Tafsir

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 21

Sen, 19 Juli 2021 | 07:00 WIB

Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 21

Menurut Imam Malik meskipun di antara suami istri belum terjadi persetubuhan namun sudah terjadi khalwat atau berduaan di tempat sepi yang memungkinkannya untuk bersetubuh, maka suami tetap tidak berhak mengambil kembali mahar tersebut.

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas Surat An-Nisa’ ayat 21:


وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا 


Wa kaifa ta’khudzūnahu wa qad afdhā ba’dhukum ilā ba’dhin wa akhadzna minkum mītsaqan ghalīzhan.


Artinya, “Bagaimana kalian mengambil mahar yang telah kalian berikan itu, sementara sebagian kalian telah bersetubuh dengan sebagian yang lain dan para istri telah mengambil janji yang sangat kuat dari kalian?” (An-Nisa’ ayat 19)


Ragam Tafsir

Ayat ini merupakan kelanjutan ayat sebelumnya, yang membahas ‘illat atau alasan larangan bagi suami mengambil mahar yang telah diberikan kepada istrinya, ketika ia berkeinginan menikahi wanita lain. Al-Qur’an mengingkari perbuatan suami tersebut sebagaimana dalam frasa ayat:


وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ 


Artinya, “Bagaimana kalian mengambil mahar yang telah kalian berikan itu. Sementara sebagian kalian telah bersetubuh dengan sebagian yang lain.”


Syekh Nawawi Al-Bantani menafsirkan, bagaimana boleh suami mengambil kembali mahar itu sementara antara ia dan istrinya telah berkumpul dalam satu kain. Istri telah menyerahkan diri kepadanya untuk menjadi kenikmatan seksual bagi suami dan telah terjalin kasih sayang yang sempurna di antara keduanya. Maka tidak pantas bagi suami yang berakal sehat mengambil kembali mahar yang telah diberikan kepada istrinya. (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Beirut, Darul-Fikr: 1425 H/2006 M], juz I, halaman 160).


Frasa ayat ini juga membawa pemahaman bahwa larangan suami mengambil mahar yang telah diberikan kepada istri berlaku bila di antara mereka telah terjadi persetubuhan. Jika belum terjadi persetubuhan dan terjadi perceraian, maka suami berhak mendapatkan kembalian separuh mahar. Demikian ini pendapat Imam As-Syafi’i.


Sementara menurut Imam Malik meskipun di antara suami istri belum terjadi persetubuhan namun sudah terjadi khalwat atau berduaan di tempat sepi yang memungkinkannya untuk bersetubuh, maka suami tetap tidak berhak mengambil kembali mahar tersebut. (Ahmad bin Muhammad As-Shawi, Hāsyiyyatus Shāwi ‘ alā Tafsirīl Jalālain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I, halaman 280).


Kemudian di akhir ayat Al-Qur’an menyatakan ketidakpantasan suami mengambil kembali mahar tersebut karena sudah ada perjanjian yang sangat kuat di antara suami istri, yang ditegaskan dalam frasa ayat:


وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا


Artinya, “Para istri telah mengambil janji yang sangat kuat dari kalian?”


Imam As-Suyuthi menegaskan, maksudnya adalah perjanjian kuat yang Allah perintahkan untuk mempertahankan wanita sebagai istri secara baik atau mencerainya secara baik pula. (Jalâluddîn Al-Mahalli dan Jalâluddîn As-Suyûthi, Tafsîrul Jalâlain pada Hâsyiyyatus Shâwi ‘ ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], juz I, halaman 279).


Sementara Syekh Nawawi mengutip pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhuma dan Mujahid yang menyatakan bahwa maksud dari mitsâqan ghalîzha adalah akad nikah yang diikat dengan mahar. Akad inilah yang menghalalkan suami mengakses kebutuhan biologis kepada istri. Rasullullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:


فَاتَّقُوا اللهَ فِى النِّسَاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ رواه مسلم


Artinya, “Takutlah kalian kepada Allah dalam urusan para istri. Sebab sungguh kalian mengambil mereka dengan janji Allah dan kalian halalkan kelamin mereka dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim). (Nawawi Al-Jawi, 1425 H/2006 M: I/160). Wallâhu a’lam.


Penulis: Ahmad Muntaha AM

Editor: Alhafiz Kurniawan