Tasawuf/Akhlak

Masyayikh Tarekat: Imam Ja’far ash-Shadiq, Guru para Guru Sufi

Sab, 29 Agustus 2020 | 05:00 WIB

Masyayikh Tarekat: Imam Ja’far ash-Shadiq, Guru para Guru Sufi

Kredibilitas Imam Ja’far ash-Shadiq diakui banyak ulama. Murid-muridnya tak hanya menjadi guru sufi, tapi juga ulama hadits dan fiqih.

Imam Ja’far ash-Shadiq menjadi masyayikh (guru sufi, red) Naqsyabandiyah setelah Imam Al-Qasim bin Muhammad, juga masyayikh Qadiriyah-Naqsyabandiyah dan tarekat Syathariyah setelah Imam Muhammad al-Baqir. Setelah Imam Ja’far as-Shadiq diturunkan kepada Abu Yazid al-Busthami, lalu kepada Muhamamd al-Maghribi, merupakan silsilah Syathariyah; dan setelah Imam Ja’far ash-Shadiq diturunkan kepada Imam Musa al-Kazhim menjadi silsilah Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Baik tarekat Syathariyah ataupun Qadiriyah-Naqsyabandiyah adalah cabang tarekat Imam Ali dari jalan Imam Husein bin Ali.

 

Abul Hasan Ali al-Hujwiri, pengarang Kasyful Mahjub dan salah satu guru tarekat Junaidiyah dari jalan Abul Fadhal Muhammad bin Hasan al-Kuttali, menyebut Imam Ja’far ash-Shadiq sebagai “terkenal di antara syekh sufi, karena kedalaman ajarannya dan pengetahuannya akan kebenaran spiritual, dan beliau telah menuliskan buku terkenal yang menjelaskan sufisme.

 

Menurut al-Hujwiri, terdapat riwayat yang menjelaskan bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq berkata: “Siapa pun yang mengetahui Allah, maka dia berpaling dari semua yang selainnya.” Orang arif berpaling dari yang lain (kecuali Allah) dan terputus dari semua urusan duniawi, karena pengetahuannya (ma’rifat) adalah sesuatu yang nakirah, karena nakirah bagian dari pengetahuannya, dan pengetahuan menjadi bagian dari nakirah-nya. Dengan demikian orang arif terpisah dari manusia dan pikiran tentangnya, dan dia menyatu dengan ilahi. Yang lain tidak memiliki tempat di hatinya, sedikitpun tidak boleh mengalahkan perhatiannya, dan eksistensinya tidak memiliki arti apa-apa baginya, dan bahwa dia harus menghilangkan ingatan pikiran darinya.”

 

Al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal menyebut nama lengkapnya adalah Ja’far bin Muhammad bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Thalib. Dengan mengutip Abu Bakar al-Jabir dan al-Lalika’i menyebut beliau dilahirkan tahun 80 H (697 M). Beliau memiliki hubungan dengan keluarga Imam Ali dari jalur ayah, dan dari jalur ibu memiliki hubungan dengan keluarga Sayyiduna Abu Bakar ash-Shiddiq.

 

Ibunya bernama Ummu Farwah binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq. Nama Ummu Farwah itu adalah Asma binti Abdurrahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq. Oleh karena itu, al-Munawi dalam al-Kawakibu ad-Durriyah fi Tarajim Sadatish Shufiyah dan al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal mengutip pernyataan Imam Ja’far ash-Shadiq berhubungan dengan keluarga Sayyiduna Abu Bakar ash-Shiddiq: “Abu Bakar telah melahirkan saya dua kali.” Dari sini dapat dipahami bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq adalah cucunya Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, dari jalur ibunya.

 

Sanad Keilmuan

Imam Ja’far mengambil ilmu dari banyak para tabi’in, di antaranya sebagaimana disebut al-Mizzi adalah kakeknya sendiri (dari pihak ibu) yaitu Al-Qasim bin Muhammad, ayahnya sendiri yang bernama Muhammad al-Baqir, Muhammad bin Munkadar, Ubaidillah bin Abi Rafi’ (Katibnya Imam Ali), Muslim bin Abi Maryam, dan Naïf Maula Ibnu Umar. Menurut sumber lain, disebutkan bahwa Imam Ja’far ash-Shadiq sempat bertemu dengan beberapa sahabat yang berumur panjang, seperti Anas bin Malik dan Sahl bin Said.

 

Orang-orang dan tokoh yang mengambil ilmu dari Imam Ja’far ash-Shadiq, dan karenanya menjadi muridnya, banyak sekali, dan di antaranya: Aban bin Taghlab, Isma`il bin Ja’far, Hatim bin Isma`il, Al-Hasan bin Iyasy, Al-Hasan bin Shalih, Abu Bakar bin Iyasy, Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin `Uyainah, Said bin Sufyan al-Aslami, Sulaiman bin Bilal, Syu’bah bin Hajjaj, Malik bin Anas, Muhammad bin Ishaq bin Yasar, Musa bin Ja’far al-Kazim, Abu Hanifa an-Nu’man, Wuhaib bin Khalid, dan lain-lain.

 

Integeritas Imam Ja’far ash-Shadiq, diakui banyak pakar jarah-tadil, sufi, dan para faqih. Musab bin Abdullah bin Zubair dari ad-Darwadi mengatakan: “Malik tidak meriwayatkan dari Imam Ja’far sampai munculnya Bani Abas.” Imam Syafi`i menyebut Ja’far ash-Shadiq sebagai tsiqatun. Yahya bin Ma`in menggelarinya tsiqatun. Riwayat-riwayat yang disandarkan dari perkataan Imam Ja’far, dan dikutip al-Mizzi menyebutkan, beliau mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, dan berlepas diri dari orang yang tidak mengakuinya.

 

Selain memiliki murid-murid di bidang hadits dan fiqih, Imam Ja’far memiliki murid-murid tarekat, yang terkenal dan bertahan periwayatan sanadnya hingga sekarang ada dua: Imam Musa al-Kazhim dan Abu Yazid al-Busthami, yang telah disebutkan di atas. Dari Abu Yazid menjadi Naqsyabandiyah dan Syathariyah; dan dari Imam Musa al-Kazim menjadi Qadiriyah-Naqsyabandiyah.

 

Keramat dan Petuah

Di antara beberapa karamat Imam Ja’far ash-Shadiq, cukup banyak dan disebutkan dalam banyak kitab thabaqat sufi, dan di antaranya  disebutkan al-Munawi dalam Al-Kawakibud Durriyah dan Abdul Wahab asy-Sya’rani dalam Ath-Thabaqatul Kubra. Abdul Wahab asy-Sya’rani menyebutkan: “Setiap kali dia membutuhkan sesuatu dia mengatakan: “Duhai Tuhan, Duhai Tuhan, aku membutuhkan sesuatu.” Sebelum doanya selesai ditengadahkan, sesuatu yang diminta Ja’far itu sudah ada di sampingnya.”

 

Al-Munawi memperkuat cerita keramat Imam Ja’far ash-Shadiq, berdasarkan kesaksian dari Al-Laits bin Sa`ad yang bercerita: “Pada tahun 113 H., aku berhaji ke Makkah. Pada suatu hari setelah sholat ashar, aku naik ke puncak Jabal Abu Qubais. Tiba-tiba aku melihat seseorang (Ja’far Shadiq) yang duduk bersimpuh sambil berdoa: “Ya Rabb ya Rabb sampai (hampir) terputus napasnya.” Kemudian berkata: “Ya Hayyu Ya Hayyu, sampai (hampir) terputus napasnya.” Kemudian dia berkata “Ilahi aku ingin buah anggur segar, maka berilah aku makan yang engkau ciptakan.” Al-Laits kemudian berkata: “Tatkala perkataannya telah selesai, aku melihat wadah yang penuh anggur…” (KDTSS, I: 179)

 

Sedangkan beberapa perkataan Imam Ja’far ash-Shadiq dijadikan pegangan banyak ulama sufi, para pejalan di jalan Allah, dan para faqih, di antaranya disebutkan al-Munawi dan Abdul Wahab asy-Syarani:

 

“Tidak akan sempurna ma’rifat yang diketahui kecuali dengan tiga perkara: engkau mengecilkan dalam pandanganmu (amalamu jangan dilihat terus menerus sebagai hal besar), engkau menyembunyikannya (dirimu dipendam dengan berbagai amal, wirid, dan tafakur), dan engkau menyegerakannya (selalu ingat untuk melakukan kebaikan)”

 

“Tidak ada musibah yang paling besar/paling agung daripada kebodohan.”

 

“Barang siapa yang bersahabat dengan sahabat pelaku kekejian/keburukan, dia tidak akan selamat, Barang siapa yang masuk ke tempat keburukan, dia akan dituduh, Barang siapa yang tidak memiliki lisan (untuk terus berbicara), dia akan banyak melakukan penyesalan.”

 

“Saat dunia menghampiri seseorang, maka dunia akan memberinya kebaikan-kebaikan orang lain. Apabila dunia berpaling darinya dunia akan memotong/mencabut kebaikan-kebaikan dirinya.”

 

“Barang siapa yang lambat rezekinya perbanyaklah istighfar.”

 

“Allah pernah berwahyu kepada dunia, agar melayani orang-orang yang melayani Allah, dan mempersulit orang-orang yang menjadi pelayan dunia.”

 

“Jika kamu melakukan dosa, maka perbanyaklah istighfar, karena kesalahan-kesalahan itu akan dikalungkan di leher seseorang sebelum diciptakan. Serusak-rusaknya suatu kerusakan adalah melanggengkan perbuatan dosa.”

 

Imam Ja’far ash-Shadiq wafat di Madinah pada tahun 148 H., dengan meninggalkan banyak murid yang tersebar di banyak wilayah, baik dalam periwayatan hadits, fiqh dan tarekat. Dalam hal tarekat, Imam Ja’far ash-Shadiq selain dihubungkan dengan silsilah tarekat di atas (Naqsyabandiyah dan Syathariyah), yang dikenal memberikan tarekat kepada Abu Yazid al-Busthami; juga dikenal memberikan tarekat Imam Ali kepada anaknya, Musa al-Kazhim dan diturunkan kepada Ali ar-Ridha, dan diturunkan kepada Maruf al-Karkhi dan seterusnya, sebagaimana tradisi ini dipercayai dalam silsilah Qadiriyah-Naqsyabandiyah.

 

Imam Ja’far ash-Shadiq wafat tahun 148 H. (765 M.) Anak-anak beliau menurut kitab Syamsuzh Zhahirah ada 13 laki-laki dan 7 perempuan, dan di antara mereka, yang memiliki sambungan keturunan hingga saat ini, yaitu: Muhammad al-Al-Akbar diberi laqab ad-Dibajah (hidup pada masa Khalifah al-Ma’mun), Ishaq diberi laqab al-Mu’tamin, Musa al-Kazhim, dan Ali al-Uraidhi (yang terkecil umurnya dari anak-anaknya). Tarekatnya diteruskan oleh Abu Yazid dan Imam Musa al-Kazhim.

 

 

 Nur Kholik Ridwan, Penulis buku "Suluk dan Tarekat: Jalan Mengenal dan Mendekatkan Diri kepada Allah"