Dalam berbagai literatur fiqih dijelaskan bahwa bagian tubuh yang terpotong dari hewan yang masih hidup, maka status suci dan najisnya persis seperti bangkai dari hewan tersebut. Dalam arti, ketika bangkai dari hewan tersebut dihukumi suci, maka potongan tubuh tersebut dihukumi suci, misalnya potongan tubuh dari ikan dan belalang. Sebaliknya, jika potongan tubuh berasal dari hewan yang bangkainya dihukumi najis, maka potongan tubuh dari hewan tersebut dihukumi najis, seperti pada hewan selain ikan dan belalang. Ketentuan hukum demikian berdasarkan salah satu hadits:
Ā
Ł
ŁŲ§ ŁŁŲ·ŁŲ¹Ł Ł
ŁŁŁ ŲŁŁŁŁ ŁŁŁŁŁŁ Ł
ŁŁŁŁŲŖŁ
Ā
āSesuatu yang terpisah dari hewan yang hidup, maka statusnya seperti halnya dalam keadaan (menjadi) bangkaiā (HR Hakim).
Ā
Namun ketentuan hukum di atas, dikecualikan ketika bagian tubuh yang terpotong adalah rambut atau bulu dari hewan. Status rambut atau bulu yang terputus dari bagian hewan tidak langsung dihukumi sama seperti bangkai dari hewan tersebut, tapi terdapat perincian: jika bulu yang rontok berasal dari hewan yang halal untuk dimakan maka dihukumi suci. Seperti bulu yang rontok dari ayam, kambing, sapi, dan hewan-hewan lain yang dagingnya halal dikonsumsi. Sedangkan jika bulu yang rontok berasal dari hewan-hewan yang tidak halal dimakan dagingnya maka bulu tersebut dihukumi najis. Seperti bulu yang rontok pada hewan tikus, anjing, keledai, atau hewan-hewan lain yang dagingnya haram dimakan.
Ā
Lalu bagaimana dengan bulu kucing yang rontok? Bukankah kucing merupakan salah satu hewan yang haram untuk dimakan?
Ā
Dalam hal ini, para ulama tetap mengkategorikan bulu yang rontok dari kucingĀ sebagai benda yang najis. Meski demikian, najis tersebut dihukumiĀ maāfuĀ (ditoleransi, dimaafkan) ketika dalam jumlah sedikit. Ditoleransi pula dalam jumlah banyak, khusus bagi orang-orang yang sering berinteraksi dengan kucing dan sulit menghindari rontokan buli kucing, misal bagi dokter hewan dan petugas salon kucing yang kesehariannya selalu berinteraksi dengan kucing. Ketentuan hukum ini seperti yang teringkas dalam kitabĀ Hasyiyah al-Baijuri ala Ibni Qasim al-Ghazi:
Ā
Ā (ŁŁ
Ų§ ŁŲ·Ų¹ Ł
Ł) ŲŁŁŲ§Ł (ŲŁ ŁŁŁ Ł
ŁŲŖ Ų§ŁŲ§ Ų§ŁŲ“Ų¹Ų±) Ų§Ł Ų§ŁŁ
ŁŲ·ŁŲ¹ Ł
Ł ŲŁŁŲ§Ł Ł
Ų£ŁŁŁ ŁŁŁ ŲØŲ¹Ų¶ Ų§ŁŁŲ³Ų® Ų§ŁŲ§ Ų§ŁŲ“Ų¹ŁŲ± Ų§ŁŁ
ŁŲŖŁŲ¹ ŲØŁŲ§ ŁŁ Ų§ŁŁ
ŁŲ§Ų±Ų“ ŁŲ§ŁŁ
ŁŲ§ŲØŲ³ ŁŲŗŁŲ±ŁŲ§
(ŁŁŁŁ Ų§ŁŁ
ŁŲ·ŁŲ¹ Ł
Ł ŲŁŁŲ§Ł Ł
Ų£ŁŁŁ) Ų§Ł ŁŲ§ŁŁ
Ų¹Ų² Ł
Ų§ŁŁ
ŁŁŁ Ų¹ŁŁ ŁŲ·Ų¹Ų© ŁŲŁ
ŲŖŁŲµŲÆ Ų§Ł Ų¹ŁŁ Ų¹Ų¶Ł Ų§ŲØŁŁ Ł
Ł ŲŁŁŲ§Ł Ł
Ų£ŁŁŁ ŁŲ§ŁŲ§ ŁŁŁ ŁŲ¬Ų³ ŲŖŲØŲ¹Ų§ ŁŲ°ŁŁ ŁŲ®Ų±Ų¬ ŲØŲ§ŁŁ
Ų£ŁŁŁ ŲŗŁŲ±Ł ŁŲ§ŁŲŁ
Ų§Ų± ŁŲ§ŁŁŲ±Ų© ŁŲ“عر٠ŁŲ¬Ų³ ŁŁŁ ŁŲ¹ŁŁ Ų¹Ł ŁŁŁŁŁ ŲØŁ ŁŲ¹Ł ŁŲ«ŁŲ±Ł ŁŁ ŲŁ Ł
Ł Ų§ŲØŲŖŁŁ ŲØŁ ŁŲ§ŁŁŲµŲ§ŲµŁŁ
Ā
āSesuatu yang terputus dari hewan yang hidup, maka dihukumi sebagai bangkai, kecuali rambut yang terputus dari hewan yang halal dimakan. Dalam sebagian kitab lainnya tertulis ākecuali rambut yang diolah menjadi permadani, pakaian, dan lainnya.ā
Ā
Rambut yang terputus dari hewan yang halal dimakan ini seperti bulu pada kambing. Kesucian rambut ini selama tidak berada pada potongan daging yang sengaja dipotong, atau berada pada anggota tubuh yang terpotong dari hewan yang halal dimakan. Jika rambut berada dalam dua keadaan tersebut maka dihukumi najis, sebab mengikut pada status anggota tubuh yang terpotong itu. Dikecualikan dengan redaksi āhewan yang halal dimakanā yakni rambut atau bulu hewan yang tidak halal dimakan, seperti keledai dan kucing. Maka bulu dari hewan tersebut dihukumi najis. Namun najis ini dihukumiĀ maāfuĀ ketika dalam jumlah sedikit, bahkan dalam jumlah banyak bagi orang yang sering dibuat kesulitan dengan bulu tersebut, seperti bagi para tukang pemotong buluā (Syekh Ibrahim al-Baijuri,Ā Hasyiyah al-Baijuri ala Ibni Qasim al-Ghazi, juz 2, hal. 290).Ā
Ā
Salah satu hal yang ditimbulkan dari status najis maāfu pada bulu yang rontok dari kucing adalah ketika bulu kucing ini mengenai air yang kurang dari dua kullah, maka air tersebut tidak dihukumi najis dan tetap dapat dibuat untuk bersuci. Hal ini seperti dijelaskan dalam kitabĀ Fath al-Wahab:
Ā
(Ł ŁŲ§ ŲØŁ
ŁŲ§ŁŲ§Ų© ŁŲ¬Ų³ ŁŲ§ ŁŲÆŲ±ŁŁ Ų·Ų±Ł) أ٠بصر ŁŁŁŲŖŁ ŁŁŁŲ·Ų© ŲØŁŁ (Ł) ŁŲ§ ŲØŁ
ŁŲ§ŁŲ§Ų© (ŁŲŁ Ų°ŁŁ) ŁŁŁŁŁ Ł
Ł Ų“Ų¹Ų± ŁŲ¬Ų³
Ā
āAir tidak najis sebab bertemu dengan najis yang tidak dapat dijangkau oleh mata, karena sangat kecilnya najis tersebut, seperti setetes urin. Dan juga dengan bertemu najis yang lain, seperti terkena bulu najis yang sedikitā (Syekh Zakariya al-Anshari,Ā Fath al-Wahab, juz 1, hal. 28)
Ā
Sedangkan hal yang menjadi tolak ukur dalam membatasi sedikit banyaknya jumlah bulu yang rontok dari kucing adalah āurf (penilaian masyarakat secara umum). Jika orang-orang menyebut bulu kucing yang telah rontok dianggap masih sedikit, seperti dua atau tiga bulu, maka dihukumi najis tersebutĀ maāfu. Sedangkan ketika mereka menganggap bulu yang rontok banyak, maka dihukumi najis yang tidak dimaāfu, kecuali bagi orang-orang yang sulit menghindarinya.
Ā
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rontokan bulu kucing merupakan najis yang ditoleransi (maāfu) selama masih dalam jumlah yang sedikit, dan najis yang tidak ditoleransi ketika dalam jumlah banyak, kecuali bagi orang yang sering dibuat kesulitan dengan banyaknya bulu rontok yang bertebaran di sekitarnya.
Ā
Oleh sebab itu, memelihara kucing memang diperbolehkan. Namun sebaiknya kita tidak teledor dalam menjaga kesucian pakaian dan tubuh kita karena banyaknya bulu kucing yang rontok dan mengenai pakaian dan tubuh kita. Hal ini dimaksudkan agar segala ibadah yang kita lakukan benar-benar terhindar dari perkara-perkara najis yang disebabkan oleh keteledoran diri kita sendiri.Ā Wallahu aālam.
Ā
Ā
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Jember
Ā