Tafsir Mimpi

Kriteria Mimpi yang Bisa Ditafsirkan dan Tak Bisa Ditafsirkan

Kam, 11 Februari 2021 | 15:45 WIB

Kriteria Mimpi yang Bisa Ditafsirkan dan Tak Bisa Ditafsirkan

Tidak semua yang dimimpikan oleh seseorang itu benar dan bisa ditafsirkan.

Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa dari beraneka ragamnya mimpi yang dialami seseorang, Rasulullah meringkas jenis mimpi pada tiga pembagian. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah bersabda:

 

وَالرُّؤْيَا ثَلَاثٌ، الحَسَنَةُ بُشْرَى مِنَ اللَّهِ، وَالرُّؤْيَا يُحَدِّثُ الرَّجُلُ بِهَا نَفْسَهُ، وَالرُّؤْيَا تَحْزِينٌ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ رُؤْيَا يَكْرَهُهَا فَلَا يُحَدِّثْ بِهَا أَحَدًا وَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ

 

“Mimpi itu ada tiga: (1) mimpi baik yang merupakan kabar gembira dari Allah, (2) mimpi karena bawaan pikiran seseorang (ketika terjaga), dan (3) mimpi menyedihkan yang datang dari setan. Jika kalian mimpi sesuatu yang tak kalian senangi maka jangan kalian ceritakan pada siapa pun, berdirilah dan shalatlah!” (HR Muslim).

 

Menurut ulama hadits terkemuka, Ibnu Hajar al-‘Asqalani, pembagian Rasulullah tentang mimpi menjadi tiga bagian di atas bukanlah suatu pembagian yang bersifat final. Sebab dalam hadits yang lain terdapat jenis mimpi lain yang tidak terakomodasi dalam tiga pembagian tersebut.

 

Setidaknya terdapat tiga mimpi lain selain tiga bagian yang dijelaskan dalam hadits riwayat Imam Muslim di atas. Pertama, hadits an-nafsi atau “kata hati”, yakni ketika seseorang terbersit dalam hatinya suatu hal, lalu hal itu terbawa dalam mimpinya. Kedua, gangguan dari setan (tala’ub as-syaithan), yakni ketika setan mempermainkan seseorang hingga ia bermimpi sesuatu yang dibuat-buat oleh setan, misal orang yang sering bermaksiat namun tiba-tiba ia bermimpi bahwa ia diangkat menjadi seorang wali atas perbuatan maksiatnya.

 

Ketiga, mimpi yang merupakan kebiasaan sehari-hari. Misal seseorang ketika jam delapan malam terbiasa makan malam, lalu pada suatu malam sebelum jam delapan ia tertidur dan bermimpi ia sedang makan. Maka mimpinya tersebut tidak bisa ditafsirkan, sebab hal tersebut bukan mimpi yang bersifat petunjuk, tapi mimpi yang berangkat dari kebiasaannya. (Syekh Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, juz 12, hal. 407)

 

Maka dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan terdapat enam jenis mimpi yang dialami oleh manusia. Dan dari enam jenis mimpi tersebut tidak semuanya bisa ditafsirkan dengan kaedah tafsir mimpi yang berlaku. Hanya mimpi jenis pertama yang dapat ditafsirkan secara benar, yakni mimpi yang merupakan petunjuk dan berita gembira dari Allah. Hal demikian seperti disebutkan dalam referensi berikut:

 

لَيْسَ كُلُّ مَا يَرَاهُ الْإِنْسَانُ فِي مَنَامِهِ يَكُونُ صَحِيحًا، وَيَجُوزُ تَعْبِيرُهُ، إِنَّمَا الصَّحِيحُ مِنْهَا مَا كَانَ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى يَأْتِيكَ بِهِ مَلَكُ الرُّؤْيَا مِنْ نُسْخَةِ أُمِّ الْكِتَابِ، وَمَا سِوَى ذَلِكَ أَضْغَاثُ أَحْلَامٍ لَا تَأْوِيلَ لَهَا، نَفْسَهُ فِي ذَلِكَ الْأَمْرِ وَالْعَاشِقُ يَرَى مَعْشُوقَهُ

 

“Tidak semua yang dimimpikan oleh seseorang itu benar dan bisa ditafsirkan. Mimpi yang benar hanyalah mimpi yang berasal dari Allah yang disampaikan padamu lewat malaikat penyampai mimpi yang diambil dari naskah Umm al-Kitab (Dasar Kitab). Selain itu adalah mimpi yang sia-sia yang tidak bisa ditafsirkan” (Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashabih, juz 7, hal. 2919)

 

Selain itu, perlu diperhatikan pula bahwa patut dibedakan antara mimpi yang dialami oleh orang yang shalih dengan orang fasik yang sering melakukan maksiat. Sebab mimpi merupakan pancaran dari kondisi batin yang dialami oleh seseorang. Jika hatinya kotor karena sering melakukan maksiat maka mimpi yang dialaminya tidak dapat dibenarkan dan hanyalah mimpi yang kosong (adhghatsu ahlam). Sebaliknya, jika hatinya bersih maka mimpinya dapat dibenarkan dan dipercaya. Berdasarkan hal ini, maka mimpi yang dapat dipercaya dan dapat ditafsirkan adalah mimpi yang dialami oleh orang saleh yang jujur. Hal demikian seperti diungkapkan oleh Imam Ghazali:

 

قال الغزالي: الرؤيا انكشاف لا يحصل إلا بانقشاع الغشاوة عن القلب فلذلك لا يوثق إلا برؤيا الرجل الصالح الصادق ومن كثر كذبه لم تصدق رؤياه ومن كثر فساده ومعاصيه أظلم قلبه فكان ما يراه أضغاث أحلام ولهذا أمر بالطهارة عند النوم لينام طاهرا وهو إشارة لطهارة الباطن أيضا فهو الأصل وطهارة الظاهر كالتتمة

 

“Imam Ghazali berkata: ‘Mimpi adalah bentuk inkisyaf (terbukanya tabir) yang tidak akan hasil kecuali dengan hilangnya penutup hati. Maka dengan demikian mimpi tidak bisa dipercaya kecuali mimpi seorang lelaki saleh yang jujur. Orang yang banyak bohongnya maka mimpinya tidak bisa dibenarkan. Hati orang yang banyak berbuat kerusakan dan kemaksiatan akan gelap, lalu apa yang ia mimpikan hanya sebatas mimpi yang kosong. Oleh sebab itu dianjurkan untuk bersuci tatkala hendak tidur, supaya seseorang tidur dalam keadaan suci. Hal demikian merupakan isyarat untuk menyucikan batin yang merupakan sebuah dasar, sedangkan menyucikan anggota lahir merupakan penyempurna saja” (Al-Munawi, Faid al-Qadir, Juz 4, Hal. 45)

 

Tidak heran jika para nabi menjadikan mimpi yang dialami oleh mereka sebagai petunjuk dalam mengambil berbagai keputusan strategis, seperti Nabi Ibrahim yang memutuskan untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail berdasarkan mimpi yang dialaminya. Sebab para nabi termasuk orang yang saleh dan mimpinya pasti benar dan bagian dari wahyu Allah, maka pasti terjaga dari campur tangan setan (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madarij as-Salikin, juz 1, hal. 76).

 

Dengan demikian dapat dipahami bahwa mimpi yang dapat dijadikan pijakan serta dapat ditafsirkan adalah mimpi yang merupakan petunjuk dari Allah yang dialami orang yang saleh. Sedangkan mimpi selain kategori tersebut maka tidak bisa dipercaya karena hanya sebatas mimpi kosong yang tiada artinya.

 

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember