Tasawuf/Akhlak

9 Adab Mencari Ilmu dari Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir

Sab, 26 Oktober 2019 | 09:30 WIB

9 Adab Mencari Ilmu dari Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir

(Ilustrasi: NU Online/Romzi Ahmad)

Menuntut ilmu adalah salah satu aktivitas kehidupan yang dianjurkan oleh syariat dengan anjuran yang tegas. Sebagai bukti ketegasannya, umat manusia diperintahkan menuntut ilmu tanpa batasan dimensi waktu dan tempat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tuntutlah ilmu semenjak kamu terbaring di ayunan sampai beristirahat panjang di liang kuburan”. Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China”.
 
Dua hadits Nabi di atas secara tersirat menggambarkan akan begitu pentingnya aktivitas menuntut ilmu itu. Hadits pertama memberi pemahaman bahwa tiada batasan waktu dalam menuntut ilmu. Atau dengan istilah lain tiada kata terlambat untuk mendapatkan ilmu Allah yang membahari itu.
 
Sementara hadits kedua menekankan pemahaman tentang dimensi tempat, artinya aktivitas menuntut ilmu sama sekali tak terbatas oleh dimensi tempat. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian saat beliau berada di kota Madinah yang saat itu. Sebab, di tempat itulah Islam tumbuh dan berkembang. Kendati demikian, saat memerintahkan umatnya menuntut ilmu Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam masih menyebutkan negeri China. Mengapa? Untuk menegaskan bahwa mencari ilmu walau sejauh apa pun—bahkan sampai ke China—tetap harus dilakukan.
 
Namun, menuntut ilmu tidaklah sama dengan mencari kayu bakar di hutan yang hanya tinggal mengumpulkan dan membawanya pulang. Pencari kayu bakar memiliki kebebasan untuk keluar-masuk hutan kapan saja dan mengumpulkan kayu apa saja dan sebanyak mungkin. Akan tetapi seorang penuntut ilmu memiliki tata cara dan aturan dalam mencari ilmu yang dikenal dengan adãb al-muta’allim
 
Al-Imam Fakhruddin ar-Razi, yang hidup di abad kelima hijriah, dalam kitabnya Tafsir al-Fakhru ar-Razi atau yang lumrah dikenal dengan Mafãtîh al-Ghaib, memiliki kajian yang sangat mendalam dan menakjubkan saat menafsirkan surah al-Kahfi ayat 66 yang menceritakan bagaimana Nabi Musa sebelum berguru kepada Nabi Khidir ‘alaihima as-salam.
 
Dari firman Allah subhanahu wa ta’ala yang berbunyi:
 
قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
 
Artinya: Musa berkata kepadanya (Khidir), “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu sebagai petunjuk?” 
 
Baca juga:
 
Al-Imam Fakhruddin ar-Razi berhasil memunculkan dua belas adab atau tata karma dalam menuntut ilmu. Namun dalam tulisan ini ada tiga poin adab yang disatukan pembahasannya dengan poin adab yang lain. Sehingga yang tercantum dalam tulisan ini hanya sembilan adab. Di antaranya adalah:
 
1. Mengabdi dan bersikap tawadhu’ (rendah hati) terhadap guru
 
Dari kisah Nabi Musa yaitu saat menyampaikan maksud bahwa beliau hendak ikut kepada Nabi Khidir dengan kalimat هل أتّبعك (bolehkah aku mengikutimu) memberikan sebuah teladan baik sebagai bentuk adab kepada seorang guru. Artinya seharusnya seorang murid sebelum menimba ilmu dari gurunya agar meminta izin terlebih dahulu dengan cara mengikrarkan kesediaannya untuk ikut dan mengabdi terhadap sang guru. Dan itu adalah sebentuk ketawadukan atau sikap rendah hati yang begitu agung dari seorang murid. Dan melalui kalimat أتّبعك ar-Razi memunculkan satu kesimpulan bahwa dalam menuntut ilmu seorang murid harus ikut kepada gurunya secara kafah, tanpa syarat dan ketentuan apa pun. Terbukti saat prosesi permintaan izin untuk ikut dengan Nabi Khidir, Nabi Musa tidak menyertakan syarat apa pun.
 
2. Menyatakan diri sebagai murid yang tak tahu apa-apa
 
Dalam menuntut ilmu seorang murid dilarang keras untuk menyanjung dirinya, bersikap angkuh, atau menampakkan kepintarannya di hadapan sang guru guna menunjukkan bahwa dirinya telah menguasai satu atau beberapa bidang keilmuan tertentu. Melainkan sebagai bentuk akhlak mulia dalam menuntut ilmu, seorang murid harusnya menampakkan bahwa ilmu yang dimilikinya sangatlah dangkal dan tak dalam, sekaligus memuji sang guru sebagai seorang cendekiawan dengan wawasan yang tinggi. Sehingga menjadi suatu pendorong kuat untuk memperoleh bimbingan intelektual dari sang guru yang wawasan intelektualnya membahari itu.
 
3. Ketidakbolehan memiliki banyak permintaan kepada guru
 
Termasuk adab menuntut ilmu, seorang murid tak ubahnya bagai orang fakir yang mengemis meminta harta kepada seorang yang kaya raya. Artinya seorang pengemis tidak mungkin meminta seluruh harta atau separuh dari harta yang dimiliki oleh orang kaya tersebut. Melainkan ia hanya meminta nol koma sekian persen saja dari persentase seluruh harta si kaya. Begitu juga seorang murid kepada gurunya. Sang murid tidak diperkenankan untuk meminta banyak dari ilmu sang guru. Pendek kata, sebagai murid yang berakhlak mulia seharusnya agar tidak meminta kepada sang guru dalam hal keilmuan untuk dijadikan sealim gurunya atau bahkan melebihi kealiman sang guru. Tentu menyalahi tata karma ketika si pengemis meminta harta berlimpah kepada seseorang agar memiliki kekayaan yang sama dengan orang yang dimintai itu. Kendatipun demikian, sebagai guru yang baik dan profesional, pasti memiliki cita-cita yang luhur untuk para anak didiknya. Yaitu bagaimana setiap anak didiknya mampu melebihi keilmuan dirinya.
 
4. Mengakui bahwa semua ilmu datangnya dari Allah
 
Adab selanjutnya adalah bertitik fokus pada pemantapan hati seorang murid bahwa dalam menuntut ilmu sang murid harus meyakini sepenuhnya bahwa seluruh ilmu datangnya dari Allah subhanhu wa ta’ala. Bahkan termasuk ilmu yang dimiliki oleh gurunya. Hal ini al-Imam Fakhruddin ar-Razi mengkajinya melalui kalimat مما علّمت (sebagian dari ilmu yang diajarkan kepadamu). Jadi dalam konteks ini, Nabi Musa meminta kepada Nabi Khidir agar beliau berkenan mengajarkan sebagian ilmu yang diajarkan Allah kepadanya. Adab semacam ini lebih membuka terhadap kasih sayang seorang guru kepada muridnya. Sehingga ia berkenan untuk mengajarkan dan membimbing sang murid tersebut.
 
5. Meminta petunjuk dan bimbingan dari guru
 
Sebagaimana telah maklum bersama bahwa tujuan agung dari belajar dan menuntut ilmu adalah menjaga diri secara khusus dan umat manusia pada umumnya agar tidak terperosok ke dalam lubang kesesatan dan kehancuran. Akan tetapi, hanya dengan ilmu, seseorang tidak akan mampu mengubah ajakan kesesatan itu menjadi spirit kebaikan kecuali dengan petunjuk dan bimbingan dari seorang guru. Itulah hikmah dari Firman Allah subhanahu wa ta’ala ممّا علّمت رشدا.
 
Jadi dalam penggalan ayat tersebut terdapat kalimat علّمت yang merepresentasikan makna ‘ilmu’ yang disandingkan dengan kata الرشد (petunjuk). Dapat disimpulkan bahwa termasuk adab mulia dalam menuntut ilmu yaitu seorang murid tidak hanya meminta ilmu kepada gurunya melainkan juga memohon petunjuk, nasihat dan arahan ke jalan yang benar. Sehingga tujuan pensyariatan menuntut ilmu tersebut tercapai. Karena banyak umat manusia terjerumus ke jalan yang salah bukan karena tidak tahu bahwa itu salah. Tetapi karena tidak ada yang memberi nasihat dan dorongan agar tidak meniti titian kesesatan tersebut. 
 
6. Ketidakbolehan menentang dan membantah apa yang dilakukan guru
 
Telah dijelaskan pada poin sebelumnya bahwa mengabdi adalah salah satu cara merealisasikan adab saat menuntut ilmu, yang dimana dalam mengabdi kepada guru ada beberapa hal fundamental yang sekaligus juga menjadi tata krama dalam menuntut ilmu. Salah satunya adalah taslim menyerahkan diri sepenuhnya kepada sang guru. Hal semacam ini telah menjadi tradisi di pesantren-pesantren salaf di Indonesia. Dalam hal pernikahan misalnya, baik santriwan maupun santriwati yang telah taslim kepada seorang kiai atau pengasuh sebuah pesantren, tidak perlu sibuk mencari pasangan hidupnya. Karena mereka menunggu keputusan sang kiai tentang kapan dan dengan siapa mereka akan dinikahkan. Pola pikir yang digunakan sangatlah sederhana, karena wali santri atau orang tua dari santri yang bersangkutan telah memasrahkan putra-putrinya dengan cara menyerahkannya kepada sang kiai, maka dengan begitu, sampai dalam hal pernikahan pun juga menunggu keputusan sang kiai. Ketidakbolehan menentang dan membantah pilihan sang kiai adalah termasuk akhlak mulia dalam menuntut ilmu, sampai dalam hal penentuan jodoh sekalipun. 
 
7. Mencari ilmu pengetahuan tanpa perhitungkan status sosial
 
Termasuk pelajaran yang dapat kita petik dari kisah perjalanan nyantri-nya Nabi Musa kepada Nabi Khidir ialah bahwa menuntut ilmu tidak boleh memperhitungkan status sosial. Dalam hal ini kata mutiara “أنظر ما قال ولا تنظر من قال” (perhatikanlah apa yang dikatakan dan jangan perhatikan siapa yang mengatakan) yang dituturkan oleh bab al-ilmi sayidina Ali karramallahu wajhah adalah yang paling tepat untuk mengungkapkan substansi dari pembahasan dalam poin ini. Nabi Musa 'alaihissalam dalam perjalanan nyantri-nya tidak pernah sedikit pun mempermasalahkan status sosial beliau sebagai nabi kaum Bani Israil. Beliau tetap menjunjung tinggi akhlak dan ketawadukan beliau kepada sang guru. Begitu juga gurunya, Nabi Khidir 'alaihissalam. Sang guru bukannya tidak tahu bahwa yang datang menemui beliau dan memintanya menjadi guru adalah seorang nabi Bani Israil, sang Kalîmullah, melainkan karena sang guru paham bahwa kebenaran tidak mesti diberikan kepada orang dengan status sosial yang tinggi, akan tetapi kebenaran dianugerahkan kepada siapa saja yang Allah kehendaki. 
 
8. Mondok untuk mengabdi dan kemudian mengaji
 
Kajian al-Imam Fakhruddin ar-Razi selanjutnya adalah soal manajemen waktu. Seorang thâlib al-‘ilmi (pencari ilmu) tatkala berguru, sebaiknya pertama kali yang ia lakukan adalah mengabdi kepada sang guru, baru kemudian mengaji dan menimba ilmu dari gurunya. Hal ini kerap diistilahkan dengan الخدمة قبل العلم (mengabdi sebelum mengaji). Kajian ini disimpulkan ar-Razi dari penggalan ayat هل أتّبعك على أن تعلّمني (apakah aku boleh mengikutimu agar engkau dapat mengajarkanku..). Dalam penggalan ayat tersebut penyebutan أتّبعك yang menjadi representasi dari makna ‘mengabdi’ disebutkan lebih dahulu dari pada kalimat أن تعلّمني yang merepresentasikan makna ‘mengaji’. Sehingga disimpulkan oleh ar-Razi bahwa termasuk adab menuntut ilmu adalah mendahulukan pengabdian terhadap sang guru sebelum mengaji dan menimba ilmu darinya. 
 
9. Belajar harus untuk ilmu bukan yang lain
 
Adab menuntut ilmu yang terakhir adalah berkenaan dengan niat dan tujuan menuntut ilmu. Sebagai penuntut ilmu harus mampu memperbaiki niat dan tujuan dalam menuntut ilmu. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; 
 
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله، فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها، فهجرته إلى ما هاجر إليه
 
Artinya: "Seluruh amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan setiap orang hanya (akan memperoleh ganjaran) dari apa yang diniatkannya. Oleh karena itu, barangsiapa hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa hijrahnya karena (harta atau kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya. (HR. Bukhari-Muslim).
 
Nasihat terbaik ar-Razi kepada para penuntut ilmu yang tersirat dalam Mafatih al-Ghaib-nya yaitu agar jangan sampai aktivitas mulianya ternodai dengan niat dan tujuannya sendiri. Menuntut ilmu jangan sekali-kali diniatkan sebagai ladang mencari harta dan tahta di masa mendatang. Wallahu a’lam.
 
 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, Mahassantri Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo Jawa Timur; Mahasiswa Universitas Ibrahimy Sukorejo Situbondo