Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 251: Kebolehan Demonstrasi di Hadapan Kekuasaan
Senin, 9 September 2024 | 06:00 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
Lelaki itu berteriak, "Tolak RUU Pilkada!" dengan suara yang semakin keras. Ia juga menyerukan, "Hidup Mahasiswa! Hidup Buruh! Hidup Petani! Hidup Perempuan yang Melawan!" Keringat mengalir deras dari kepalanya, namun ia tidak peduli, meskipun matahari bersinar terik.
Siang itu, matahari berada tepat di atas kepala. Dengan tangan kanannya yang terkepal dan diangkat setinggi kepala, ia tampak bersemangat. Pita bermotif bendera merah-putih melingkari kepalanya.
"Kami [rakyat] menitipkan suara di DPR. Yang katanya Dewan Perwakilan Rakyat, lalu apa? Suara Rakyat diabaikan. Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 diabaikan Baleg," teriakannya kian kencang.
Ibnu Hayyan, seorang muda yang sehari-hari bekerja di lembaga sosial. Kantornya di Tangerang Selatan. Saban hari ia akrab dengan persoalan sosial dan demokrasi. Tetapi hari ini terasa berbeda. Di depan Gedung DPR yang megah, ia dan ribuan orang lain berdesakan, menyuarakan aspirasi mereka-- menolak RUU Pilkada yang akan disahkan di Paripurna DPR, Kamis, 22 Agustus 2024 lalu.
Cerita Ibnu, kedatangannya ke jalanan Senayan tidak mewakili siapa pun atau kepentingan partai politik mana pun. "Sebagai warga negara yang merasa terganggu oleh ketidakadilan," tegasnya. Kendati terik matahari menyengat kulitnya, semangatnya tetap tak luntur. Dalam hati, ia menyadari bahwa hari ini adalah langkah penting dalam perjuangannya menuju keadilan sosial.
Ketika ditanya, mengapa tidak bekerja dari kantor, dan protes lewat media sosial saja? "Turun ke jalan adalah pilihan terakhir ketika rasa keadilan terganggu dan suara tidak didengar," katanya . Menurut Ibnu, demonstrasi adalah cara paling efektif untuk menyuarakan ketidakadilan sekaligus mendesak pihak berwenang agar bertindak.
Mengambil langkah ke jalan untuk memperjuangkan keadilan, termasuk jalan mulia. Seperti kata Goenawan Mohamad, keadilan sering kali terasa jauh, selalu sayup-sayup. Keadilan adalah benua yang ujung dan batasnya sulit ditentukan. Ia adalah ruang dan jalan yang penuh liku.
Dalam perjalanan menuju keadilan, kita akan menghadapi banyak hambatan dan belokan yang tak terduga. Jalan menuju keadilan bukanlah sebuah garis lurus, melainkan sebuah labirin yang penuh dengan teka-teki.
Pun dalam negara demokrasi, kebebasan berbicara adalah hak asasi yang tidak ternilai harganya, sebuah hak yang melekat pada setiap orang sejak lahir. Kebebasan bicara, tulang punggung dari sistem demokrasi, yang memungkinkan masyarakat untuk terus berkembang dan menghadapi tantangan zaman.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, lewat buku How Democracies Die , mengulik bagaimana demokrasi bisa dihancurkan dari dalam. Katanya, termasuk faktor yang membuat demokrasi sakaratul maut, adalah ketika pemimpin yang berkuasa di negara demokrasi secara sistematis membatasi kebebasan berbicara dan mengendalikan opini publik.
Bila kekebasan itu dibatasi, perlahan tapi pasti, demokrasi bisa menjadi seperti pohon yang dibonsai, terbatasi pertumbuhannya oleh tangan-tangan penguasa yang ingin tetap berkuasa. Efeknya, demokrasi tidak lagi bernafas dengan bebas, dan akhirnya, dalam keheningan yang mengerikan, ia mati.
Sementara itu, di sisi lain, KH Bahauddin Nursalim, atau yang populer dengan Gus Baha, menjelaskan bahwa demonstrasi pada dasarnya berarti memperlihatkan sesuatu. Dalam penjelasannya yang disampaikan melalui kanal YouTube NU Channel, Gus Baha menegaskan bahwa demonstrasi memiliki makna dasar sebagai upaya untuk menunjukkan atau menampilkan sesuatu, dalam hal ini kekuatan atau aspirasi.
Dari sudut pandang Islam, Gus Baha menyebut bahwa hukum demonstrasi bersifat fleksibel. "Demonstrasi diperbolehkan selama tidak merugikan orang lain, tidak bersifat anarkis, dan tidak menimbulkan mudarat bagi kelompok lain," katanya. Ini menandakan bahwa Islam memberi ruang untuk demonstrasi selama dilakukan dengan cara yang damai dan tidak merusak tatanan sosial. Gus Baha menekankan pentingnya menjaga etika dalam berdemonstrasi agar tidak melanggar prinsip-prinsip Islam.
Hal ini sejalan dengan keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama yang berlangsung di Pondok Pesantren Qomarul Huda, Lombok Tengah, pada bulan Rajab tahun 1418 H atau November 1997, para ulama membahas demonstrasi dan unjuk rasa.
Menurut para Alim Ulama NU, bahwa aksi demonstrasi dalam Islam diperbolehkan jika bertujuan mencari kebenaran dan menegakkan keadilan. Namun, mereka juga mengingatkan akan adanya batasan-batasan yang harus dipatuhi. Salah satu syarat utamanya adalah agar aksi tersebut tidak menimbulkan kerusakan atau mafsadah yang lebih besar daripada kebaikan yang diharapkan.
Di samping itu, musyawarah ini juga menekankan pentingnya menyelesaikan masalah melalui jalan musyawarah dan lobi terlebih dahulu, sebelum memutuskan untuk melakukan aksi turun ke jalan.
Khususnya, ketika unjuk rasa diarahkan kepada pemerintah, para ulama memberikan panduan agar hal itu dilakukan dengan cara-cara yang santun, seperti memberikan penjelasan dan nasihat.
"Apabila ditujukan pada penguasa pemerintah, hanya boleh dilakukan dengan cara ta'rif [menyampaikan penjelasan], dan al-wa'zhu [pemberian nasihat]," begitu bunyinya. (Ahkamul Fuquha, Solusi Hukum Islam; Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2004 M, halaman 545).
Lebih jauh, Gus Baha menjelaskan bahwa jika seseorang tidak ikut menyuarakan pendapatnya dalam proses bernegara, maka bisa dianggap tidak bertanggung jawab. Meski demikian, demonstrasi seyogianya harus dilakukan secara islami, konstitusional, dan dengan cara yang baik.
Gus Baha mengutip ayat Al-Qur'an dari Surah Al-Baqarah ayat 251 yang menegaskan pentingnya kontrol atas kekuatan apapun, termasuk pemerintah, tujuannya untuk menghindari kerusakan di bumi.
Sejatinya, kisah Daud dan Jalut mengajarkan kita bahwa kekuasaan yang diberikan Allah harus digunakan dengan bijaksana. Allah menganugerahkan Daud kerajaan dan hikmah, namun juga menunjukkan bahwa kekuasaan tanpa bimbingan dapat merusak. Jika tidak ada mekanisme kontrol dan keseimbangan, maka kekuasaan yang ada di tangan manusia dapat berpotensi menghancurkan tatanan kehidupan di dunia.
Simak firman Allah SWT berikut;
فَهَزَمُوْهُمْ بِاِذْنِ اللّٰهِۗ وَقَتَلَ دَاوٗدُ جَالُوْتَ وَاٰتٰىهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهٗ مِمَّا يَشَاۤءُۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّفَسَدَتِ الْاَرْضُ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ ذُوْ فَضْلٍ عَلَى الْعٰلَمِيْنَ ٢٥١
fa hazamûhum bi'idznillâh, wa qatala dâwûdu jâlûta wa âtâhullâhul-mulka wal-ḫikmata wa ‘allamahû mimmâ yasyâ', walau lâ daf‘ullâhin-nâsa ba‘dlahum biba‘dlil lafasadatil-ardlu wa lâkinnallâha dzû fadllin ‘alal-‘âlamîn
Artinya; "Mereka (tentara Talut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan Daud membunuh Jalut. Kemudian, Allah menganugerahinya (Daud) kerajaan dan hikmah (kenabian); Dia (juga) mengajarinya apa yang Dia kehendaki. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. Akan tetapi, Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan-Nya) atas seluruh alam,".
Tafsir Al-Misbah
Menurut Profesor Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Misbah, ayat ini menjelaskan kisah kemenangan pasukan Thalut atas pasukan Jalut. Kemenangan ini bukan semata-mata karena kekuatan fisik, melainkan karena izin Allah. Bahkan, salah satu prajurit Thalut, yaitu Daud, berhasil membunuh Jalut yang dikenal sangat kuat. Sebagai imbalan atas keimanan dan keberanian mereka, Allah memberikan kepada Daud kerajaan dan hikmah.
Tak kalah penting, lewat ayat ini, Allah menyajikan sebuah kaidah universal tentang kehidupan di dunia. Allah menciptakan keseimbangan di antara manusia. Jika tidak ada yang melawan kezaliman, maka kejahatan akan merajalela dan merusak dunia. Oleh karena itu, setiap orang yang beriman memiliki tanggung jawab untuk melawan kezaliman, baik dengan tindakan fisik maupun dengan cara yang lebih halus seperti amar makruf nahi mungkar.
Dalam menghadapi kejahatan, kita tidak hanya bisa menggunakan kekuatan fisik, tetapi juga dengan cara-cara lain seperti amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Bahkan, keimanan yang kuat akan mendorong kita untuk melawan kejahatan dari dalam hati. Meskipun kejahatan seringkali tampak kuat dan sulit dilawan, kita harus yakin bahwa Allah selalu melindungi orang-orang yang beriman. Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang membela kebenaran, meskipun jumlah mereka sedikit.
Sementara itu, Imam Ghazali, dalam kitab Ihya Ulumiddin, menjelaskan para ulama salaf (generasi awal umat Islam), memberikan contoh yang sangat baik dalam memberikan pandangan kritis pada penguasa. Mereka berani menyampaikan kebenaran meskipun harus menghadapi risiko dibunuh atau dianiaya. Secara prinsip, para ulama tidak takut untuk menegakkan kebenaran karena yakin bahwa mati dalam keadaan syahid adalah hal yang mulia.
Meski dibolehkan dalam mengkritik dan memberikan masukan pada penguasa [pemerintah], Islam mengajarkan untuk bijaksana dalam berinteraksi dengan pemimpin. Cara yang paling tepat untuk menasihati penguasa adalah dengan memberikan penjelasan dan nasihat yang baik. Tidak seyogianya memaksakan kehendak kita atau menggunakan kekerasan terhadap penguasa.
Mengapa kita tidak boleh menggunakan kekerasan terhadap penguasa? Kata Imam Ghazali, tindakan kekerasan justru menimbulkan kekacauan dan kerusuhan. Jika ini terjadi, akan merugikan banyak orang dan dapat merusak tatanan masyarakat. Pun, tindakan kekerasan juga tidak akan menyelesaikan masalah, malah akan memperburuk keadaan. Imam Ghazali berkata;
قَدْ ذَكَرْنَا دَرَجَاتِ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَإِنَّ أَوَّلَهُ التَّعْرِيفُ وَثَانِيْهِ الْوَعْظُ وَثَالِثَهُ التَّخْشِينُ فِي الْقَوْلِ وَرَائِعَهُ الْمَنْعُ بِالْقَهْرِ فِي الْحَمْلِ عَلَى الحَقِّ بِالطَّرْبِ وَالْعُقُوْبَةِ وَالْجَائِرُ مِنْ جُمْلَةِ ذَلِكَ مَعَ السلاطين الرتبتَانِ الأَوَّلَيَانِ وَهُمَا التَّعْرِيفُ وَالْوَعْظُ، وَأَمَّا الْمَنْعُ بِالْقَهْرِ فَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَادِ الرَّعِيَّةِ مَعَ السُّلْطَانِ فَإِنَّ ذَلِكَ يُحَرِّكُ الْفِتْنَةَ وَيُهَيجُ الشَّرِّ وَيَكُونُ مَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ مِنَ الْمَحْذُوْرِ أَكْثَرَ وَأَمَّا التَّخْسِينُ فِي الْقَوْلِ كَقَوْلِهِ: يَا ظَالِمُ، يَا مَنْ لا يَخَافُ اللَّهَ، وَمَا يَجْرِي تَجْرَاهُ فَذَلِكَ إِنْ يُحْدِثُ فِتْنَةٌ يَتَعَدَّى شَرُّهَا إِلَى غَيْرِهِ لَمْ يَجُز، وَإِنْ كَانَ لا يَخَافُ إِلَّا عَلَى نَفْسِهِ فَهُوَ جَائِز بَلْ مَنْدُوبُ إِلَيْهِ وَلَقَدْ كَانَ مِنْ عَادَةِ السَّلَفِ التَّعَرُّضُ لِلأَخْطَارِ وَالتَّصْرِيحُ بِالْإِنْكَارِ مِنْ غَيْرِ مُبالاة بهلاكِ الْمَهْجَةِ وَالتَّعَرُّضُ الأنواعِ الْعَذَابِ لِعِلْمِهِمْ بِأَنَّ ذَلِكَ شَهَادَةٌ
Artinya, "Telah kami jelaskan, bahwa memerintah kebaikan itu mempunyai beberapa tingkatan. Pertama memberi pengertian, kedua memberi nasehat, ketiga berbicara kasar, keempat mencegah secara paksa agar mau melakukan kebaikan dengan memukul dan memberi hukuman.
Adapun cara yang diperbolehkan dari cara-cara itu dalam menghadapi penguasa yaitu dua cara pertama. Sedangkan mencegah dengan kekerasan, maka tidak boleh dilakukan rakyat terhadap penguasa karena dapat menyulut fitnah, menimbulkan gelombang keburukan, dan lebih banyak bahaya yang timbul darinya.
Adapun berbicara kasar, misalnya seperti ucapan: "Hai orang yang zalim. Hai orang yang tidak takut Allah Swt." dan semisalnya, jika perkataan itu bisa menimbulkan fitnah yang keburukannya bisa menimpa pihak lain, maka tidak diperbolehkan. Namun, jika ia hanya mengkhawatirkan dirinya sendiri, maka boleh dan bahkan sunnah.
Dan sungguh kebiasaan ulama salaf adalah berani menghadapi bahaya dan secara terang-terangan mengingkari perkara munkar tanpa peduli dengan bencana yang menimpa dirinya dan siap menantang berbagai macam siksaan. Sebab mereka tahu bahwa semuanya merupakan kesyahidan." (Abu Hamid al-Ghazali, Ihya' 'Ulumiddin, [Mesir: Musthafa al-Halabi, 1939], jilid II, hal, 337).
Tafsir Marah Labib
Dalam tafsir Marah Labib, Syekh Nawawi Banten menjelaskan bahwa Allah SWT melindungi bumi dari kerusakan dengan cara menyeimbangkan kekuatan antara kebaikan dan kejahatan.
Ibnu Abbas, seorang sahabat Nabi, memberikan contoh konkret: jika Allah tidak memberikan kekuatan kepada kaum muslimin untuk melawan kezaliman kaum musyrik, maka niscaya kaum musyrik akan menguasai dunia, menindas orang-orang beriman, dan merusak tempat-tempat ibadah.
Selain pendapat Ibnu Abbas, terdapat pemahaman lain yang sejalan dengan tafsir Syekh Nawawi. Pemahaman ini menyatakan bahwa keberadaan orang-orang beriman dan saleh di dunia ini berperan sebagai benteng pertahanan melawan kejahatan.
Jika Allah tidak melindungi kebaikan dengan cara menghalangi kejahatan, maka seluruh isi bumi akan hancur. Dengan kata lain, kebaikan yang dijalankan oleh orang-orang beriman menjadi tameng yang melindungi dunia dari kerusakan yang diakibatkan oleh tindakan jahat.
قال ابن عباس: ولولا دفع الله بجنود المسلمين لغلب المشركون على الأرض فقتلوا المؤمنين وخربوا المساجد والبلاد. وقيل المعنى: ولولا دفع الله بالمؤمنين والأبرار عن الكفار والفجار لفسدت الأرض بما فيها، ولكن الله يدفع بالمؤمن عن الكافر وبالصالح عن الفاجر.
Artinya; Ibnu Abbas berkata: "Seandainya Allah tidak menolak (kejahatan) orang-orang musyrik melalui tentara kaum muslimin, niscaya orang-orang musyrik akan menguasai bumi ini, membunuh orang-orang beriman, dan merusak masjid-masjid serta kota-kota." Ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah: "Seandainya Allah tidak menolak (kejahatan) orang-orang kafir dan jahat melalui (kebaikan) orang-orang beriman dan saleh, niscaya bumi ini akan rusak beserta isinya. Namun Allah menolak (kejahatan) orang kafir melalui (kebaikan) orang beriman, dan menolak (kejahatan) orang jahat melalui (kebaikan) orang saleh. (Tafsir Marah Labib, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1417 H], jilid I, halaman 92).
Dengan demikian, Allah menyeimbangkan dunia ini dengan cara menolak kejahatan melalui kebaikan. Orang-orang beriman dan saleh menjadi alat untuk menolak kerusakan yang ditimbulkan oleh mereka yang tidak beriman dan melakukan kejahatan. Hal ini menjaga agar bumi tetap teratur dan tidak hancur karena kezaliman.
Tafsir Qurthubi
Imam Qurthubi dalam tafsirnya al-Jami' Li Ahkam Al-Qur'an, menjelaskan bahwa ayat ini menyoroti pentingnya peran masyarakat dalam menjaga kebaikan dan mencegah kerusakan. Menurut Imam Qurthubi, perlindungan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah berkat adanya syariat yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul. Syariat ini ibarat benteng kokoh yang melindungi umat manusia dari berbagai macam kerusakan dan kekacauan.
Lebih lanjut, tanpa adanya syariat, manusia cenderung akan hidup dalam kekacauan dan saling merugikan. Syariat tidak hanya berfungsi sebagai pedoman moral, tetapi juga sebagai aturan hidup yang mengatur segala aspek kehidupan manusia. Dengan adanya syariat, tatanan sosial terjaga, konflik berkurang, dan masyarakat dapat hidup damai dan sejahtera. Oleh karena itu, keberadaan syariat sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia di dunia.
وَقِيلَ: هَذَا الدَّفْعُ بِمَا شَرَعَ عَلَى أَلْسِنَةِ الرُّسُلِ مِنَ الشَّرَائِعِ، وَلَوْلَا ذَلِكَ لَتَسَالَبَ النَّاسُ وَتَنَاهَبُوا وَهَلَكُوا، وَهَذَا قَوْلٌ حَسَنٌ فَإِنَّهُ عُمُومٌ فِي الْكَفِّ وَالدَّفْعِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَتَأَمَّلْهُ
Artinya: "Ada juga yang berkata; ini adalah perlindungan dari Allah dengan apa yang telah ditetapkan oleh lisan-lisan para rasul berupa syariat-syariat, jika tidak demikian, maka manusia akan saling memangsa, merampas, dan akan hancur/binasa. Ini adalah pendapat yang baik karena ia mencakup secara umum dalam hal pencegahan dan perlindungan, serta hal-hal lainnya, maka perhatikanlah." (Jami' Li Ahkami Al-Qur'an, [Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyah, 1964], halaman 261).
Dengan demikian, ayat suci Al-Baqarah ayat 251 mengajarkan tentang keseimbangan dalam kehidupan. Dari sini, kita dapat memahami bahwa setiap kekuatan yang ada di dunia ini, baik itu kekuatan fisik, kekuasaan, maupun sosial, harus dikelola dengan bijaksana. Kekuatan yang tidak terkendali dapat memicu kekacauan dan kerusakan. Kontrol yang baik adalah yang mampu mengarahkan kekuatan menuju kebaikan dan kesejahteraan bersama. Wallahu a'lam
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam, tinggal di Parung
Terpopuler
1
Baca Doa Ini untuk Lepas dari Jerat Galau dan Utang
2
Cara KH Hamid Dimyathi Tremas Dorong Santri Aktif Berbahasa Arab
3
Temui Menkum, KH Ali Masykur Musa Umumkan Keabsahan JATMAN 2024-2029
4
Apel Akbar 1000 Kader Fatayat NU DI Yogyakarta Perkuat Inklusivitas
5
Jadwal Lengkap Perjalanan Haji 2025, Jamaah Mulai Berangkat 2 Mei
6
Pengurus Ranting NU, Ujung Tombak Gerakan Nahdlatul Ulama
Terkini
Lihat Semua