Tasawuf/Akhlak

Jangan Pernah Berpikir Merdeka!

Kam, 19 Agustus 2021 | 12:00 WIB

Jangan Pernah Berpikir Merdeka!

Kemerdekaan dan kebebasan bukanlah tentang terpenuhinya materi atau dengan memiliki banyak harta.

Secara umum, kemerdekaan adalah keadaan yang berdiri sendiri. Kemerdekaan bisa diartikan bebas, lepas, tidak terjajah dan sebagainya, sebagaimana tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).


Jika melihat makna ayat Al-Qur’an secara umum, maka semua yang ada di langit dan bumi adalah hamba (‘abdun). Artinya, ia tidak bisa dikatakan merdeka, tidak bisa dikatakan bebas. Allah berfirman:


إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّماوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْداً (مريم: 93)


Artinya, “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, melainkan akan datang kepada (Allah) Yang Maha Pengasih sebagai seorang hamba.” (QS Maryam: 93).


Imam Abul Fida Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqi (700-774 H) mengatakan, ayat di atas hanya berkaitan dengan ranah ibadah, bukan dengan ranah sosial. Artinya, jika semua makhluk yang ada di bumi dan langit dikatakan sebagai hamba, maka tidak boleh ada yang dijadikan tuhan selain Allah swt. Jika ada, maka semua itu hanyalah rekayasa tanpa dalil yang pasti. Allah telah mengutus para nabi dan rasul sejak awal sampai nabi paling akhir, untuk menjelaskan bahwa yang harus dijadikan tuhan hanyalah Allah semata. Namun ada sebagian dari mereka yang mengingkari dan menolak ajakan/risalah yang disampaikan para nabi dan rasul. (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, [Syiria, Dâruth Thayyibah: 1999], juz IV, halaman 447).


Syekh Muhammad bin Jarir Abu Ja’far ath-Thabari (224-310 H), mengatakan bahwa QS Maryam: 93 juga tidak menjelaskan sisi sosial, ia lebih pada penjelasan keadaan manusia kelak di hari kiamat. Semua makhluk yang ada di langit dan bumi akan datang kepada Allah sebagai hamba, dengan keadaan hina dan tunduk serta mengakui status kehambaannya dan membenarkan ketuhanan Allah swt. (ath-Thabari, Tafsîruth Thabari, [Muassasah ar-Risalah: 2000], juz XVIII, halaman 261).


Syekh Nawawi Banten (wafat 1316 H) memiliki pandangan yang cukup berbeda. Menurutnya, semua yang ada di bumi dan langit tidak ada yang memiliki status merdeka, ia masih dalam status dimiliki (mamlûk). Tentunya, ia harus mengakui bahwa dirinya hanyalah seorang hamba, dan harus taat kepada Allah swt, selaku yang menciptakan bumi dan langit serta isinya, juga tidak mengingkari apa yang diperintahkan Allah kepadanya. (Nawawi Banten, Marâhu Labîd li Kasyfi Ma’nal Qur’ânil Majîd, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah], juz II, halaman 19).


Melihat beberapa penafsiran ulama di atas maka sangat jelas, dalam ranah ibadah (vertikal), tidak ada istilah “kemerdekaan” dan “kebebasan” bagi semua makhluk yang ada di bumi dan langit. Artinya, semua makhluk yang Allah ciptakan tidak bisa dikatakan merdeka, ia tetaplah seorang hamba, ada dalam kendali-Nya, terikat oleh aturan-Nya serta semua tingkah lakunya, tidak memiliki kebebasan penuh.


Dalam diskursus ilmu syariat (fiqih) kata kemerdekaan dalam diri manusia bisa diartikan dengan dua arti, (1) kebebasan secara eksternal, yaitu kebebasan dari suatu paksaan, tekanan, kekuatan hegemoni dari luar dirinya sendiri, seperti musuh dan lainnya; dan (2) kebebasan secara internal, yaitu ia bisa menggunakan keputusan yang ia tetapkan pada dirinya, tanpa terikat oleh keputusan orang lain, dan tanpa diikat oleh kehendak dan keinginan orang lain. Ia murni bebas dari segala tuntutan dan segala aturan-aturan orang-orang yang sama dengannya (horizontal), tanpa memandang aturan-aturan kepadanya dari yang lebih atas, yaitu Tuhan (vertikal). (Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Hurriyatul Insân fî Dhilli ‘Ubudiyatihi Lillâh, [Damaskus: Dârul Fikr,: 1992], halaman 22).


Dalam al-Mausû’atul Fiqhiyyah dijelaskan, merdeka memiliki makna kebebasan dari segala bentuk perbudakan dan pemilikan:


وَهُوَ: مَنْ خَلَصَتْ ذَاتُهُ عَنْ شَائِبَةِ الرِّقِّ وَالْمِلْكِ


Artinya, “Merdeka adalah orang yang terlepas dari bentuk perbudakan dan hak milik.” (Lihat, al-Mausû’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Kuwait: Wazâratul Auqâf: 1998], juz XVII, halaman 171).


Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kata merdeka bisa ditinjau dengan dua arti: (1) merdeka dalam hal ibadah (vertikal), dan (2) merdeka dalam hal kemanusiaan (horizontal). Untuk makna merdeka yang pertama, manusia sama sekali tidak memiliki kebebasan, ia sangat terikat oleh segala aturan yang Allah tetapkan dengan segala otoritas-Nya, kepada makhluk yang lemah. Manusia masih ada dalam status perbudakan, yang segala tindakannya masih diawasi dan dijaga dengan ketat. Namun, yang perlu diketahui, makna pertama berkaitan dengan hal kemerdekaan dalam ibadah dan ketuhanan. Adapun makna kedua, bisa dipastikan dan sudah mayoritas bahwa manusia sudah merdeka, mereka memiliki kebebasan penuh untuk melakukan apapun yang ingin dilakukan. Tidak ada yang bisa menghalanginya, selama masih sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan tidak menyalahi aturan-aturan lain, berupa kebaikan dan kerusakan.


Dalam diskursus ilmu tasawuf, kata “merdeka” dengan segala kebebasannya, dan “hamba” dengan segala keterbatasannya, memiliki makna yang lebih sederhana, namun lebih sulit untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Dikatakan dalam sebuah syair:


الْعَبْدُ حُرٌّ إنْ قَنَعْ وَالْحُرُّ عَبْدٌ إنْ طَمَع فَاقْنَعْ وَلَا تَطْمَع فما شَيْءٌ يَشِينُ سِوَى الطَّمَعْ


Artinya, “Hamba sahaya menjadi merdeka apabila dia merasa cukup, dan orang merdeka menjadi budak apabila ia tidak merasa puas. Maka merasa cukuplah, jangan pernah berambisi, karena tidak ada suatu apa pun yang lebih memalukan selain ketamakan.”(Zakaria al-Anshari, Asnal Mathâlib fî Syarhi Raudlit Thâlib, [Beirut, Dârul Kutubil ‘Ilmiyyah: 2000], juz I, halaman 546).


Dari syair di atas dapat dirumuskan, bahwa dalam tinjauan ilmu tasawuf kebebasan dan kemerdekaan bukan tentang orang masih terikat undang-undang atau masih memiliki tanggungan oleh aturan orang lain, atau bisa juga ia masih menjadi hak milik orang lain, tidak. Kemerdekaan hanyalah bagi mereka yang merasa cukup dengan apa yang ada pada dirinya, serta tidak pernah memiliki perasaan dan ambisi untuk memiliki apa yang menjadi hak miliki orang lain.


Sebanyak apapun harta yang dimiliki orang, jika masih memiliki ambisi untuk memiliki hak orang lain, serta tidak pernah merasa cukup dengan apa yang ada pada dirinya, maka dialah budak sebenarnya. Namun, sehina dan semisikin apa pun orang, jika bisa menerima pada apa yang dimilikinya, dan tidak memiliki ambisi untuk memiliki hak orang lain, maka dialah orang merdeka sebenarnya. Merdeka bukan fokus pada kebebasan, bukan pula tercekik dengan adanya aturan, namun merdeka lebih pada sikap menerima pada apa yang Allah berikan kepadanya.


Dalam sebuah hadits Rasulullah saw menjelaskan, kekayaan yang sebenarnya bukan tentang materi, bukan pula dengan semua kebutuhan terpenuhi, namun tentang diri sendiri yang selalu merasa cukup. Rasulullah saw bersabda:


لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ (رواه أبو هريرة)


Artinya, “Bukanlah kekayaan itu disebabkan banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kekayaan jiwa.” (HR Abu Hurairah).


Memiliki kekayaan jiwa dengan selalu menerima apa yang Allah berikan merupakan kekayaan tersendiri yang sangat nikmat. Namun, untuk menjadi hamba yang selalu menerima tentu sangat sulit, dan banyak orang-orang yang belum bisa sabar. Sebab, pemberian Allah kepada hamba-Nya tidak selalu tentang nikmat, terkadang berupa ujian, bahkan ada yang sebagai laknat. Karenanya, Al-Qur’an memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang bisa bersabar dan menerima semua yang Allah berikan kepadanya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan:


وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ (البقرة:155)


Artinya, “Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah: 155).


Hemat penulis, kemerdekaan dan kebebasan bukanlah tentang terpenuhinya materi atau dengan memiliki banyak harta. Apalah arti harta melimpah jika belum bisa menerima dengan apa yang dimiliki dan masih berambisi memiliki apa yang dimiliki orang lain. Ia tak ubahnya sebagai hamba sahaya yang selalu mengharapkan kebebasan dan kemerdekaan. Begitu juga dengan kata “hamba” tidak selalu dimaknai dengan kemiskinan, kebutuhan yang banyak, bukan pula tentang adanya hak milik orang lain pada dirinya, melainkan tentang rasa cukup pada apa yang dimiliki oleh dirinya sendiri. Dengan demikian, ia sudah menempati posisi orang-orang yang sudah merdeka. Karenanya, sebagai manusia yang selalu memiliki ambisi untuk selalu sama dengan orang lain, tidak cukupkah menjadi diri sendiri, padahal sikap seperti ini lebih baik dan lebih maslahat untuk dirinya. Wallâhu a’lam bisshawâb.

 

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan.