Tasawuf/Akhlak AL-HIKAM

Islam, Iman, dan Ihsan Menurut Syekh Zarruq

Sel, 15 Agustus 2017 | 11:02 WIB

Syekh Ahmad Zarruq menjelaskan hubungan ibadah manusia dan konsep Islam, Iman, serta Ihsan. Hal ini disinggung Syekh Zarruq ketika mensyarahkan hikmah pertama pada Kitab Al-Hikam Ibnu Atha’illah. Menurut Syekh Zarruq, ibadah manusia bisa dikategorikan atas tiga konsep dasar di dalam agama Islam tersebut.

Pertama, orang yang mengandalkan amal (ibadah)-nya. Orang ini berpijak pada kelalaian. Ia berada di maqam Islam di mana cemas dan harapnya bergantung pada fluktuasi amalnya. Orientasinya tertuju pada kecepatan frekuensi amalnya untuk mengejar hari esok. Ciri orang ini persis dengan gambaran Surat Al-Hasyr ayat 18.

وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

Artinya, “Manusia itu hendaknya mempertimbangkan apa yang pernah ia lakukan (di dunia) untuk hari esok kelak.”

Kedua, orang yang mengandalkan anugerah Allah. Ia berpijak pada penglihatan akan anugerah-Nya. Orientasinya adalah pembebasan dari daya dan upayanya. Ia berada pada maqam iman di mana ia melihat pasang-surut ibadahnya bergantung pada kuasa-Nya. Ciri orang di maqam ini adalah selalu memulangkan segala perkara kepada Allah, memuji dan bersyukur saat senang dan menyatakan hajat dan kefaqiran kepada-Nya saat susah. Hal ini sejalan dengan Surat An-Nahl ayat 53.

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Artinya, “Nikmat apapun yang ada padamu hakikatnya dari Allah. Bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan sepenuh hati.”

Ketiga, orang yang bersandar pada catatan nasib dan putusan azali. Pijakannya adalah penglihatan akan “aktivitas” Allah. Orientasinya adalah lebur di dalam tauhid. Ia berada pada maqam Ihsan karena menyaksikan Allah pada perubahan warna spiritualnya. Kepasarahan dan sikap diam atas ketetapan takdir menjadi ciri orang ini. Harapannya tidak membesar karena sebab tertentu. Rasa cemasnya tidak berkurang karena suatu lantaran. Seandainya ditimbang, maka bobot harapan dan kecemasannya seimbang dalam kondisi apapun. Orang seperti ini selalu bahagia, tetapi juga bersedih. Salah satu orang di maqam ini adalah Nabi Muhammad SAW. Hal ini tampak jelas pada Surat Al-An‘am ayat 91.

قُلِ اللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ

Artinya, “Katakanlah, ‘Allah (yang menurunkannya),’ kemudian biarkan mereka bermain-main dalam kesesatannya.”

Hal ini diulas secara singkat oleh Syekh Ahmad Zarruq dalam kalimat berikut ini.

وقد قال بعض المحققين رضي الله عنهم: من بلغ إلى حقيقة الإسلام لم يقدر أن يفتر عن العمل، ومن بلغ إلى حقيقة الإيمان لم يقدر أن يلتفت إلى العمل، ومن بلغ إلى حقيقة الإيحسان لم يقدر أن يلتفت إلى أحد سوى الله تعالى. انتهى

Artinya, “Sebagian ahli hakikat mengatakan bahwa orang yang sampai pada hakikat Islam tidak mampu menurunkan frekuensi amalnya. Sementara orang yang sampai pada hakikat Iman tidak sanggup memandang amalnya. Sedangkan orang yang sampai pada hakikat Ihsan tidak bisa melihat apapun selain Allah,” (Lihat Syekh Zarruq, Syarhul Hikam Ibnu Atha’illah, As-Syirkatul Al-Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 16).

Tiga kategori manusia ini tidak diartikan sebagai dorongan bagi kita untuk melakukan penilaian terhadap “level” orang lain. Tiga kategori ini justru mengajak kita untuk mengambil sikap moderat bahwa Allah menciptakan manusia itu berbeda-beda sesuai dengan maqamnya. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)

Terkait

Tasawuf/Akhlak Lainnya

Lihat Semua