Syariah

Pembaharuan Pandangan Fiqih pada 1 Abad NU

Sel, 7 Februari 2023 | 16:00 WIB

Pembaharuan Pandangan Fiqih pada 1 Abad NU

Pembaruan Pandangan Fiqih. (Ilustrasi: NU Online)

Tepat pada hari Selasa 16 Rajab 1444 H bertepatan dengan 5 Februari 2023 M, organisasi terbesar di Indonesia bahkan di dunia berusia satu abad. Usia yang sudah sangat matang dan dewasa bagi sebuah ormas untuk memimpin dan memajukan Islam secara khusus.


Satu abad bukanlah waktu yang sebentar, begitu panjang dengan segala rintangan dan ujian yang datang silih berganti, namun dengan keistiqamahan dan keikhlasan pengurus yang ada di dalamnya, NU tetap eksis hingga mencapai usia satu abad.


Konsistensinya dalam memperjuangkan Islam tidak perlu diragukan lagi, bahkan sejak awal berdirinya, NU yang paling berperan dalam mempertahankan makam Rasulullah agar tidak digusur. Begitu juga konsistensi NU pada Indonesia juga tidak perlu diragukan lagi, karena di balik kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari perjuangan para pendiri NU, seperti Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, dan lainnya.


Menuju abad kedua, NU harus memiliki wacana dan ide baru dalam memimpin Islam yang tetap teduh menuju abad berikutnya, sebagaimana simbol 1 abad NU, “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama, Menjemput Abad Kedua, Menuju Kebangkitan Baru” karena pembaharuan dalam Islam sejatinya sudah ada sejak masa awal dan merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindari. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw bersabda:


إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا


Artinya, “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbaharui agama (Islam) untuk umat.” (HR Abu Dawud).


KH Maimun Zubair dalam salah satu kitabnya menjelaskan bahwa yang dimaksud memperbaharui agama dalam hadits tersebut adalah orang-orang yang menjelaskan mana yang sunnah dan mana yang bid’ah, dan orang-orang berilmu semakin mendominasi, sehingga penuduh bid’ah akan terkalahkan.


Misalnya, di masa awal (masa sahabat), mereka mencukupkan Al-Qur’an sebagai referensi tunggal tanpa memerlukan referensi-referensi yang lain, karena para sahabat mendengarkan Al-Qur’an langsung dari lisan Rasulullah kemudian masuk ke dalam hatinya dan melekat dalam jiwanya disebabkan cahaya kenabian yang memancar dari nabi, sehingga hati mereka menjadi terang disebabkan adanya cahaya kenabian.


Setelah masa sahabat selesai, maka hanya menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya referensi tidaklah cukup, karena umat Islam yang ada pada era itu bukan lagi yang ada di era sahabat, tentunya akan membutuhkan sesuatu yang tidak dibutuhkan pada masa sahabat, dan di sinilah awal mula terjadinya kodifikasi hadits-hadits nabi,


لَا يُمْكِنُ أَنْ تَدُوْمَ هَذِهِ الْحَالُ بَعْدَ انْقِرَاضِهِمْ فَتَغَيَّرَتْ الأَحْوَالُ فَيُحْتَاجُ اِلَى مَا لَمْ يُحْتَجْ فِي أَزْمَانِهِمْ وَأَيَامِهِمْ مِنَ التَّجْدِيْدِ الَّذِيْ يُوَافِقُ الْعَصْرَ


Artinya, “Tidak mungkin mempertahankan hal ini (hanya menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya referensi), setelah lepasnya masa sahabat, karena keadaan pasti berubah, maka butuh pada sesuatu yang tidak dibutuhkan ada zaman dan hari para sahabat dari pembaharuan (Islam) yang sesuai dengan keadaan zaman.” (KH Maimun Zubair, al-Ulama al-Mujaddidun [Maktabah al-Anwariyah: tt], halaman 3).


Dari sinilah awal mula kodifikasi hadits-hadits nabi. Para ulama di masa itu tak henti-hentinya pulang-pergi dari satu kota menuju kota yang lain hanya untuk mencari dan membukukan sabda nabi, hingga pada akhirnya Al-Qur’an dan hadits nabi menjadi dua dalil para tabi’in (orang yang hidup di masa sahabat).


Setelah masa tabi’in, peradaban dan problematika baru banyak bermunculan, sehingga Al-Qur’an dan hadits nabi tidak cukup untuk dijadikan dalil, maka dibutuhkan ijtihad ulama, seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan yang lainnya untuk menjawab problematika yang terjadi saat itu. Dan, dari sinilah awal mula adanya empat dalil pokok dalam Islam, yaitu (1) Al-Qur’an; (2) Hadits nabi; (3) Qiyas; dan (4) Ijma’,


وانتشر لديهم بأن الأدلة الشرعية أربعة القران والحديث والقياس والاجماع


Artinya, “Dan menyebar di antara mereka, bahwa dalil-dalil syariat ada empat, yaitu: Al-Qur’an, hadits, qiyas, dan kesepakatan ulama.” (KH Maimun Zubair, 4).


Jika ditanya, “Bisakah Nahdlatul Ulama bisa menjadi pembaharu Islam, yang notabenenya terkumpul banyak ulama di dalamnya?”


Maka jawabannya, sangat mungkin Nahdlatul Ulama menjadi pembaharu Islam di abad kedua ini.


Syekh Majduddin Abu Muhammad al-Jazari (wafat 606 H) dalam kitabnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hadits Allah akan mengutus pembaharu Islam di setiap seratus tahun tidak mesti berupa satu ulama, seerti Imam Syafi’i, Ibnu Suraij, Imam Asy’ari, dan lainnya, kelompok yang di dalamnya terdiri dari para ulama juga bisa masuk dalam hadits tersebut. Dalam kitabnya disebutkan:


وَلَا يَلْزَمُ مِنْهُ أَنْ يَكُوْنَ الْمَبْعُوْثُ عَلَى رَأْسِ الْمِائَةِ رَجُلًا وَاحِدًا، وَإِنَّمَا قَدْ يَكُوْنُ وَاحِدًا، وَقَدْ يَكُوْنُ أَكْثَرَ مِنْهُ فَإِنَّ لَفْظَهُ «مَنْ» تَقَعُ عَلَى الْوَاحِدِ وَالْجَمْعِ


Artinya, “Orang yang diutus (oleh Allah) dalam setiap akhir seratus tahun tidak harus berupa satu laki-laki, namun bisa satu orang, bisa juga lebih banyak darinya, karena (dalam hadits tersebut) menggunakan lafal “man” yang bisa diartikan personal maupun komunal.” (Syekh Majduddin, Jami’ul Ushul fi Ahaditsir Rasul, [Maktabah Darul Bayan: 1389 H], juz XI, halaman 320).


Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pembaharuan Islam adalah mesti adanya, dan akan terus terjadi. Pembaharuan ini tidak mesti disebabkan oleh satu ulama, namun bisa juga disebabkan oleh kelompok organisasi, termasuk Nahdlatul Ulama.


Semoga Nahdlatul Ulama di awal abad kedua ini terus menjadi organisasi yang meneduhkan dan mencerahkan hingga hari kiamat. Memberikan manfaat dan kenyamanan. Bisa menjadi pemimpin peradaban Islam. Wallahu a’lam.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.