Syariah

Tawassul Dianjurkan dalam Islam

NU Online  Ā·  Kamis, 24 Februari 2011 | 06:09 WIB

Rasulullah saw bersabda: Ketika Adam mengakui kesalahannya, dia berkata: ā€˜Wahai Tuhanku, jika aku memohonmu atas nama Muhammad, Engkau pasti akan mengampuniku’. Lalu Allah bertanya: ā€˜Wahai Adam, bagaimana kau tahu tentang Muhammad sedang Aku belum menciptakannya?’ Adam menjawab:’Tuhanku, sesungguhnya ketika Engkau menciptakanku, aku mengangkat kepalaku, dan aku melihat di kaki ā€˜Arsy tertulis ā€œLaa ilaha illa Allah, Muhammadur Rasulullahā€, dan aku tahu, bahwa Engkau tidak akan pernah menyambungkan nama-Mu kecuali dengan ciptaan yang sangat Engkau cintai’. Allah berfirman: ā€˜Kau benar wahai Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling aku cintai, dan ketika kau memohon kepadaku atas namanya, maka Aku telah mengampunimu. Kalau bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmuā€. Dalam riwayat Imam Thabrani ditambahkan:ā€ā€¦.dia adalah Nabi terakhir dari keturunanmuā€.

Bertawassul kepada Rasulullah saw sebagaimana do’aĀ  Nabi Adam as tersebut di atas adalah sebuah bukti bahwa berdo’a dan meminta permohonan kepada Allah melalui perantara (wasilah)Ā  bukanlah hal yang baru atau aneh, apalagi dianggap bid’ah.<>

Wasilah adalah segala hal yang dapat mendekatkan kepada sesuatu yang lain. Bentuk jama’ dari wasilah adalah wusul atau wasa’il. Sedangkan bentuk tunggalnya adalah tausil dan tawassul. Contohnya, ā€œSi A bertawassul dengan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Tuhannyaā€. Maka, dia mendekatkan diri kepada Tuhannya dengn sebuah wasilah. Maksudnya, dia mendekatkan diri kepada Allah melalui perantara amal baikya.

Allah swt berfirman:
ā€œWahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya……(QS. Al-Maidh [5]:35)

Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman: ā€œOrang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang(harus) diatkuti.(QS Al-Isra’ [17]:57)

Dari dua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa pertama, dibolehkannya bertawassulĀ  kepada para Nabi dan orang-orang shaleh. Baik ketika mereka masih hidup maupun sepeninggal mereka. Kdeua, boleh juga bertawassul dengan amal baik masing-masing. Allah sendiri memerintahkan kepada kita untuk bertawassul sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat Fatimah binti Asad (ibu Ali bin Abi Thalib) wafat. RasulullahĀ  Saw bersabda:

Ų§ŁŽŁ„Ł„Ł‡Ł Ų§Ł„Ł‘ŁŽŲ°ŁŁ‰ ŁŠŲ­ŁŁ‰Ł’ ŁˆŁŽŁŠŁ…ŁŁŠŁŲŖŁ ŁˆŁŽŁ‡ŁŁˆŁŽ Ų­ŁŽŁŠŁ‘ŁŒ Ł„Ų§ŁŽŁŠŁŽŁ…ŁŁˆŁ’ŲŖŁ اغْفِرْ لأِ مّىِ ŁŁŽŲ§Ų·ŁŁ…ŁŽŲ©ŁŽ بِنْتِ Ų£ŁŽŲ³ŁŽŲÆŁ ŁˆŁŽŁ„ŁŽŁ‚Ł‘Ł†Ł’Ł‡ŁŽŲ§ Ų­ŁŲ¬Ł‘ŁŽŲŖŁŽŁ‡ŁŽŲ§ ŁˆŁŽŁˆŁŽŲ³Ł‘ŁŲ¹Ł’ Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡ŁŽŲ§ Ł…ŁŽŲÆŁ’ Ų®ŁŽŁ„ŁŽŁ‡ŁŽŲ§ ŁŲØŲ­ŁŽŁ‚Ł‘ ŁŁ†ŁŽŲØŁŁŠŁ‘ŁƒŁŽ ŁˆŁŽŲ§Ł’Ł„Ų£ŁŽŁ†Ł’ŲØŁŁŠŁŽŲ§Ų”Ł Ų§Ł„Ł‘ŁŽŲ°ŁŁŠŁ’Ł†ŁŽ مِنْ Ł‚ŁŽŲØŁ’Ł„ŁŁ‰ ŁŁŽŲ§Ų”ŁŁ†Ł‘ŁŽŁƒŁŽ Ų§ŁŽŲ±Ł’Ų­ŁŽŁ…Ł Ų§Ł„Ų±Ł‘ŁŽŲ§Ų­ŁŁ…ŁŁŠŁ’Ł†ŁŽ ŁˆŁŽŁƒŁŽŲØŁ‘ŁŽŲ±ŁŽŲ£ŁŽŲ±Ł’ŲØŁŽŲ¹Ł‹Ų§ ŁˆŁŽŲ§ŁŽŲÆŁ’Ų®ŁŽŁ„ŁŁˆŁ’ Ł‡ŁŽŲ§ Ł‡ŁŁˆŁŽ ŁˆŁŽŲ§Ł’Ł„Ų¹ŁŽŲØŁ‘ŁŽŲ§Ų³Ł ŁˆŁŽŲ§ŁŽŲØŁŁˆŁ’ ŲØŁŽŁƒŁ’Ų±Ł Ų§Ł„Ł‘ŲµŁŲÆŁ‘ŁŠŁŁ‚Ł Ų±ŁŽŲ¶ŁŁ‰ŁŽ Ų§Ł„Ł„Ł‡Ł Ų¹ŁŽŁ†Ł’Ł‡ŁŁ…Ł’

ā€œAllah yang menghidupkan dan yang mematikan dan Dialah yang hidup tidak mati; Ampunilah! Untuk Ibu saya Fathimah binti Asad dan ajarkanlah kepadanya hujjah (jawaban ketika ditanya malaikat) kepadanya dan luaskan kuburnya dengan wasilah kebenaran Nabimu dan kebenaran para Anbiya’ sebelum saya, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dan Rasulullah takbir empat kali dan mereka memasukkan ke dalam kubur ia (Rasulullah), Sahabat Abbas Abu Bakar As-Shaddiq r.a.ā€ (HR Thabrani).

Dalam hadits di atas, Rasulullah bertawassul kepada Allah dengan dirinya sebagai orang yang paling mulia,Ā  juga bertawassul dengan nama para Nabi sebelumnya yang berhak mendapat shalawat dan salam.

Dalam kitab Riyadlus-Shalihin bab Wadaais-shahib hadits no.3, Rasulullah SAW mengizinkan Umar bertawassul dengannya, dan menyertakan Rasulullah saw dalam segala do’anya di Mekkah ketika umrah.

Ų¹ŁŽŁ†Ł’ Ų¹ŁŁ…ŁŽŲ±ŁŽŲØŁ’Ł†Ł Ų§Ł’Ł„Ų®ŁŽŲ·Ł‘ŁŽŲ§ŲØŁ Ų±ŁŽŲ¶ŁŁ‰ŁŽŲ§Ł„Ł„Ł‡Ł Ų¹ŁŽŁ†Ł’Ł‡Ł Ł‚ŁŽŲ§Ł„ŁŽ Ų§ŁŲ³Ł’ŲŖŁŽŲ£Ł’Ų°ŁŽŁ†Ł’ŲŖŁ Ų§Ł„Ł†Ł‘ŁŽŲØŁŁ‰Ł‘ŁŽ ŲµŁŽŁ„Ł‘ŁŽŁ‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡Ł Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡Ł ŁˆŁŽŲ³ŁŽŁ„Ł‘ŁŽŁ…ŁŽ فِى Ų§Ł’Ł„Ų¹ŁŁ…Ł’Ų±ŁŽŲ©Ł ŁŁŽŲ£Ų°ŁŁ†ŁŽ لىِ ŁˆŁŽŁ‚ŁŽŲ§Ł„ŁŽ: Ł„Ų§ŁŽŲŖŁŽŁ†Ł’Ų³ŁŽŁ†ŁŽŲ§ ŁŠŁŽŲ§Ų§ŁŲ®ŁŽŁŠŁ‘ŁŽ مِنْ ŲÆŁŲ¹ŁŽŲ§Ų¦ŁŁƒŁŽ ŁŁŽŁ‚ŁŽŲ§Ł„ŁŽ ŁƒŁŽŁ„ŁŁ…ŁŽŲ©Ł‹ Ł…ŁŽŲ§ŁŠŁŽŲ³ŁŲ±Ł‘ŁŁ†ŁŁ‰ Ų§ŁŽŁ†Ł‘ŁŽ لىِ ŲØŁŁ‡ŁŽŲ§Ų§Ł„ŲÆŁ‘ŁŁ†Ł’ŁŠŁŽŲ§. ŁˆŁŽŁŁŁ‰ Ų±ŁŁˆŁŽŲ§ŁŠŁŽŲ©Ł Ł‚ŁŽŲ§Ł„ŁŽ Ų§ŁŽŲ“Ł’Ų±ŁŁƒŁ’Ł†ŁŽŲ§ ŁŠŁŽŲ§Ų§ŁŲ®ŁŽŁ‰Ł‘ŁŽ فِى ŲÆŁŲ¹ŁŽŲ§Ų¦ŁŁƒŁŽ. Ų±ŁˆŲ§Ł‡ ابوداود ŁˆŲ§Ł„ŲŖŲ±Ł…Ų°Ł‰

ā€œDari shahabat Umar Ibnul Khattab r.a. berkata: saya minta idzin kepada Nabi SAW untuk melakukan ibadah umrah, kemudian Nabi mengidzinkan saya dan Rasulullah SAW bersabda; wahai saudaraku! Jangan kau lupakan kami dalam do’amu; Umar berkata: suatu kalimat yang bagi saya lelah senang dari pada pendapat kekayaan dunia. Dalam riwayat lain; Rasulullah SAW bersabda: sertakanlah kami dalam do’amuā€. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dalam hadits di atas Rasulullah meminta kepada sayyidina Umar untuk menyertakan Rasulullah dalam do’anya sayyidina Umar selama di Makkah, padahal kalau Rasulullah berdo’a sendiri tentu lebih diterima, tetapi beliau masih meminta do’a kepada sayyidinda Umar.

Rujukan lain untuk tawassul jenis ini seperti dalam kitab Sahhihul Bukhari jilid I, bahwa Sayyidina Umar Ibnul Khattab bertawassul dengan Rasulullah dan Sahabat Abbas ketika musim paceklik, sebagaimana disebutkan berikut ini:

Ų¹ŁŽŁ†Ł’ Ų£ŁŽŁ†ŁŽŲ³Ł Ų§ŁŽŁ†Ł‘ŁŽ Ų¹ŁŁ…ŁŽŲ±ŁŽŲ§ŲØŁ’Ł†ŁŽ Ų§Ł’Ł„Ų®ŁŽŲ·Ł‘ŁŽŲ§ŲØŁ Ų±ŁŽŲ¶ŁŁ‰ŁŽŲ§Ł„Ł„Ł‡Ł Ų¹ŁŽŁ†Ł’Ł‡Ł ŁƒŲ§ŁŽŁ†ŁŽ Ų§ŁŲ°ŁŽŲ§ Ł‚ŁŽŲ­ŁŽŲ·ŁŁˆŁ’Ų§ Ų§ŁŲ³Ł’ŲŖŁŽŲ³Ł’Ł‚Ł‰ŁŽ ŲØŁŲ§Ł„Ų¹ŁŽŲØŁ‘ŁŽŲ§Ų³ŁŲØŁ†Ł Ų¹ŁŽŲØŁ’ŲÆŁŲ§Ł’Ł„Ł…ŁŲ·ŁŽŁ„Ł‘ŁŲØŁ ŁŁŽŁ‚ŁŽŲ§Ł„ŁŽ: Ų§Ł„Ł‘ŁŽŁ„Ł‡ŁŁ…Ł‘ŁŽ Ų§ŁŁ†Ł‘ŁŽŲ§ ŁƒŁŁ†Ł‘ŁŽŲ§ Ł†ŁŽŲŖŁŽŁˆŁŽŲ³Ł‘ŁŽŁ„Ł Ų§ŁŁ„ŁŽŁŠŁ’ŁƒŁŽ ŲØŁŁ†ŁŽŲØŁŁŠŁ‘ŁŁ†ŁŽŲ§ ŁŁŽŲŖŁŽŲ³Ł’Ł‚ŁŁŠŁ’Ł†ŁŽŲ§ ŁˆŁŽŲ§ŁŁ†Ł‘ŁŽŲ§ Ł†ŁŽŲŖŁŽŁˆŁŽŲ³Ł‘ŁŽŁ„Ł ŲØŁŲ¹ŁŽŁ…Ł‘Ł Ł†ŁŽŲØŁŁŠŁ‘ŁŁ†ŁŽŲ§ ŁŁŽŲ§Ų³Ł’Ł‚ŁŁ†ŁŽŲ§, Ł‚ŁŽŲ§Ł„ŁŽ: ŁŁŽŁŠŁŲ³Ł’Ł‚ŁŽŁˆŁ’Ł†ŁŽ.
Ā Ų±ŁˆŲ§Ł‡ البخارى

ā€œDari sahabat Anas; bahwasannya Umar Ibnul Khattab r.a. apabila dalam keadaan paceklik (kekeringan) ia memohon hujan dengan wasilah Sahabat Abbas Ibn Abdil Muthalib, maka berdo’a sayyidina Umar : Yaa Allah sesungguhnya kami bertawassul kepada Engkau dengan wasilah paman Nabi kami (Sahabat Abbas) maka berilah kami hujan, berkata Sayyidina Umar kemudian diturunkan hujanā€. (HR Bukhari)

Bertawassul kepada orang-orang yang dekat kepada Allah seperti para nabi, rasul dan shalihin, bukan berarti meminta kepada mereka, tetapi memohon agar mereka ikut memohon kepada Allah agar permohonan do’a diterima Allah SWT. Sebab, seluruhnya juga adalah haq Allah, seperti disebutkan berikut ini:

Ł„Ų§ŁŽŁ…ŁŽŲ§Ł†ŁŲ¹ŁŽ Ł„Ł…ŁŲ§ŁŽ Ų£ŁŽŲ¹Ł’Ų·ŁŽŁŠŁ’ŲŖŁŽ ŁˆŁŽŁ„Ų§ŁŽ Ł…ŁŲ¹Ł’Ų·ŁŁŠŁŽ Ł„Ł…ŁŲ§ŁŽ Ł…ŁŽŁ†ŁŽŲ¹Ł’ŲŖŁŽ

ā€œTiadaĀ  yang bisaĀ  mencegah kalau Allah mau memberi, dan tidak ada yang bisa memberi kalau Allah mencegahnya.ā€

Ł‚ŁŁ„Ł’ Ł‡ŁŁˆŁŽŲ§Ł„Ł„Ł‡Ł Ų§ŁŽŲ­ŁŽŲÆŁŒ, Ų§ŁŽŁ„Ł„Ł‡Ł Ų§Ł„ŲµŁ‘ŁŽŁ…ŁŽŲÆŁ

ā€œKatakanlah Dia Allah yang Maha Esa dan Allah tempat meminta.ā€

Sesungguhnya bertawassul dengan berdo’a dan mempergunakan wasilah, baik dengan iman, amal shaleh dan dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT jelas tidak disalahkan oleh agama bahkan dibenarkan. Bertawassul bukan berarti meminta kepada orangĀ  yang dijadikan wasilah, melainkanĀ  memohon agar yang dijadikan wasilah memberikan keberkahan untuk diterima do’a para pemohonnya.

Jadi, tidak ada unsurĀ  syirik dalam bertawassul, karena pada saat bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah Swt, seperti para Nabi, Para Rasul, para sholihin pada hakekatnyaĀ  tidak bertawassul degan dzat mereka, tetapi bertawassul dengan amal perbuatan mereka yang sholeh.

Karenanya, tidak mungkin kita bertawassul dengan orangorang yang ahli maksiat, pendosa yang menjauhkan diri dari Allah Swt, dan kita juga tidak bertawassul dengan pohon, baru, guung, kuburan kramat dsb.

Oleh karena itu wajar saja jika Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah, dalam risalahnya merasa perlu bertabayyun atau klarifikasi atas tuduhan beberapa orang yang ngatakan bahwa ia mengharamkan tawassul. Ia menuliskan ā€œSesungguhnya Sulaiman bin Suhaim telah berdusta terhadapku tentang banyak hal yang tidak pernah aku katakan, bahkan tidak pernah terlintas dibenakku. Di antaranya aku dianggap mengkafirkan orang-orang yang bertawassul melalui orang shaleh, aku juga dituduh mengkafirkan al-Bushiri karena mengatakan ā€˜wahai makhluk yang paling mulia’, aku juga difitnah membakar kitab dalailul khairat. semua itu hanya bisa aku jawab Maha Suci Engkau Ya Allah semua ini adalah dusta Besar.ā€Ā Ā Ā 

Malahan dalam al-Fatwa al-Kubra, Syaikh Abdul Wahab menjawab ketika ditanya tentang tawassul, beliau dengan tegas menjawab ā€œ Tidak mengapa bertawassul dengan orang-orang Shaleh ... asalkan mereka yang berdoa dengan jelas memohon seperti ā€œaku memohon kepada-Mu dengan Nabi-Muā€ atau ā€œDengan nama Rasul-Mu aku memohon agar...ā€ atau ā€œaku memohon kepada-Mu ya Allah, dengan hamba-hamba-Mu yang sholeh, semoga...ā€ bahkan ketika mereka berdoa’a di atas kuburpun tidak ada masalahā€

Wal hasil, tawassul dalam Islam dibolehkan, dan dianjurkan. Asalkan mereka yang bertawassul ini mengerti dan faham arti, serta cara-cara bertawassul. Dan sadar benar bahwa Yang Maha Kuasa hanyalah Allah swt.

BertawassullahĀ  dengan wasilah yang disenangi Allah, atau berdo’a dengan menyebut sesuatu yang disenangi Allah, tentu Allah akan menyenangi kita, dan meridloinya. Maka apa yang disenangi Allah, seyogyanya disebut dalam do’a. Dan tidak ada yang lebih disayangi di jagad raya ini kecuali Rasulullah saw. karena itu dalam setiap doa selalu ada sholawat dan salam kepadanya.

(Ngabdurrahman al-Jawi)
Ā