Syariah

Saat Salafi Memelintir Perkataan Imam Syafi’i

Sab, 8 Desember 2018 | 11:20 WIB

Saat Salafi Memelintir Perkataan Imam Syafi’i

Saat Salafi Memelintir Perkataan Imam Syafi’i

Perdebatan antara kelompok Salafi dan Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) di antaranya berkisar pada persoalan bid’ah hasanah. Masing-masing menyuguhkan dalil dari Al-Qur’an dan hadits, bahkan kelompok Salafi tak jarang menjadikan pendapat imam mazhab sebagai bahan “memukul”. Berikut ini adalah percakapan imajiner yang sejatinya berangkat dari kasus-kasus yang umum kita jumpai. Meski imajiner, narasi dalam dialog ini memiliki valditas ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. (Redaksi)
 
Salafi: Orang yang mengaku bermazhab Syafi’i itu hanya mempelajari fiqih Syafi’i saja, tapi tidak mau mempelajari aqidahnya. Aqidah pengikut mazhab Syafi’i itu sudah menyimpang dari aqidah Imam Syafi’i.
 
Aswaja: Lowh… 
 
Salafi: Dan lagi, selama ini pengikut Syafi’i itu ternyata telah menyimpang dari penjelasan Imam Syafi’i sendiri. 
 
Aswaja: Owh… Contohnya?
 
Salafi: Misalnya tentang bid’ah hasanah. Imam Syafi’i itu tak mengakui bid’ah hasanah! Sementara yang mengaku sebagai pengikutnya justru mengakui dan membela mati-matian bid’ah hasanah.
 
Aswaja: Wah, ajib nih. Gimana penjelasannya?
 
Salafi: Coba dengarkan ini. Ulama kami, namanya Syekh Muhammad Alu al-Syaikh mengutip pendapat dari dua kitab ulama pengikut mazhab Syafi’i, yaitu Imam al-Ghazali dan Syekh al-Mahalli. Dengarkan ya.
 
ولهذا قال الإمام الشافعي رحمه الله في كلمته المشهورة التي نقلها عنه أئمة مذهبه وعلماؤه كالغزالي في "المنخول" (ص374)، والمحلي في "جمع الجوامع-2/395 بحاشيته": "من استحسن فقد شرع"
Perlu diterjemahkan nggak?
 
Aswaja: Terjemahkan saja. Jangan-jangan terjemahannya saja yang salah.
 
Salafi: Ah, ya tidak. Ini terjemahannya: “Oleh karena itu, Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan dalam kalimat beliau yang populer, yang dinukil oleh imam-imam dan ulama-ulama mazhabnya, seperti al-Ghazali dalam al-Mankhul (hal. 374) dan al-Mahalli dalam Jam’u al-Jawami’ (2/395) dan Hasyiyahnya: Man istahsana faqad syarra’a (barangsiapa melakukan ‘istihsan/menilai baik sesuatu’ maka dia telah membuat-buat syariat.”
 
Aswaja: Oh, masalah istihsan. Terus?
 
Salafi: Nah, ini lebih tegas nih di kitab induk Imam Syafi’i, yaitu al-Risalah dan al-Umm. Imam Syafi’i ternyata memang mengatakan barangsiapa melakukan ‘istihsan/menilai baik sesuatu’ maka dia telah membuat-buat syariat. Jadi tidak mungkin Imam Syafi’i menyatakan adanya bid’ah hasanah, karena beliau menolak istihsan. Makanya di sini Syekh Muhammad Alu al-Syaikh dalam kitab yang sama, jilid 8, halaman 45 menjelaskan:
 
كيف يقول الشافعي رحمه الله بالبدعة الحسنة وهو القائل: "من استحسن فقد شرع".والقائل في "الرسالة" ( ص507):"إنما الاستحسان تلذذ".وعقد فصلاً في كتابه "الأم" (7/293- 304) بعنوان:"إبطال الاستحسان"
“Bagaimana Syafi’i rahimahullah mengakui keberadaan bid’ah hasanah, sedang beliau mengatakan, ‘Barangsiapa melakukan istihsan maka dia telah membuat-buat syariat.’ Beliau juga mengatakan dalam al-Risalah (hal 507), ‘Istihsan adalah perbuatan untuk mencari kesenanangan diri.’ Imam Syafi’i juga membuat bab tersendiri dalam al-Umm (7/293-304) dengan judul ‘Pembatalan Istihsan’.”
 
Jadi intinya, kalian yang mengaku sebagai penganut mazhab Syafi’i, pahamilah kalam Imam Syafi’i dengan kaidah dan ushul ajaran mazhab Syafi’i. Jelas-jelas beliau tidak mengakui istihsan.
 
Aswaja: Jadi karena Imam Syafi’i menolak istihsan, lalu kalian simpulkan beliau menolak bid’ah hasanah?
 
Salafi:  Ya, coba ini keterangan berikutnya:
 
الفصل الخامس: القيام عند ذكر ولادته - صلى الله عليه وسلم - وزعمهم أنه يخروج إلى الدنياأثناء قراءة قصص المولد (حثت القصص التي تقرأ بمناسبة الاحتفال بالمولد على القيام عند ذكر ولادة النبي - صلى الله عليه وسلم -وخروجه إلى الدنيا ومما جاء فيها من ذلك ما يلي:قال البرزنجي في "مولده" (ص77): (قد استحسن القيام عند ذكر مولده الشريف أئمة ذوو رِواية و روية فطوبى لمن كان تعظيمه - صلى الله عليه وسلم - غاية مرامه ومرماه). حكم الاحتفال بالمولد النبوي والرد على من أجازه" للشيخ محمد بن إبراهيم آل الشيخ رحمه الله (ص29-30) ـ
“Pasal kelima tentang berdiri saat momen penyebutan kelahiran Nabi ﷺ dan klaim mereka bahwa Nabi keluar ke dunia saat pembacaan kisah-kisah maulid. Kisah-kisah yang dibaca dalam acara peringatan maulid ini meniscayakan agar orang yang membacanya berdiri ketika penyebutan kisah kelahiran Nabi ﷺ dan bahwa beliau keluar ke dunia. Di antara penjelasan mereka adalah sebagai berikut. Al-Barzanji mengatakan dalam kitab Maulid (hal 77), ‘Para ulama yang menguasai riwayat dan maknanya menganggap baik (istahsana, dari kata istihsan, penj) berdiri saat penyebutan kelahiran beliau yang mulia. Maka sungguh beruntung orang yang menjadikan pengangungan terhadap Nabi Muhammad ﷺ sebagai tujuan dan kecintaannya.” (Muhammad Alu al-Syaikh, Hukm al-Ihtifal bi al-Maulid al-Nabawi, hal 29-30). 
 
Aswaja: Owh, paham, paham. Jadi ketika Imam al-Barzanji menganggap baik atau istahsana, dari kata istihsan amaliah berdiri saat penyebutan kelahiran Nabi Muhammad, lalu kalian benturkan dengan penolakan Imam Syafi’i terhadap istihsan itu?
 
Salafi: Iya. 
 
Aswaja: Saya simpulkan ya. Menurut keterangan Syekh Muhammad Alu al-Syaikh tadi: Pertama, Imam Syafi’i tidak mengakui bid’ah hasanah. Kedua, ketidaksetujuan Imam Syafi’i terhadap bid’ah hasanah itu dengan dasar karena beliau menolak istihsan. Ketiga, Alu al-Syaikh telah mengartikan istihsan yang ditolak oleh Imam Syafi’i dengan makna yang bersifat harfiah-menyeluruh atau generalisasi, yaitu “menganggap baik sesuatu”, termasuk dalam hal ini sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad  ﷺ.
 
Salafi: Betul. Kan memang seperti itu.
 

Aswaja: Sepertinya ada kesalahan ilmiah yang fatal di sini. Antum salah pikir.
 
Salafi: Lowh, kenapa? Antum harus menerima ini sebagai kebenaran, ya akhi. Memang umat Islam di Indonesia yang mengaku bermazhab Syafi’i sudah jauh dari tuntunan Imam Syaf’i. Ini fakta. Sudah, akui saja.
 
Aswaja: Ya akhi. Apa hubungan antara istihsan dengan bid’ah hasanah? Tidak ada hubungannya kecuali bila hanya secara paksa dihubung-hubungkan saja. Penulis kitab yang antum baca itu mengajak orang lain untuk memahami kaidah dan prinsip Imam Syafi’i untuk menafsirkan kalam Imam Syafi’i. Namun justru dia membuat pemaknaan sendiri tentang istihsan yang ditolak oleh Imam Syafi’i.
 
Salafi: Kan jelas Imam Syafi’i menolak sikap menganggap baik sesuatu atau istihsan itu. Jadi beliau menolak bid’ah hasanah kan?
 
Aswaja: Wah, kok pemahamannya begitu. Betulkah Imam Syafi’i menolak bid’ah hasanah melalui konsep istihsan? Apa betul kita sebagai penganut mazhab Syafi’i yang menganggap baik maulid, berdiri dalam pembacaan shalawat, dan sebagainya telah bertentangan dengan pendapat Imam Syafi’i? 
 
Dengarkan akhi ya. 
 
Pertama, menurut Imam Syafi’i, istihsan yang tidak boleh itu adalah bila bertentangan dengan dalil Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam kitab ar-Risalah dijelaskan:
 
 وهذا يبين أن حراما على أحد أن يقول بالاستحسان إذا خالف الاستحسان الخبر والخبر من الكتاب والسنة
“Hal ini menjelaskan bahwa haram bagi seseorang berpendapat dengan istihsan jika istihsan tersebut bertentangan dengan khabar. Sementara khabar itu dari Al-Qur’an dan as-Sunnah.” (al-Syafi’i, ar-Risalah, 503)
 
Kedua, istihsan yang dimaksud oleh Imam Syafi’i adalah istihsan sebagai lawan qiyas. Dalam ar-Risalah, hal 504 dijelaskan:
 
لِهَذَا تَدُلُّ على إبَاحَةِ الْقِيَاسِ وَحَظْرِ أَنْ يُعْمَلَ بِخِلَافِهِ من الِاسْتِحْسَانِ.
“Dengan ini menjadi dalil tentang kebolehan qiyas dan larangan untuk mengamalkan sebaliknya yaitu istihsan.”
 
Salafi: Istihsan itu kan artinya menolak menganggap baik sesuatu. Sudah, jangan sulit-sulit mengartikan ucapan Imam Syafi’i itu. Beliau menolak bid’ah hasanah atas nama istihsan.
 
Aswaja: Itulah hobi kalian. Sukanya mengartikan sesuatu dengan harfiah, tapi tak mau meneliti lebih mendalam. Antum harus tahu, baik ar-Risalah maupun al-Umm, itu adalah kitab ushul fiqh. Apa istihsan yang dimaksud dalam ushul fiqih itu? 
 
Para pakar ushul fiqih memiliki beberapa pengertian tentang istihsan ini. Syekh Muhammad al-Amin al-Syinqithi dalam Mudzakkirah Ushul Fiqh ‘ala Raudhatun Nazhir misalnya merilis beberapa definisi tersebut.
 
Terdapat ulama ushul yang memberikan pengertian istihsan dengan “Sesuatu yang dianggap baik oleh seorang mujtahid dengan akalnya (ma yastahsinuhul mujtahidu bi ‘aqlih).” 
 
Apakah yang dianggap baik tersebut? Ternyata objeknya adalah dalil. 
 
Oleh karena itu, terdapat ulama ushul yang memberikan pengertian istihsan dengan “Suatu dalil yang terbesit di benak mujtahid tanpa mampu untuk dia ungkapkan (dalilun yanqadihu fi nafsil mujtahidi la yaqdiru ‘alat ta’biiri ‘anhu).” 
 
Antum bisa baca di kitab beliau, Mudzakkirah Ushul Fiqh ‘ala Raudhatun Nazhir, halaman 259.
 
Nah, berdasarkan pengertian istihsan tersebut dapat disimpulkan bahwa objek istihsan itu adalah dalil. Maksudnya, suatu pikiran dalam benak mujtahid untuk memilih suatu dalil dan meninggalkan yang lain, namun ia tak dapat mengungkapkan mengapa ia memilih dalil tersebut dan meninggalkan yang lain. Hal inilah yang ditolak oleh Imam Syafi’i, bukan istihsan yang antum artikan “menganggap baik sesuatu” secara umum, atau “menilai sesuatu sebagai bid’ah hasanah”.
 
Salafi: Tapi al-Barzanji secara jelas tadi mengatakan bahwa berdiri saat pembacaan maulid itu di-istihsan-kan oleh para penghobi Maulid. Bagaimana nih? Ana ulang lagi ya:
 
قد استحسن القيام عند ذكر مولده الشريف أئمة ذوو رِواية و روية
Aswaja: Ya akhi, ulama Ahlussunnah wal Jama’ah ketika menganggap baik sesuatu memang memakai kata istihsan.Tapi yang dimaksud adalah istihsan dari segi bahasa, bukan dalam bidang Ushul Fiqh. Antum harus lanjutkan kalam al-Barzanji itu. Jangan dipotong-potong.
 
Lanjutan kalam beliau tentang istihsan saat qiyam dalam pembacaan Maulid, sebagaimana dikutip Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam kitab al-Bayan wa al-Ta’rif fi Dzikra al-Mawlid al-Nabawi, hal 29-30 begini:
 
ونعني بالاستحسان بالشيئ هنا كونه جائزا من حيث ذاته وأصله ومحمودا ومطلوبا من حيث بواعثه وعواقبه, لا بالمعنى المصطلح عليه في أصول الفقه.
“Yang kami maksud dengan istihsan atau menganggap baik sesuatu di sini adalah sesuatu yang dari asalnya suatu perbuatan itu boleh serta dari sisi tujuan dan dampaknya memang baik dan diharapkan. Bukan istihsan yang diistilahkan dalam ilmu ushul fiqh.”
 
Fahimtum?
 
Jadi berdiri adalah sesuatu yang boleh. Bila tujuan dan dampaknya baik – sebagaimana dalam mahallul qiyam – maka itu baik. Itulah yang disebut istihsan di sini, bukan istihsan dalam ushul fiqh yang memang ditolak oleh Imam Syafi’i.
 
Salafi: Jadi, salah ya bahwa Imam Syafi’i menolak bid’ah hasanah dengan dalih beliau menolak istihsan.
 
Aswaja: Ya iyalah. Makanya antum dan jamaah antum selama ini hanya digiring saja untuk memahami sesuatu hanya sesuai yang dimaui Syekh-Syekh antum itu. Teliti lagi ya akhi. Jangan manggut-manggut saja. Apalagi ini jelas makar terhadap pernyataan Imam Syafi’i. Ini namanya kedustaan atas nama beliau.
 
Belum lagi, al-Hafizh al-Baihaqi dalam Manaqib al-Imam al-Syafi’i menyitir pendapat sang imam bahwa bid’ah itu ada dua, yaitu sesat dan tidak sesat.
 
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ مما يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أثرا أوإِجْمَاعًا فَهذه بِدْعَةُ الضَّلالِ وَمَا أُحْدِثَ من الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهذه مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩) ـ
“Sesuatu yang baru (muhdats) itu ada dua, sesuatu yang baru dikerjakan yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah, atsar, atau ijma’, maka ini adalah bid’ah yang sesat. Sementara sesuatu baru yang baik yang tidak bertentangan dengan sedikitpun dari hal itu maka ini adalah bid’ah yang tidak jelek.” 
 
Syekh Ibnu Taimiyah dalam al-’Aql wa al-Naql mengomentari, periwayatan al-Baihaqi ini sanadnya shahih. Beliau menjelaskan:
 
قَالَ عَنْهُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ فِي العَقْلِ وَالنَّقْلِ 1/ 248 رَوَاهُ البَيْهَقِي بِإِسْنَادِهِ الصَّحِيْحِ فِي المدْخَلِ
“Ibnu Taimiyah menjelaskan dalam al-‘Aql wa al-Naql, 1/248, periwayatan ini (tentang Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua) diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang sahih dalam al-Madkhal.”
 
Salafi: Baik, baik. Saya simpulkan ya. Dengan membagi bid’ah menjadi dua, sesat dan tidak sesat, itu artinya justru Imam Syafi’i sendiri mengakui keberadaan bid’ah hasanah. Sama seperti pemahaman jumhur atau mayoritas ulama setelah beliau. Maka klaim bahwa Imam Syafi’i menolak bid’ah hasanah – apalagi dengan dalih beliau menolak istihsan – adalah sebuah kegagalan pemahaman dari kami.
 
Aswaja: Nah, ahsantum, ya akhi. Barakallah fiikum.
 
Ustadz Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I., Wakil Direktur Aswaja NU Center PWNU Jatim