Syariah

Urgensi Bermazhab di Era Kontemporer dan Kearifan di Dalamnya (2)

Sen, 30 Maret 2020 | 07:00 WIB

Urgensi Bermazhab di Era Kontemporer dan Kearifan di Dalamnya (2)

Bermazhab adalah sebuah kebutuhan pokok yang disepakati semua ulama.

Mengikuti dinamika perbedaan pendapat yang masih di dalam koridor empat mazhab fiqih masih diakui oleh para ulama. Istilahnya, perbedaan yang mu’tabar. Bagaimana pun juga pendapat-pendapat empat mazhab dianggap sebagai pendapat dari ulama otoritatif. Kenapa ulama mazhab bisa berbeda pendapat? Jika ditelisik lebih dalam, kebenaran Al-Qur’an dan hadits mutawatir adalah sebuah kebenaran mutlak (qath’iyyu tsubut), namun dalam Al-Qur’an-hadits sendiri terdapat ayat yang bersifat qath’iyyud dilalah (ayat yang jelas dan tidak perlu interpretasi), dan juga ada ayat yang dzanniyyud dilalah (interpretatif asumtif).

 

Perbedaan interpretasi kedua sumber pokok di atas dilatarbelakangi oleh pemahaman, pemikiran dan penafsiran masing-masing ulama yang berbeda. Di situlah ulama sekaliber imam mazhab dibutuhkan. Mereka yang akan bisa menjelaskan duduk permasalah dan pengambilan hukumnya. Tidak bisa setiap orang diberikan kebebasan menafsiri dalil-dalil agama karena tidak semua orang mempunyai kepakaran (expertise) di bidang tersebut. Dengan proses yang sedemikian rumit, sangat wajar apabila mereka berbeda pendapat dalam mendekati sebuah dalil hukum. Meskipun demikian, mereka tetap toleran terhadap perbedaan pendapat ulama lain.

 

Baca juga:

Sebab-sebab Perbedaan Pendapat Ulama (1)

Sebab-sebab Perbedaan Pendapat Ulama (2)

 

Imam Syafi’i ketika pindah ke Mesir mempunyai pendapat-pendapat baru yang dikenal dengan qaul jadid yang sebagian berbeda dengan pendapat beliau ketika masih di Irak (qaul jadid). Artinya dalam ijtihad pribadinya, Imam Syafii sendiri memiliki perbedaan pemikiran meskipun nanti ditarjih oleh para ulama.

 

Imam Malik pernah melarang khalifhah Harun ar-Rasyid ketika khalifah mau memaksa masyarakat untuk menjadikan kitab al-Muwatha’ susunannya sebagai pedoman resmi negara. Imam Malik beralasan bahwa sahabat Nabi banyak yang tersebar di berbagai negara. Ia khawatir jangan-jangan ada pendapat lain yang mengacu kepada salah satu sahabat yang mana sahabat tersebut berpedoman pada hadits sedangkan hadits yang dipakai sahabat itu belum pernah didengar oleh Imam Malik. Jadi, menurut Imam Malik, menjadikan satu sumber tertentu saja dalam sebuah negara akan menimbulkan masalah sebab menutup celah perbedaan pendapat yang mungkin masing-masing mempunyai sumber valid.

 

Toleransi antarmazhab juga biasa dilakukan oleh antarimam mazhab. Imam Ahmad bin Hanbal adalah orang yang berpendapat jika bekam itu membatalkan wudhu. Namun ketika ia ditanya bagaimana kalau ada orang makmum kepada imam yang habis bekam tanpa wudhu lagi, “Apakah sah makmum kepada imam tersebut?” Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, “Bagaimana aku tidak mau shalat di belakang orang yang mengikuti pendapatnya Imam Malik dan Sa’id bin al-Musayyab?” Artinya, itu tidak masalah. Padahal nyata-nyata secara prinsip mereka berbeda pendapat.

 

Abu Hanifah dan ashab (murid-muridnya) berpendapat bahwa mengeluarkan darah dari tubuh (misal: luka) atau sejenisnya hukumnya membatalkan wudhu, tapi ketika Abu Yusuf (salah satu murid utama Abu Hanifah) melihat Harun ar-Rasyid bekam dan Imam Malik berfatwa tidak perlu wudhu lagi, Abu Yusuf berkenan menjadi makmumnya Harun ar-Rasyid tanpa perlu wudhu lagi dan ia juga tidak mengulangi shalatnya kembali.

 

Demikian pula Imam Syafii yang mengatakan bahwa qunut shubuh itu sunnah. Namun ketika ia mengimami shalat shubuh dengan makmum orang-orang bermazhab Hanafi di sebuah masjid Imam Hanafi, satu daerah di Baghdad, Irak, Imam Syafii justru meninggalkan qunut shubuh. Menurut para ulama, sikap Imam Syafii yang seperti ini dalam rangka menjaga adab dengan Imam Hanafi (lihat: Muhammad al-Insân al-Kâmil, hal. 309).

 

Anehnya, konsep bermazhab yang otoritatif tapi tetap toleran ini ditolak oleh sebagian orang yang anti mazhab. Di antara penolaknya adalah Khajandi dalam kitabnya Al-Karas yang menyatakan bahwa mazhab yang benar adalah mazhab Nabi Muhammad dan mazhab Khulafaur Rasyidin. Dia juga menyatakan bahwa bermazhab dengan mazhab tertentu merupakan sebuah tindakan bid’ah. Dia mengklaim, semua sahabat kembalinya kepada Al-Qur’an dan hadits. Apabila sahabat tidak menemukan dalil dari Al-Qur’an maupun hadits, mereka menggali hukum secara mandiri. Menurut Khajandi, fenomena mazhab dan taqlid baru muncul pada kurun ke-3.

 

Syekh Said Ramadlan al-Buthi menjawab tuduhan tersebut dengan beberapa jawaban argumentatif. Di antara argumentasi ulama asal Suriah ini, ia mengatakan:

 

ضع صحيحي البخاري أمام سواد المسلمين اليوم، وقل لهم يفهموا أحكام دينهم من النصوص التي فيها، ثم انظر كيف يكون الجهل والتخبط والعبث بالدين. أفهذا الذي يريده "العلامة" الخجندي والأستاذ ناصر في وقفة الدفاع العجيب عن لغوه وشذوذه؟

 

Artinya: “Sekarang coba letakkan kedua kitab shahih (al-Bukhari dan Muslim) di hadapan mayoritas umat Islam pada hari ini. Suruh mereka memahaminya secara langsung dari teks aslinya! Lihat bagaimana kebodohan, benturan, dan main-main berlangsung dalam urusan agama. Apakah hal ini yang dikehendaki oleh Al-Khajandi dan Nashir?” (Syekh Muhammad bin Said Ramadlan Al-Buthi, Al-La Mazhabiyyah Akhtharu Bid’atin Tuhaddidu Al-Syari’ah Al-Islamiyyah, hal. 31)

 

Melihat mayoritas umat yang cenderung awam, tidak mempunyai ilmu cukup dalam menggali langsung dari sumbernya, itulah yang menjadikan konsensus bahwa bermazhab sangat dibutuhkan. Contohnya secara mudah adalah misalnya ada ayat:

 

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ.... الاية


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS An-Nisa: 43)

 

Apabila orang memahami Al-Qur’an secara langsung tanpa melalui ilmu dan ahwal ulama sedangkan mayoritas umat ini adalah orang yang terbatas pengetahuan ilmu agamanya, niscaya mereka akan mengartikan ayat ini dengan diperbolehkannya mabuk selama tidak mendekati waktu shalat. Hal ini akan terjadi apabila mereka tidak mengetahui ilmu naskh-mansukh dan perangkat yang lain. Sedangkan perangkat-perangkat ini semua berkaitan dengan dunia mazhab. Sehingga bermazhab merupakan sebuah keniscayaan yang susah dihindari meskipun yang mengambil ilmu tersebut secara tidak sadar sebenarnya ia juga sedang bermazhab.

 

Keilmuan yang mengacu terhadap mazhab masih relevan hingga sekarang ini. Sampai kapan pun justru semua orang mukallaf yang tidak sampai pada level mujtahid, harus mengekor kepada ulama mujtahid. Hal ini berdasarkan ayat:

 

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

 

Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka.” (QS an-Nisa’: 83)

 

Sebagaimana sudah menjadi maklum, kalimat yastanbithu itu mempunyai arti menggali hukum. Yang bisa menggali hukum tidak ada lain kecuali orang yang memang ahli atau pakar di bidangnya. (Lihat: Sayyid Alwi bin Muhammad As-Segaf, Sab’atu Kutub Mufidah, h. 59)

 

Imam Syafi’i menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan seorang pun setelah Rasulullah Muhammad kecuali sudah ada ilmu sebelumnya. Episentrum keilmuan itu adalah Al-Qur’an, hadits, ijma’, atsar, dan sesuatu yang diistilahkan sebagai qiyas. Tidak seorang pun yang bisa mengqiyas kecuali orang yang mempunyai piranti cukup yaitu memahami hukum-hukum yang ada di Al-Qur’an yang meliputi fardhu, adab, nasikh, mansukh, istilah perkataan orang arab, perkataan orang-orang salaf (terdahulu), kesepakatan ulama, perbedaan pandangan antar ulama dan lain sebagainya. Orang yang cerdas saja, namun tidak memenuhi kriteria yang saya sebutkan di atas, maka tidak akan bisa memasuki wilayah qiyas.

 

Setelah adanya mujtahid mutlak (empat imam mazhab), sebagaimana disebutkan dalam hadits, akan ada pembaharu Islam dalam setiap tahunnya. Sabda Rasulullah :

 

إنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهذهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا

 

Artinya: “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun seseorang yang memperbaharui agamanya.” (HR Abu Dawud)

 

Yang dimaksud sebagai pembaharu di sini bukanlah orang yang memperbaharui agama dengan hal yang benar-benar baru, namun mereka sebagai penguat hukum-hukum dan syariat, tidak sebagai mujtahid muthlaq (Sayid Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, hal. 15)

 

KH. Habib Quraish Shihab mengatakan:

 

ان التجديد ليس مجرد ابداء رأي جديد لم يذكره علماءنا السابقون ولكن التجديد أيضا اختيار الأنسب من أقوال العلماء السابقين وازلة الأغبرة التي تغطى الفكر الإسلامي الحقيقية الاغبرة التي سببتها المدنية الغير الدينية السائدة في عصرنا هذا.

 

Artinya: “Pembaharuan tidak semata-mata memperlihatkan pemikiran baru yang belum pernah disampaikan ulama kita dahulu, namun pembaharuan juga memilih pendapat ulama terdahulu yang paling relevan dan membersihkan debu yang menutupi pemikiran Islam yang hakiki. Debu-debu yang disebabkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar agama yang berlangsung hingga era kita saat ini" (Pidato KH Quraish Shihab dalam Mu’tamar Dunia di Al-Azhar, Kairo, 29 Januari 2020).

 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bermazhab adalah sebuah kebutuhan pokok yang disepakati semua ulama. Mengikuti mazhab hingga hari ini masih tetap relevan. Sedangkan slogan kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah secara langsung tanpa melalui perantara dan ilmu yang cukup adalah sebuah tindakan yang seolah mustahil. Wallahu a’lam.

 

 

Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, kota Semarang.