkan dikatakan mereka bertiga menyerobot kekhalifahan Sayyidina Ali. Bahkan ada yang ghulat, ini yang keterlaluan, bahwa Jibril itu keliru memberikan wahyu kepada nabi Muhammad, mestinya kepada Sayyidina Ali. “Jibril kok keliru, ini bagaimana”. Seperti di Probolinggo, ada orang ngaku Jiblil ditangkap polisi, lha Jibril kok ditangkap polisi.”
Kalau saudara-saudara naik haji, banyak orang syiah yang tidak mau melewati kubur Rasulullah karena disitu ada Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar. Dia mengambil posisi jauh, disebelah selatan raudhah. Dia berdoa di sana untuk Rasulullah, menghindari Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar. Sementara posisi kita, Sayyidina Ali tetap kita hormati dan kita menyebutnya karrmallahu wajhah. Yang tidak adil itu dia, kita menghormati semuanya, dia menghujat yang lain. Mereka tidak mau menggunakan hadist Bukhori dan Muslim. Mereka kalau sholat harus di atas tanah Karbala, dari Irak Selatan, tempat terbunuhnya Sayyidina Hasan dan Husein waktu perang dengan Yazid bin Muawiyah. Dari sana diletakkan di atas sajadah. Saya fikir kok sulit amat, sembahyang saja begitu. Wong di Indonesia yang mestinya sehari lima kali menjadi lima hari sekali, apalagi kalau sorenya sudah ke salon, maghribnya pasti tidak sholat lagi. Yang tidak sama lagi, soal imamah, tidak boleh orang memimpin orang Islam kecuali ada garis keturunan dengan sayyidina Ali, jadi ada personifikasi disini.
Ada lagi yang aneh, bahwa sejarah itu digeser menjadi akidah. Bahwa dulu ada bentrok antara Sayyidina Ali dengan Muawiyah itu benar, tapi bentrok itu kemudian dijadikan bagian dari akidah, ini yang tidak masuk akal. Karena itu, syiah kalau masuk ke Indonesia akan menjadi bibit konflik karena ia kalau khutbah mesti mencaci sana-sini.
NU Membela Iran yang Tertindas, Bukan Syiahnya
Nah ini banyak yang salah faham, dikiranya kalau saya bela Iran, saya masuk Syiah, karena kalau saya masuk syiah, sama mesti mut’ah, dan itu pasti ditentang oleh Fatayat. Perkara urusan Nahdlatul Ulama membela, itu bukan masalah syiah sebagai ajaran, tetapi hak sebuah bangsa yang dilanggar semena-mena dengan kekuatan yang mendominasi. Ini yang tidak kita setujui, bukan syiahnya. Bayangkan Iran itu baru mau bikin nuklir hanya untuk damai, belum sampai untuk bom, itu sudah dicurigai, dihukum, sementara Israel yang memproklamirkan nuklir yang dilakukan oleh perdana menterinya sendiri, tidak mendapatkan sanksi apa-apa. Lha hebatnya lagi, Indonesia ikut menghukum Iran, padahal Indonesia, Iran, Palestina, Sudan, Pakistan, Afgtanistan, Irak, Somalia, itu kan sama-sama menderita karena Isreal dan Amerika. Lho sama-sama menderita kok menghukum untuk kepentingan yang menderitakan? Ini kalau tidak mental inlander tidak bisa.
Generasi Muda NU Alami Kesenjangan Ajaran
Saudara-saudara, jadi ada dua aliran besar yang saat ini gencar masuk ke Indonesia. Sebenarnya dulu ini pernah dilakukan wahabi karena Syaikh Surkati ada unsur wahabisme disitu, tetapi untuk Muhammadiyah tidak semuanya wahabisme. Sebagian melakukan akulturasi karena tempatnya di Jogja, yang kerajaan. Ini sudah cair sekarang antara NU dan Muhammadiyah, sangking cairnya, group sholawat Badar di Jawa Timur yang menang Muhammadiyah karena suaranya yang group NU jelek, elek, terbange ora muni, sementara mereka bagus.
Sekarang anak-anak NU lebih senang taraweh yang 11 rakaat karena lebih senang yang diskon 60 persen dari jumlah yang seharusnya itu. Kenapa ini terjadi, karena ada proses regenerasi. Dulu waktu zaman Pak Idham Cholid dan Buya Hamka, NU dan Muhammadiyah rukun karena sama-sama ngertinya. Lha sekarang anak-anak muda itu rukun karena sama tidak ngertinya. Jadi yang anaknya orang NU tidak ngerti NU-nya, anaknya orang Muhammadiyah juga tidak ngerti Muhammadiyahnya.
Ketika generasi ini blank, dan ada aliran masuk, maka terjadi kerawanan nasional, siapa yang dulu, itu yang menang. Jadi kita tidak bisa hanya mengeluh-mengeluh. Kita harus bergerak. Seluruh NU harus di-NU-kan kembali. Karena sekarang, siapapun yang masuk, ia bisa mendapatkan anggota.
Saya kemarin dapat surat dari HTI, mereka akan membuat peringatan besar. Salah satunya, mereka akan membuat apel di Gelora Bung Karno. Mereka bilang, “Pak Hasyim supaya datang karena disitu akan ada 100 ribu HTI dari seluruh dunia yang berkumpul.” Sementara kita yang mayoritas di Jakarta, paling jauh di Istora yang cukup 10 ribu, belum berani secara langsung seperti yang dulu. Ini adalah gejala-gejala yang perlu kita perhatikan.
Ancaman Ideologi Transnasional
Nah yang kedua masih dalam masalah agama adalah ideologi politik transnasional. Di Timur Tengah, banyak ideologi-ideologi lokal, misalnya Ikhwanul Muslimin. Ini masuk di Indonesia dalam dua sayap. Sayap yang melakukan kegiatan keummatan diwakili oleh Hizbut Tahrir, lalu yang melakukan gerakan demokratis sesuai dengan sistem yang berlaku dilakukan oleh PKS. Jadi sebenarnya HTI dan PKS dua sayap satu badan. Nah orang-orang yang ada di Ikhwanul Muslimin, hampir di seluruh Timur Tengah dilarang karena nawaitunya untuk mengkudeta kekuasaan yang ada. Ideolognya dulu namanya Sayyid Qutb kemudian organisatornya Hasan al Banna. Nah pada waktu Jamal Abdul Nasser, itu dibabat habis. Sekarang hampir seluruh negara di Timur Tengah melarang Ikhwanul Muslimin, termasuk Hizbut Tahrir seperti di Yordania, Iran, Syiria, apalagi Saudi yang memang sudah punya sendiri. Kenapa ini terjadi, karena ada faktor politis berupa kekuasaan yang dibahayakan. Tetapi, anehnya liberalisasi politik di Indonesia membuka itu dan masuk semua. Ini belum pada sayap Majelis Mujahidin. Nah sayap Mujahidin tidak terlalu besar, mungkin regional plus yang di Pakistan. Maka lahirlah Ustadz Baasyir dan sebagainya.
Ada juga Jaulah yang celananya mesti dipertinggikan dengan segala ekstrimitasnya, dan dia ingin mewujudkan suasana seperti zaman Rasulullah pada zamannya. Ini semuanya yang saya maksud aliran dan ideologi transnasional.
Sayangnya teman-teman kita disini mau mengageni, padahal mereka sendiri disana ribut. Bayangkan kalau kita menjadi bagian dari pemimpin yang dirumahnya sendiri ribut. Maka Indonesia akan terancam terbelah-belah, baik secara aliran maupun politik transnasional.
Ini yang sering saya sampaikan kepada pemerintah, tetapi pemerintah lebih senang berfikir reshuffle daripada semua ini. Dan kelihatannya sangat pragrmatis, siapa yang dukung ya jadi, begitu saja. Pragmatisme yang begini ini, tidak bisa tidak, pasti membahayakan Pancasila. Ia akan membongkar akar ideologi yang mempersatukan Indonesia.
Ancaman Liberalisme dari Barat
Disisi lain, kelompok dari Barat ingin mengulangi apa yang mereka lakukan pada abad pertengahan pada agama Katolik dan Protestan yang ada di Eropa. Mereka melakukan liberalisasi pemikiran. Apa yang terjadi? yang terjadi adalah, daratan Eropa, inklusif negara Timur seperti Australia, sebenarnya Kristen dan Katolik tidak lagi menjadi agama yang kental dan militan. Anak-anak kita itu kalau mau bangun masjid, beli gereja. Jadi jual beli gereja itu biasa disana. Juga teman kita yang di Inggris, membuat rumah sakit dengan membeli geraja. Ini artinya apa, Katolik dan Kristen sudah tidak lagi menjadi satu gerakan yang militan. Kalau ini masuk di Indonesia, sebenarnya akan menggerogoti akidah dan syariah dengan cara pemahaman agama yang lepas dari konteks manhaji.
Tradisi Keagamaan NU
Salah satu kekhususan NU adalah darimana seseorang mendapatkan agama, kedua cara mengerti agama, bagaimana mengamalkan agama secara pribadi dan bagaimana membawakan agama dalam komunitas plural.
Darimana kita mendapatkan agama, itu penting karena kita mendapatkan agama dari Imam Syafii itu tidak sama dengan Imam Samudra. Kita mendapatkan dari Abu Bakar Siddiq tidak sama dengan Abu Bakar Baasyir. Karena itu, anak-anakku Fatayat, saya misalnya, saya belajar hadist dari Kiai Maimun Zubair, ini guru saya langsung. Kiai Maimun selalu mengatakan saya belajar dari ayahnya, ayahnya belajar dari kakeknya dan begitu seterusnya sampai kepada Imam Muslim dan akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW. Jadi tidak boleh orang NU cari agama eceran. Dia harus jelas sumbernya dari mana dan konsistensinya bagaimana. Dia harus historical science. Tidak boleh merupakan fenomena-fenomena.
Kedua, cara memahaminya, ini harus ada manhajnya. Jadi kalau Qur’an dan hadist bagaimana, pemikiran itu dimana tempatnya. Apa bedanya, pemikiran dengan jual beli fikiran? Ini kelihatannya sama, tapi sebetulnya tidak sama. Kalau jual beli fikiran, tambah aneh tambah mahal. Kalau memang pemikiran, harus punya manhaj. “Oke saya menghargai pemikiran anda sepanjang manhaji,” artinya ada paradigma yang mengatur sehingga pengembangan menjadi tanmiyah, bukan inghirob didalam syariah. Tanmiyah itu pengembangan, inghirob itu pembelokan.
Jadi di NU diperlukan taswiyah dan tanmiyah sekaligus. Pemurnian sebagai NU dan pengembangan karena situasi keadaannya, tapi pengembangan bukan destruksi terhadap konstruksi pemikiran manhaji yang sudah ada dalam ahlusunnah wal jamaah.
Strategi Dakwah NU
Yang paling dalam unik NU adalah cara membawakan agama ke tempat plural. Ini tidak ada duanya di dunia. Kita punya tiga metode, fikhul akham, fikhud dakwah dan fikhus siasah. Untuk menunjukkan ini halal, ini haram, tidak boleh dinego, harus pas. Ini tidak boleh, ini sebetulnya… Kalau haram ya haram. Al halalu bayyinun wal haraamu bayyinun, wabaynahuma musytabihad laa ya’lamuhunna, katsirum minannaar. Tetapi fikhul akham ini dibawakan oleh NU untuk ummat yang sudah siap menerima itu, namanya ummat ijabah. Oleh karenanya kiai kalau pada istrinya sendiri, anaknya, atau santrinya bersikap keras karena mereka ummat yang harus bisa menerima legal formal dari syariat itu. Tidak bangun subuh, siram air. Tapi kiai kalau pada ummatnya, tidak, karena menggunakan fikhud dakwah, bukan fikhul ahkam. Bukan orang divonis jelek, tetapi orang diproses menjadi baik, dengan guidance dan konseling, dengan bil hikmah wal mauidhotil hasanah. Al wa’du wal irsyad, wal mujaadalah billati hiya ahsan.
Ini proses, kalau fikhul ahkam itu adalah masalah yang legal formal, tetapi dakwah adalah proses sehingga tidak boleh memvonis kamu kafir,. Ya kalau tahu kafir ya didorong supaya mau asyhadu al laa ilaaha illallah. Bil hikmah itu artinya bil adillatil muhakkamah dengan argumentasi yang meyakinkan orang yang mendengar bahwa yang kita katakan benar.
Kedua, dengan guidance dan konseling. Di sini dai mengurai kesulitan hidup seseorang. Oleh karena itu, mengapa kiai banyak tamu, ini karena tamu mengeluh, ada yang ditinggal suaminya, ada yang suaminya kawin lagi tak omong-omong. Ada yang istrinya sudah ucul dua tahun, ada yang belum dapat jodoh sampai takut neyeng. Kemudian dia mengurai, ini caranya begini, cara batinnya begini, cara doanya begini, cara khaliyahnya begini, itu al wa’du wal irsyad dan sekarang sudah jarang dilakukan orang. Yang ada caci maki tok, sama infotaiment, sing edel-edel kejelekan orang. Kalau dibantah, itu harus dikembalikan bantahannya, dengan cara yang lebih manis dari mbantahnya. Mujadalah billati hiya ahsan.
Nah, kita sering diserang, Islam tidak menghormati wanita, Islam tidak gender, macem-macem. Cara mengembalikannya tidak boleh bawa pentung, muring-muring, ngamukan, tapi kalahan. Biasanya kalau ngamukan itu orang yang hampir kiai, jadi santri sudah lewat, kiai belum nyampe. Kemana-mana bawa pentung sama Allahu Akbar. "Polisi di Allahu Akbari, akhire polisine bilang samiallahu liman hamidah. Lha kita penonton, robbana lakal khamdu… ini tidak fikhud dakwah."
Yang saya maksud billati hiya ahsan, mudah-mudahan tidak tersinggung. Saya pergi ke Vatikan lebih dari empat kali. Suatu saat pernah ketemu dengan konsinyer, yang mengurusi interfaith di Vatikan. Saya disindir, Pak Hasyim, benarkah kiai-kiai NU itu istrinya banyak? Wah ini membuka rahasia dapur. Tapi karena omongnya sambil ketawa-ketawa, saya juga bercanda. O.. ia bener, karena menampung calon istrinya pastur yang tidak jadi dikawin. Makanya tak usah marah, billati hia ahsan. Ini yang paling banyak dilakukan oleh dai kita.
Pendekatan ketiga, uniknya kita memiliki fikhus siyasah. Ini adalah pendekatan politik dan pendekatan diplomatik. Nah pendekatan politik ini dapat kita lihat beberapa spektrumnya. Pertama adalah hubungan agama dan negara. Ini tak ada seluruh dunia tak ada seperti ini. Jadi fikhul ahkam tadi untuk orang NU yang sudah ijabi, yang sudah menerima. Karena Indonesia itu plural, maka yang naik ke Indonesia itu bukan formulasi agama tapi substansi nilai dan substansi maknawinya sehingga bisa menjadi umbrella seluruh keyakinan yang ada. Seperti korupsi, anti korupsi itu Islam, jadi kalau UU anti korupsi itu tak usah dikasih embel-embel UU Islam Anti Korupsi. Nanti Kristennya protes, lho nanti jadinya UU Anti Korupsi Islam, Kristen, Kebatinan, Mak Lampir dan sebagainya, ini yang saya maksud substansialisme inklusif, bukan formalisme ekslusif.
Kedua, kalau agama naik secara maknawi, ia akan bersifat universal, dengan sendirinya akan mudah diterima orang lain. Faktor keadilan, kejujuran, persatuan dan sebagainya. Nah, spektrum selanjutnya adalah, karena kita punya ukhuwah nahdliyyah, ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah basyariyah atau insaniyyah, maka kita tidak ada halangan untuk bertemu sesama muslim beda aliran, dengan non muslim karena persamaan humanitas dan tidak ada kesulitan untuk melakukan gerakan internasional seperti yang dilakukan oleh NU dalam ICIS. Cuma bedanya, kalau aliran transnasional itu mengageni dari luar, NU itu kalau keluar keluar menawarkan nilai domestik Indonesia yang tawassuth dan i’tidal. Jadi kita tak kulakan, tapi jualan kemana-mana. Ke Inggris, dan sekarang mulai didengar orang karena mereka sudah mentok dengan ekstrimitas yang ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Ditengah kesulitan kita, Allah membuka peluang bahwa apa yang kita punya benar.
Sekarang yang paling berat yang datang dari syiah, wahabiyah, Majelis Mujahidin Indonesia, Ikhwanul Muslimin yang mulai kembali menghujat tahlil dan sebagainya. Kalau dulu kan Muhammadiyah, sekarang mereka sudah bosen menghujat dan akhirnya ganti. Lha mereka tidak membuat masjid tapi mengambili masjid yang ada, termasuk masjidnya Muhmammadiyah. Mas Din itu ngeluh dalam sidang tanwir, masjid Muhammadiyah diambili oleh Islam transnasional. Saya bilang ini hukum karma karena dulu ngambili masjid NU, cuma kita ini dobel, dulu diambili sekarang juga diambili. kalau Muhammadiyah dulu ngambili sekarang diambili. Jadi tahu rasanya, sama. Jadi Muhammadiyah ini sekarang ini ber NU-NU. Karena kering juga, kepingin wiridan sementara NU juga kepingin manajemennya lebih baik, dan sebagainya.
Disinilah masalah yang harus dibaca dengan baik. Fatayat tidak boleh megneluh saja, dan ingat, sasarannya adalah NU, terutama generasi muda yang lepas nasabnya dengan zaman Hadratussyaikh Hasyim Asyari. Yang jadi sasaran Ansor, IPNU, Fatayat dan sebagainya.
Tak Boleh ada Rangkap Jabatan
Sekarang mengenai masalah yang menyangkut politik, NU bukan organisasi politik, tetapi NU memerlukan alat politik. Tapi karena wawasan keagamaan dan kebangsaan adalah sesuatu yang makro, sementara politik hanya masalah kekuasaan, maka harus dipilah gerakannya. Bukan tidak boleh, dipilah, misalnya sekarang Maria Ulfa jadi anggota DPR, silahkan jadi DPR, tetapi sekalian berwawasan kebangsaan, tetapi jangan sekalian memimpin organisasi politik bersamaan dengan Fatayat. Mimpinnya yang jangan, karena kalau memimpin dobel, penampilan figurnya yang kacau. Ini semuanya tidak menyangkut politik itu perlu atau tidak perlu, tetapi penataan bagaimana antara substansi perjuangan dengan alat perjuangan bisa dikombinasikan dengan baik.
Kondisi Politik Tak Sehat
Sayangnya rahmat politik yang diterima oleh Indonesia, belum bisa diterima oleh rakyat Indonesia itu sendiri. Saya orang yang mengalami 32 tahun orde baru. Ketika itu, Indonesia dipimpin tentara. Tentara membawahi birokrasi. Tentara plus birokrasi mendirikan Golkar yang menyedot suara dari rakyat, jadi bolak-balik saja sementara PDI dan PPP ketika itu dia hanya kompelenter dan DPR secara keseluruhan bukan legislator, tapi legalisator dari kemauan eksekutif sehingga terjadi kepengapan politik. Sentralisme politik menyebabkan korupsi merajalela di pusat.
Akhirnya jebol ini semuanya diganti reformasi dengan adanya pergeseran kekuasaan dari tentara ke partai yang plural atau multipartai, tidak tahu berapa puluh. Karena jumlahnya banyak, maka tidak ada mayoritas mutlak. Partai sekarang powerful, masuk ke DPR, mengkapling kabinet, juga masuk di lembaga judikatif. Masalahnya kalau negera ini diserahkan kepada partai, gampangannya sehatkah partai itu dalam memproduk orang-orangnya sehingga bisa menjadi negarawan yang mampu dan kompeten untuk memimpin Indonesia? kalau ya, alhamdulillah, kalau tidak, akan terjadi stagnasi ditengah jalan. Presiden sama wakil presiden tidak cocok, presiden sama menterinya jauh karena menteri kaplingan dari partai, dia ikut partai atau presidennya ya lihat harinya, kalau pon kliwon melok presidene, mengko nek paing karo legi melu partaine. Ini potensi penyangga negara apa potensi pengkaplingan kekuatan negara? Ini semuanya menjadi pemikiran kita. Oleh karena itu, NU mulai Juni mendatang akan mendiskusikan hal ini. Ini bukan masalah ringan. Ini masalah berat, fundamental yang akan menentukan masa depan bangsa kita.
NU berpolitik, ya, tapi politik keummatan, keIslaman, dan politik kebangsaan, bukan politik kekuasaan. Maka, seluruh masalah bangsa kita ikut bicara, tapi kalau ditanya reshuffle, saya bilang tidak punya calon, ini kan bagiannya partai politik, wong mereka nga keduman, apalagi NU. NU itu nasabnya bagus tap nasibnya yang tidak bagus.
Sekarang dari konstelasi yang saya sebutkan, saudara akan bertindak seperti apa dalam mencari solusi. Ini yang saya tekankan untuk dibicarakan disini. Keadaan sudah seperti ini, tadi diceritakan orang di desa sudah pada tak mau tahlil, padahal Muhammadiyah sudah mau tahlilan. Kemudian ada selebaran dari jombang katanya tahlilan itu haram, lha bodonya orang NU itu kok ya percaya.
Fatayat harus perkuat Struktural dan Kultural
Ini semuanya harus diatasi dengan gerakan struktural dan kultural yang terpadu, maka saya minta Fatayat hidup sampai ranting, bukan hanya diskusi-sikusi. Ini boleh untuk wacana, tetapi realisasinya harus sampai ke ranting, yang setiap ranting harus membentuk anak ranting yang berbasis sampai ke masjid dan musholla. Tidak usah masjid itu ditulisi masjid Fatayat, tidak usah begitu, tetapi ranting Fatayat memiliki anak ranting sejumlah masjid yang ada di desa itu dan masing-masing bertanggung jawab untuk mengawasi masjid. Karena mereka akan bergerak dari situ dan yang akan mereka rohohkan adalah stelsel nasional kita. Sayang saya bergerak begini sendiri, teman yang nasionalis tak nyaut, mungkin lupa bahwa gerakan transnasional ini membahayakan nasionalisme negara kita.
Sektor Riil Belum Tumbuh
Kemudian saya juga menggarisbawahi apa yang disampaikan oleh pucuk pimpinan Fatayat tentang ekonomi. Saya menyesal mengapa pemerintah kita bersaing dengan rakyatnya sendiri. Sekarang cari uang di desa sulit, uang tersedot masuk di bank. Bank juga tak mengeluarkan kredit karena macet. Akhirnya oleh bank disimpan lagi ke SBI, disitu diberi bunga yang lebih tinggi. Artinya pemerintah bersaing dengan rakyatnya sendiri yang seharusnya bergerak di sektor riil. Begini-begini ini kerjaannya DPR. Saya juga dengar DPR baru saja mengeluarkan UU tentang permodalan, tak tahu PKB setuju atau tidak. Kalau saya baca sepintas, Indonesia sudah dikasihkan, dan belum tentu ada yang mau menerima karena diributi oleh buruh. Jadi rendahnya kita, sudah dikasih belum tentu ada yang mau. Kita ini pada posisi yang tragis, dimana-mana rusak, apakah di Barat atau di Timur.
Disela-sela kerusakan itu, kita sebenarnya mempunyai mutiara-mutiara yang sebenarnya bisa dikembangkan secara internasional, tetapi masalahnya kembali-kembali, Indonesia tidak dipercaya karena miskin, miskin, miskin. Perlu ada gerakan rasional dalam mengatasi kemiskinan.
Pertama, pendekatan budaya yang non hedonis, sekarang bangsa kita wis miskin, gaya, penampinannya meyakinkan, tapi sebenarnya rokoknya eceran. Orang berlomba-lomba membeli HP sekalipun hanya untuk miskol, dalilnya miskoladharrotin. Jadi ia ingin tampil heebat padahal tidak ada apa-apanya. Orang Indonesia sama sekali tidak produktif,
Warga NU harus Siapkan Diri Hadapi Beras Mahal
Saya diperintahkan Kiai Sahal, beritahu orang NU, untuk jaga-jaga beras mahal, pekarangan depan dan belakang di rumahnya ditanami umbi-umbian, semoga tidak ada kelaparan di tahun yang akan datang. Karena satu hektar tahan kalau dipakai padi hanya 6 ton, tapi kalau ditanami umbi-umbian bisa 60 ton, dari situ kita sudah makan, dan gizinya, kata ahli gizi tak kalah, gengsinya yang kalah. padahal gengsi itu tidak jelas juga. Orang Indonesia paling senang membeli gengsi, mobil juga membeli tahun, bukan enak atau tidak enak dipakainya. Ini dari segi budaya, dari segi politik, bagaimana bisa jadi, seluruh pemimpin bertengkar di depan ummatnya sendiri. Ini semuanya yang kita hadapi, moga-moga Allah subhanahu wataala memberikan jalan keluar untuk kita semua. Dan dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim secara resmi rapat kerja nasional Fatayat NU secara resmi dibuka.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Larangan Pamer dan Bangga dengan Dosa-dosa
2
Khutbah Jumat: Membumikan Akhlak Nabi di Tengah Krisis Keteladanan
3
Pastikan Arah Kiblat Tepat Mengarah ke Ka'bah Sore ini
4
Khutbah Jumat: Sesuatu yang Berlebihan itu Tidak Baik, Termasuk Polusi Suara
5
Trump Turunkan Tarif Impor Jadi 19 Persen, Ini Syarat yang Harus Indonesia Penuhi
6
Khutbah Jumat: Meneguhkan Qanaah dan Syukur di Tengah Arus Hedonisme
Terkini
Lihat Semua