Syariah

Sakit Seperti Apa yang Menggugurkan Orang Wajib Shalat Jumat?

NU Online  Ā·  Kamis, 8 Februari 2018 | 11:00 WIB

Sakit Seperti Apa yang Menggugurkan Orang Wajib Shalat Jumat?

Ilustrasi (shutterstock)

Yang harus dipenuhi bagi orang yang melaksanakan shalat jumat setidaknya adalah tujuh syarat, yaitu Islam, merdeka, baligh, berakal, laki-laki, sehat, dan tidak dalam bepergian (al-istiyathan). Ketujuh syarat itu harus terpenuhi. Karenanya, orang non-muslim, yang tidak berakal, dan musafir tidak terkena kewajiban shalat Jumat. Begitu juga budak, perempuan, anak kecil, dan orang yang sakit. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW berikut ini:

Ų§Ł„Ł’Ų¬ŁŁ…ŁŲ¹ŁŽŲ©Ł Ų­ŁŽŁ‚Ł‘ŁŒ ŁˆŁŽŲ§Ų¬ŁŲØŁŒ Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁ‰ ŁƒŁŁ„Ł‘Ł Ł…ŁŲ³Ł’Ł„ŁŁ…Ł فِى Ų„ŁŁ„Ų§Ł‘ŁŽ Ų£ŁŽŲ±Ł’ŲØŁŽŲ¹ŁŽŲ©Ł Ų¹ŁŽŲØŁ’ŲÆŁ Ł…ŁŽŁ…Ł’Ł„ŁŁˆŁƒŁ ، Ų£Ł’ŁˆŁ Ų§Ł…Ł’Ų±ŁŽŲ£ŁŽŲ©Ł ، Ų£ŁŽŁˆŁ’ ŲµŁŽŲØŁŁ‰Ł‘Ł ، Ų£ŁŽŁˆŁ’ Ł…ŁŽŲ±ŁŁŠŲ¶Ł

ā€œShalat Jumat itu wajib bagi setiap muslim kecuali empat orang yaitu budak yang dimiliki, perempuan, anak kecil, dan orang sakitā€ (H.R. Abu Dawud)

Penulis ā€˜Aun al-Ma’bud Syarhu Sunani Abi Dawud menjelaskan maksud orang sakit yang tidak wajib shalat Jumat dalam hadits ini. Menurutnya, orang sakit yang tidak berkewajiban shalat Jumat itu adalah ketika ia hadir untuk shalat malah menimbulkan masyaqqah (kondisi amat sulit/memberatkan) bagi dirinya. Ini artinya tidak semua orang sakit tidak wajib shalat Jumat. Tetapi hanya orang-orang yang memang masuk kategori sakit berat. Sebab kalau ikut shalat Jumat malah menambah penderitaannya.

Selanjutnya beliau menjelaskan pandangan imam Abu Hanifah yang meng-ilhaq-kan atau menganalogikan orang yang sakit dengan orang buta meskipun ada yang menuntuntunya. Alasannya yang beliau kemukakan adalah bahwa kebutaaan itu juga menimbulkan masyaqqah. Sedikit berbeda dengan imam Abu Hanifah, imam Syafi’i berpendapat jika orang buta ada yang menuntun atau mengarahkannya, maka ia bukan orang yang dalam kategori uzur. Karenanya, dalam konteks ini ia wajib shalat Jumat.

ŁŁŁŠŁ‡Ł Ų£ŁŽŁ†Ł‘ŁŽ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲ±ŁŁŠŲ¶ŁŽ Ł„ŁŽŲ§ ŲŖŁŽŲ¬ŁŲØŁ Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡Ł Ų§Ł„Ł’Ų¬ŁŁ…ŁŲ¹ŁŽŲ©Ł Ų„ŁŲ°ŁŽŲ§ ŁƒŁŽŲ§Ł†ŁŽ Ų§Ł„Ł’Ų­ŁŲ¶ŁŁˆŲ±Ł ŁŠŁŽŲ¬Ł’Ł„ŁŲØŁ Ų¹ŁŽŁ„ŁŽŁŠŁ’Ł‡Ł Ł…ŁŽŲ“ŁŽŁ‚Ł‘ŁŽŲ©Ł‹ ŁˆŁŽŁ‚ŁŽŲÆŁ’ Ų£ŁŽŁ„Ł’Ų­ŁŽŁ‚ŁŽ بِهِ Ų§Ł„Ł’Ų„ŁŁ…ŁŽŲ§Ł…Ł Ų£ŁŽŲØŁŁˆ Ų­ŁŽŁ†ŁŁŠŁŁŽŲ©ŁŽ Ų§ŁŽŁ„Ł’Ų£ŁŽŲ¹Ł’Ł…ŁŽŁ‰ ŁˆŁŽŲ„ŁŁ†Ł’ ŁˆŁŽŲ¬ŁŽŲÆŁŽ Ł‚ŁŽŲ§Ų¦ŁŲÆŁ‹Ų§ Ł„ŁŁ…ŁŽŲ§ فِي Ų°ŁŽŁ„ŁŁƒŁŽ Ł…ŁŁ†ŁŽ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲ“ŁŽŁ‚Ł‘ŁŽŲ©ŁŽ ŁˆŁŽŁ‚ŁŽŲ§Ł„ŁŽ Ų§Ł„Ų“Ł‘ŁŽŲ§ŁŁŲ¹ŁŁŠŁ‘Ł Ų„ŁŁ†Ł‘ŁŽŁ‡Ł ŲŗŁŽŁŠŁ’Ų±Ł Ł…ŁŽŲ¹Ł’Ų°ŁŁˆŲ±Ł Ų¹ŁŽŁ†Ł Ų§Ł„Ł’Ų­ŁŲ¶ŁŁˆŲ±Ł ؄ِنْ ŁˆŁŽŲ¬ŁŽŲÆŁŽ Ł‚ŁŽŲ§Ų¦ŁŲÆŁ‹Ų§

ā€œDalam hadits ini menjelaskan bahwa orang yang sakit tidak wajib atasnya shalat Jumat apabila kehadirannya dapat menimbulkan masyaqqah. Imam Abu Hanifah menyamakan orang buta dengan orang sakit meskipun ia mendapati orang yang menuntunnya, karena adanya masyaqqah. Sedang imam Syafii berpendapat bahwa orang buta bukanlah orang yang udzur dari mengikuti shalat Jumat jika ada yang menuntunnyaā€ (Abu Thayyib Muhammad Syams al-Haq al-Azhim Abadi, ā€˜Aun al-Ma’bud Syarhu Sunani Abi Dawud, Bairut-Dar al-Kutub al-ā€˜Ilmiyyah, cet ke-2, 1415 H, juz, 3, h. 278)

Nah dari sini dapat disimpulan bahwa menurut Imam Abu Hanifah orang buta tidak wajib mengikuti shalat Jumat meskipun ada yang menuntun atau mengarahkannya. Sebab, kebutaan itu sendiri merupakan masyaqqah. Sedang menurut imam Syafi’i jika ada yang menuntunnya, ia tetap wajib shalat Jumat. Dua pendapat ini dalam pandangan kami sebenarnya sama-sama tidak mewajibkan shalat Jumat bagi orang buta, hanya saja imam Syafii memberikan batasan apabila ada yang menuntun atau yang mengarahkan, maka tetap wajib shalat Jumat atasnya.

Meskipun kewajiban shalat Jumat menjadi gugur karena adanya masyaqqah, kewajiban shalat Dhuhur tetap berlaku karena itu merupakan kewajibannya sebagai hamba Allah sepanjang hidup. Shalat dhuhur dilaksanakan sebagaimana biasanya. Dalam praktiknya, bila ada kendala lantaran sakit gerakan dan bacaan disesuaikan menurut kemampuan orang yang melakukannya. Wallahu aā€˜lam. (Mahbub Ma’afi Ramdlan)