Tafsir

Tafsir QS al-Baqarah 165: Perihal Mempertuhankan Selain Allah

Sen, 12 Juli 2021 | 15:30 WIB

Tafsir QS al-Baqarah 165: Perihal Mempertuhankan Selain Allah

Jika kita meninjau beberapa pendapat penafsir, maka kita melihat kata andâdan ini diinterpretasikan ke dalam setidaknya tiga makna.

Berikut ini adalah bunyi surat al-Baqaarah ayat 165:

 

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَنْدَادًا يُّحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللّٰهِۗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِۙ وَلَوْ يَرَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَۙ اَنَّ الْقُوَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًاۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعَذَابِ (البقرة:١٦٥)

 

Artinya: “Di antara manusia ada yang menjadikan (sesuatu) selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi-Nya) yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat kuat cinta mereka kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat keras azab-Nya, (niscaya mereka menyesal)” (QS al-Baqarah: 165).

 

Ragam Pandangan Ulama Tafsir

Ada beberapa pokok penafsiran di dalam ayat ini. Tulisan ini akan merujuk kepada beberapa pendapat ahli dari kitab tafsir, dengan sejumlah penjelesan yang merupakan ulasan atau elaborasi penulis.

 

Pertama, pernyataan ayat wa minan-nâsi menunjukkan bahwa ayat ini diturunkan di Makkah (makkiyah). Hal ini jika kita merujuk kepada teori khitab (sasaran pembicaraan) atau bisa disebut juga kajian wacana yang diperkenalkan oleh Dr. Shubhi Shalih. Demikian pula jika kita melihat konteks ayat Al-Baqarah ayat 165 ini, semuanya adalah membicarakan watak orang-orang kafir Makkah.

 

Objek dakwah nabi Muhammad pada dasarnya selama 13 tahun di Makkah adalah kepada orang-orang kafir penyembah berhala. Dan sama sekali bukanlah kepada masyarakat monotheisme Yahudi dan Nasrani, yang diakui atau tidak memiliki akar teologis yang sama yakni dari kakek bernama Ibrahim. Khitab dari ayat ini adalah masyarakat pagan quraisy. Hal ini semakin jelas jika kita melihat poin kedua berikut ini. Pembahasan mengenai hubungan Islam dan Ahlul Kitab mungkin membutuhkan tempatnya tersendiri.

 

Kedua, penafsiran pernyataan ayat yattakhidu min dûnil-Lâhi andâdan. Andâdan merupakan bentuk jamak (plural) dari kata naddun yang di dalam Mu’jam Al-Washith diartikan sebagai perumpamaan (al-mitslu) atau pembanding (an-nadhir). (Mu’jam Al-Washith: 910). Demikian ini seperti ketika kita merujuk kepada QS Al-Baqarah:22 yang menyatakan:

 

فَلَا تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ أَنْدَادًا

 

Artinya, “Dan janganlah kalian menjadikan bagi Allah perumpamaan.

 

Demikian pula penerjemahan dari Ats-Tsa’labi di dalam tafsirnya Jawahir al-Hisan yang menyatakan an-naddu sebagai:

 

النظير والمقاوم

 

Yang kiranya dapat diterjemahkan sebagai ‘pengejewantahan Tuhan.’

 

Namun demikian, secara kesejarahan kiranya adalah suatu langkah yang tidak tepat jika kita menyimpulkan bahwa masyarakat pagan Arab menjadikan berhala sebagai pengejewantahan atau perumpamaan Allah di dunia. Hal ini dikarenakan dalam sejarahnya, Amr bin Luhai ketika Bani Khuza’ah menguasai Makkah, ia kemudian menjadi orang Makkah pertama yang meninggalkan agama Ibrahim dan beralih menyembah berhala yang dibelinya dari Syiria. Saat itu ia mendapat banyak tentangan dari masyarakat, meskipun ia kemudian berhasil memaksakan kehendaknya untuk membuat masyarakat Arab menjadi masyarakat pagan. Namun demikian, penafsiran mengenai kata andâdan dalam QS al-Baqarah terdapat berapa penafsir yang menerjemahkan demikian (menafsirkan kata tersebut sebagai berhala).

 

Jika kita meninjau beberapa pendapat penafsir, maka kita melihat kata andâdan ini diinterpretasikan ke dalam setidaknya 3 (tiga) makna. Dalam hal ini penulis meninjau kepada beberapa kitab tafsir, seperti: (a) kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi; (b) kitab Ad-Durr al-Mantsur karya Jalaluddin As-Suyuthi; dan (c) kitab Jawahir al-Hisan karya Ats-Tsa’labi; (d) Tafsir al-Qurthubi; (e) Tafsir at-Thabari; (f) Tafsir Ibnu Abbas; (g) Tafsir Ibnu Arabi; dan (h) Tafsir Ibnu Katsir. Ketiga makna tersebut adalah sebagai berikut ini:

 

  1. Berhala. Jika demikian maka terjemahan dari ayat di atas adalah: “di antara manusia, terdapat orang yang menjadikan berhala sebagai Tuhan selain Allah.” Hal ini seperti dalam penafisran Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain. Demikian pula penafsiran yang diambil oleh Ats-Tsa’labi dari riwayat Qatadah dan Mujahid. Demikian pula penafsiran Al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Ibnu Abbas di dalam tafsirnya juga berpendapat demikian.

 

  1. Pemimpin. Jika saja demikian, maka terjemahan ayat ini adalah: “di antara manusia, teradapat orang yang menjadikan pemimpin, selain Allah.” Hal ini sebagaimana riwayat yang datang dari Ibnu Jarir dari As-Sayyid yang dikutip oleh As-Suyuthi dalam kitabnya Ad-Durr Al-Mantsur.

 

  1. Segala sesuatu yang dipertuhankan. Jika saja menurut penafsiran ini, maka terjemahan ayat di atas adalah: “di antara manusia, terdapat orang yang menjadikan mempertuhankan sesuatu yang lain selain Allah.” Di dalam bahasa para penafsir, hal ini diungkapkan dalam bahasa yang berbeda-beda. As-Suyuthi mengungkapkannya sebagai: ‘as-syurakaa’ (para sekutu). Ibnu Katsir mengungkapkannya sebagai amtsâlan wa nadzrâ’an (perumpamaan). At-Thabari menerjemahkan sebagai ‘al-‘adl’ (tandingan). Ibnu Arabi, sebagai penafsir bercorak tasawuf, bahkan menafsirkan secara lebih eksplisit:

 

أي من يعبد من دون الله أشياء إما أناسي من جنسهم كالأزواج والأولاد والآباء والأجداد والإخوان والأحباب والرؤساء والملوك وغيرهم. وإما غير أناسي كالحيوانات والجمادات وسائر أموالهم بالإقبال عليهم والتوجه نحوهم ومراعاتهم وحفظهم والإهتمام بهم وبحالهم والتفكر في بابهم

 

Artinya: “Yakni siapa pun (sesuatu) dari selain Allah, baik berupa sebangsa manusia dari jenis mereka seperti istri, anak-anak, para tetua, nenek moyang, sahabat, penggemar, para pemimpin, para raja, dan sebagainya. Bisa juga berupa selain sebangsa manusia seperti hewan-hewan, benda-benda, dan segala harta benda mereka. Di mana mereka menerima atas itu semua, sibuk menghadapi dan merawatnya. Mementingkan urusan dan keadaan itu semua dan selalu memikirkan masalah itu semua.

 

Catatan Reflektif

Dalam berbagai penafsiran di atas, kita melihat bahwa berbagai penafsiran itu telah membawa coraknya masing-masing. Penafsiran kata andâdan sebagai ‘berhala’ kiranya sekarang sudah tidak ada. Meskipun kita masih menemui beberapa kalangan yang melarang berdoa di lingkungan pekuburan dengan alasan ‘sama seperti menyembah kuburan’, dan ini dilarang sebagaimana dilarangnya orang jahiliyah menyembah berhala. Penulis melihat ini sebagai suatu penafsiran yang cocok dan pas dari segi konteks masa itu.

 

Penafsiran kata andâdan sebagai pemimpin. Hal ini kiranya sangat sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Arab ketika itu. Yaitu sikap fanatisme kesukuan bangsa Arab yang demikian kuat untuk patuh kepada pemimpin kabilah atau suku mereka. Kita mengetahui bahwa kehidupan sosial masyarakat Arab ketika itu tersusun ke dalam struktur: kaluarga, kabilah, dan suku.

 

Tersirat juga bahwa penafsiran ini memberikan pesan agar kita tidak salah memilih pemimpin. Harus hati-hati dalam urusan mulai dari pemilihan kepada desa (pilkades), pemilihan kepala daerah (pilkada), maupun pemilihan presiden (pilpres). Tentu saja sebagaimana umumnya mereka yang lupa akan janjinya karena majunya dalam pemilihan penuh ambisi, kiranya nanti dia juga akan lupa ketika kita meminta pertanggung-jawaban mereka akan dirinya. Bukankah ada yang bilang bahwa, sistem yang baik mengajak orang jahat menjadi baik, demikian pula sistem yang jahat mengajak orang baik menjadi jahat?

 

Dari kesemua penafsiran di atas, kiranya penafsiran ketiga adalah penafsiran yang paling baik dan cukup mendalam maknanya. Penafsiran kata andâdan sebagai ‘segala sesuatu yang dipertuhankan’ kiranya lebih lentur untuk dibawa ke dalam semua zaman. Bukankah dikatakan bahwa ‘al-‘ibratu bi-umûm al-lafdzi laa bikhûsus as-sababi.’ Kita pun juga masih sering mempertuhankan yang lain selain Allah atau dipertuhankan oleh selainnya. Manusia modern demikian mengagungkan teknologi.

 

Adalah hal yang cukup baik dicontohkan dalam penjelasan Ibnu ‘Arabi. Yakni bahwa di antara para suami ada yang karena begitu cintanya kepada istrinya lalu menuruti semua keinginan istrinya. Dengan demikian, secara langsung atau tidak mereka telah diperbudak kecantikan istrinya itu. Demikian pula kenyataan masyarakat modern ketika seorang perempuan karier berpenghasilan lebih dari apa yang diberikan suaminya. Hasil riset Majalah Intisari beberapa tahun lalu menyatakan bahwa wanita sekarang lebih dominan daripada laki-laki dalam beberapa hal, seperti keuangan dan karier. Artinya, para perempuan pun bisa terbawa secara tidak sadar untuk bertindak lebih semaunya terhadap suaminya. Bukankah hal demikian ini menunjukkan bahwa perempuan telah menuhankan dirinya atas kaum lelaki?

 

Namun sayangnya, penafisran sufistik semacam ini masih kurang disukai sebagian penafsir. Hal ini karena mereka menilai penafsiran sufistik ini tidak mengikuti metode tafsir yang telah ditetapkan. Salah satu penentang tafsir sufistik ini adalah seperti Ibnu Taimiyah. Sedangkan salah satu pendukungnya adalah seperti Imam Ad-Dzahabi seperti dijelaskan di dalam kitab At-Tafsir wa Al-Mufassirun.

 

Wallahu a’lam.

 

R. Ahmad Nur Kholis, Pegiat Kajian Ulum Al-Qur’an, Pengajar Mata Pelajaran Fiqih dan Ushul Fiqih di Pondok Pesantren PPAI Al-Fithriyah