Adab Mendidik Anak-anak menurut Imam Al-Ghazali
NU Online · Ahad, 18 Maret 2018 | 14:01 WIB
Aktivitas mendidik anak-anak tidak bisa dianggap ringan. Ada beberapa karakter khusus dalam mendidik anak-anak yang berbeda karakter dengan aktivitas mendidik orang remaja atau orang dewasa. Imam Al-Ghazali memandang penting masalah ini. Ia menulis sejumlah adab untuk para pendidik anak-anak sebagai kutipan berikut ini:
Artinya, “Adab pendidik anak-anak. Pertama, ia harus mulai memperbaiki dirinya sendiri karena mata anak-anak menyaksikannya dan telinga mereka memerhatikannya. Apa yang menurutnya baik, maka itu dianggap baik oleh mereka. Apa yang menurutnya buruk, maka itu dianggap buruk oleh mereka. Ia harus hemat bicara di forumnya dan cukup melirik tajam. Suasana pendidikan dominan dengan mencekam. Ia tidak perlu bincang-bincang dengan mereka karena mereka nanti lancang. Ia tidak boleh membiarkan mereka ngobrol karena mereka nanti menjadi leluasa di hadapan mereka. ia tidak boleh bergurau dengan siapapun di hadapan mereka. Ia harus menjaga diri dari pemberian mereka. ia harus bersifat wara dari akhlak tercela di hadapan mereka. Ia harus mencegah mereka dari kemurungan dan menahan mereka untuk cari-cari tahu. Ia menunjukkan buruknya ghibah dan menunjukkan ketidaksukaan dusta dan adu domba di hadapan mereka. Ia tak perlu menanyakan kondisi rumah mereka karena bisa menyebabkan mereka berat hati. Ia tidak boleh terlalu banyak menuntut keluarga mereka karena mereka nanti bosan. Ia harus mengajarkan mereka pelajaran thaharah dan shalat. Ia juga perlu mengenalkan mereka najis yang kemungkinan mengenai mereka,” (Lihat Al-Imam Al-Ghazali, Al-Adab fid Din, [Beirut: Al-Maktabah As-Sya’biyyah, tanpa catatan tahun], halaman 154).
Adab yang ditulis oleh Imam Al-Ghazali di sini memang tidak sepenuh relevan. Artinya, para pendidik anak-anak tidak bisa sepenuhnya menjaga adab yang ditulis tersebut. Pasalnya, zaman, daerah, dan kondisi yang Imam Al-Ghazali dan kita alami berbeda. Jadi penyesuaian-penyesuaian perlu dilakukan sesuai dengan konteks para pendidik di sini dan sekarang ini.
Yang jelas, dari kutipan ini kita mendapat menarik simpulan umum bahwa pendidik anak-anak termasuk para orang tua yang masih memiliki anak-anak mengemban tanggung jawab yang tidak ringan. Mereka bertugas membuat anak-anak menjadi melek huruf.
Mereka juga bertanggung jawab mengenalkan najis, cara bersuci, cara shalat, dan ibadah yang akan menjadi rutinitas anak-anak kelak.
Mereka juga bertugas untuk memberikan keteladanan di hadapan anak-anak itu. Ini tugas paling sulit. Karena anak-anak menerima informasi begitu saja dari apa yang tampak di hadapan mereka dan terdengar oleh telinga mereka. banyak dari guru anak-anak atau orang tidak sadar mencontohkan keburukan seperti berbohong, melakukan sesuatu yang berbeda dari nilai yang selama ini ia sampaikan atau lain sebagainya di hadapan anak-anak.
Dilihat dari keterangan Imam Al-Ghazali, tampaknya mengajarkan akhlak anak-anak lebih efektik melalui keteladanan. Pendidikan melalui keteladanan para pendidik ini sulit. Oleh karena besarnya tanggung jawab pendidik dan orang tua, maka profesi pendidik anak-anak seperti guru madrasah ibtidaiyah/SD, guru ngaji TPQ/TPQ, ustadz di pesantren anak-anak tidak kalah mulia dari pendidik orang remaja atau dewasa seperti guru SMP, guru SMA, dosen di perguruan tinggi. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)
Terpopuler
1
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
4
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
5
Kabar Duka: Ibrahim Sjarief, Suami Jurnalis Senior Najwa Shihab Meninggal Dunia
6
Ribuan Ojol Gelar Aksi, Ini Tuntutan Mereka ke Pemerintah dan Aplikator
Terkini
Lihat Semua