Syariah

Kekerasan Seksual dalam Fiqih (4): Pemerkosaan

Sabtu, 9 Maret 2019 | 05:00 WIB

Kekerasan Seksual dalam Fiqih (4): Pemerkosaan

Ilustrasi (via alarabiya.net)

Allah SWT  mengharamkan perbuatan zina. Di dalam QS. Al-Nûr: 2, Allah SWT berfirman:
 
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ  وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu (menjalankan) agama Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”. (QS. An-Nur: 2)

Di dalam ayat di atas, Allah SWT sekaligus menyinggung soal had (hukuman) bagi pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan. Ibnu Katsir di dalam Kitab Tafsirnya menyampaikan penjelasan dari ayat tersebut sebagai berikut: 

يعني هذه الآية الكريمة فيها حكم الزاني في الحد وللعلماء فيه تفصيل، فإن الزاني لا يخلو إما أن يكون بكراً وهو الذي لم يتزوج، أو محصنًا وهو الذي وطئ في نكاح صحيح وهو حر بالغ عاقل، فأما إذا كان بكراً لم يتزوج فإن حده مائة جلدة كما في الآية، ويزاد على ذلك إما أن يغرب عاماً عن بلده عند جمهور العلماء، خلافاً لأبي حنيفة رحمه اللّه فإن عنده أن التغريب إلى رأي الإمام إن شاء غرّب وإن شاء لم يغرب

Artinya: “Ayat yang mulia ini menghendaki penjelasan tentang had pezina, dan para ulama dalam hal ini memiliki perincian. Yang dinamakan pezina, tidak mengenyampingkan kondisi yang kadangkala pelakunya adalah perempuan yang masih perawan dan belum menikah, dan adakalanya merupakan orang yang terjaga kehormatannya, yaitu orang yang melakukan pernikahan secara shahih sementara ia adalah seorang yang merdeka, baligh dan berakal. Jika pelaku adalah perempuan yang masih perawan dan belum menikah, maka had baginya adalah 100 kali cambukan sebagaimana bunyi ayat. Had ini ditambah adakalanya dengan cara mengasingkannya selama satu tahun dari negaranya, sebagaimana hal ini adalah kesepakatan jumhur ulama kecuali Imam Abu Hanîfah rahimahu allah. Menurut Abu Hanifah, pandangan perlu diasingkan atau tidak adalah mengikut pada pandangan Imam. Jika imam memutus perlu pengasingan maka diasingkan, namun jika diputus tidak perlu, maka tidak diasingkan.” (Ismâ’îl ibn Umar Ibn Katsîr, Tafsir Al-Qurân al-‘Adhîm, Beirut: Dâr Thayibah, 2002: Juz 6, halaman 10)

Bagaimana bila kedua bunyi teks ayat dan tafsirnya di atas kita bawa ke ranah kekerasan seksual misalnya pemerkosaan? Penting sebelumnya untuk diketahui bahwa dalam ranah kekerasan seksual, yang wajib terkena had zina adalah pelaku kekerasan (mukrih) dan bukan korban (mukrah/mustakrah) sebagaimana hal ini diketahui berdasarkan hadits: ليس على المستكرهة حد (tidak had bagi perempuan yang dipaksa/diperkosa). 

Jika mengikut bunyi  teks di atas, maka pihak yang berlaku sebagai mukrih/mustakrih/pemerkosa, dapat dihukum menurut dua jalur perzinaan, tergantung pada kondisi mukrih itu sendiri. Kondisi yang dipertimbangkan, adalah:

1. Pertimbangan status perkawinan. Apakah pelaku merupakan seorang yang sudah menikah atau belum

2. Usia pelaku pemerkosaan. Terkait dengan usia pelaku, dalam syariat dikenal dengan hukum taklifi yaitu hukum yang hanya berlaku untuk orang yang sudah mukallaf. Maksud dari mukallaf adalah mereka yang telah berusia baligh, berakal, dan merdeka sehingga wajib mengikuti ketentuan nash syariat. 

3. Pertimbangan faktor agama. Dalam hal ini, kadang pelaku dan korban adalah pihak yang memiliki status agama berbeda. Menikahkan pelaku dan korban yang memiliki status agama yang berbeda merupakan kebijakan yang tidak dibenarkan oleh syariat. 

Dilihat dari segi status perkawinan, maka ada dua kategori pelaku, yaitu:


1. mereka dikelompokkan sebagai pezina ghairu muhshan, yakni pelaku belum nikah sama sekali

2. mereka dikelompokkan sebagai pezina muhshan, yakni pelaku merupakan orang yang sudah menikah 

Pelaku sendiri juga bisa dikelompokkan menurut hubungan familinya, yaitu: 

1. adakalanya masih ada hubungan famili dengan korban (misalnya: kakak, paman, bapak), dan 
2. adakalanya merupakan orang lain yang tidak ada hubungan famili dengan korban. 

Terkadang dalam tradisi masyarakat sering dilakukan upaya jalan pintas yaitu menikahkan kedua pelaku dan korban apabila tidak ada hubungan famili. Solusi ini kadang berjalan efektif, namun di sisi yang lain juga bisa membawa mudarat bagi korban karena 1) dapat berakibat pada semakin leluasanya pelaku memperalat korban, 2) apalagi bila antara pelaku dan korban adalah pihak yang berbeda agama/keyakinan, ditambah lagi 3) apabila sebelumnya ada permusuhan antara kedua pelaku dan korban.

Untuk pelaku yang masih ada hubungan famili, tidak mungkin diambil cara kekeluargaan melalui jalan menikahkan keduanya karena pernikahan tersebut bertentangan dengan nash agama. Sementara di sisi yang lain, pihak korban harus menerima keadilan. 

Had untuk pezina ghairu muhshan berdasarkan nash, dapat dikenai hukuman berupa:

1. Dicambuk sebanyak 100 kali
2. Diasingkan (taghrib) selama satu tahun

Adapun untuk had pelaku zina muhshan, yang mana pelaku merupakan pihak yang sudah pernah menikah, sementara korban ada kemungkinan sudah menikah dan ada kalanya juga belum, maka dalam teks nash syariat ditetapkan had bagi pelaku adalah rajam (hukuman mati). Apabila memaksa bahwa penjenjangan hukum harus diberlakukan terhadap kasus pemerkosaan zina muhshan, maka ada beberapa pertimbangan lain untuk hukum bagi pelaku zina muhshan ini yang harus diperhatikan, yaitu: 

1. Tebusan akibat penghilangan keperawanan (arsy al-bikarah), yang akan disampaikan dalam tulisan mendatang

2. Had hukuman yang sebanding dengan hukuman mati (misalnya: penjara seumur hidup)

Kembali ke soal zina ghairu muhshan, khusus untuk taghrib (pengasingan), ada dua pandangan hukum dalam syariat. Pertama, menurut jumhur ulama adalah muthlaq perlu pengasingan. Kedua, menurut Imam Abu Hanifah, diserahkan keputusannya kepada hakim, apakah hakim perlu melakukan pengasingan atau tidak. Jika hakim memandang perlu dilakukan pengasingan, maka pihak pemerkosa diasingkan keluar dari wilayah tempatnya berada. Namun, apabila imam memutuskan tidak perlu diasingkan, maka tidak dilakukan pengasingan. Sudah pasti dalam hal ini yang dijadikan bahan pertimbangan adalah sisi keadilan. Di satu sisi pihak korban mengalami kerugian psikis dan fisik berupa hilangnya kehormatan yang bisa jadi akan terus membekas terhadap dirinya. Sementara itu, pihak pelaku juga memiliki pertimbangan yang sama, bahwa ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum. 

Yang harus menjadi catatan adalah bahwa setiap individu pelaku memiliki hak yang melekat pada dirinya, yaitu: (1) hak untuk bertaubat (2) hak untuk diterima kembali di masyarakat manakala ia sudah selesai menjalani masa hukuman (sanksi). Khusus untuk hak yang terakhir ini akan disampaikan dalam tulisan terkait dengan masalah publikasi pelaku pemerkosaan oleh pemerintah. Wallahu a’lam bish shawâb.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Ketua Tim Perumus Bahtsul Masail Qanuniyah Munas NU 2019 dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim