Syariah

Kekerasan Seksual dalam Fiqih (1): Apa itu Kekerasan?

NU Online  Ā·  Rabu, 6 Maret 2019 | 14:00 WIB

Kekerasan Seksual dalam Fiqih (1): Apa itu Kekerasan?

Ilustrasi (via Pinterest)

Kekerasan yang disertai fisik dalam kamus bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai violence. Kekerasan yang berbasis sosial sering memakai istilah social harrashment. Kadang kekerasan sering juga diawali dengan sebuah tindakan pelecehan. Pelecehan ini sering disematkan dalam istilah abusement. Itulah sebabnya, maka kekerasan yang berbasis seksual, sering diperkenalkan dalam literatur Inggis sebagai sexual abusement. Namun, tidak jarang pula bahwa yang dinamakan kekerasan adalah senantiasa diawali oleh tindakan pemaksaan (ikrah).

Yang menjadi pokok persoalan adalah ketika tindakan ini dihadapkan pada sejumlah teks nash syariat. Misalnya, keberadaan wali mujbir, yaitu wali yang bisa memaksa seorang anak perempuan untuk menikah dengan calon yang sudah ditentukan oleh kedua orang tuanya. Apakah tindakan wali mujbir ini masuk kategori kekerasan? Belum lagi tindakan suami yang memaksa istri untuk melakukan persetubuhan di kala istri sedang payah. Apakah tindakan suami juga bisa masuk dalam kategori kekerasan? Bagaimanapun juga, konsep wali mujbir adalah diakui dalam teks fiqih empat mazhab. Demikian pula dengan hak suami terhadap istrinya, keduanya juga diakui dalam teks nash syariat.Ā 

Jadi, yang diperlukan di sini sekarang adalah mencari definisi dari kekerasan itu sendiri sehingga tidak bertentangan dengan agama dan sekaligus bisa diterima secara universal dan diberlakukan sebagai bentuk legislasi bagi Indonesia. Apalagi, Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila khususnya Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan UUD Republik Indonesia 1945, Pasal 29 ayat 1 dan 2 bahwa negara menjamin pelaksanaan ajaran agama bagi masyarakat pemeluknya, mau tidak mau harus terikat pada perlindungan hak beragama dan pengamalan ajaran agama bagi warganya.Ā 

Untuk mengetahui definisi kekerasan dalam syariat, mari kita tinjau beberapa nash berikut! Pertama, Rasulullah SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh AbĆ» Tsa’labah:

عن أبي ثعلبة Ų§Ł„Ų®Ų“Ł†ŁŠ Ų¬Ų±Ų«ŁˆŁ… بن ناؓر رضي الله Ų¹Ł†Ł‡ŲŒ عن Ų§Ł„Ł†ŲØŁŠĀ  ļ·ŗŁ… قال: (؄ن الله فرض فرائض فلا ŲŖŲ¶ŁŠŲ¹ŁˆŁ‡Ų§ŲŒ وحد Ų­ŲÆŁˆŲÆŲ§Ł‹ فلا ŲŖŲ¹ŲŖŲÆŁˆŁ‡Ų§ŲŒ ŁˆŲ­Ų±Ł… أؓياؔ فلا ŲŖŁ†ŲŖŁ‡ŁƒŁˆŁ‡Ų§ŲŒ وسكت عن أؓياؔ Ų±Ų­Ł…Ų© Ł„ŁƒŁ… غير Ł†Ų³ŁŠŲ§Ł† فلا تبحثوا عنها) حديث حسن Ų±ŁˆŲ§Ł‡ Ų§Ł„ŲÆŲ§Ų±Ł‚Ų·Ł†ŁŠ ŁˆŲŗŁŠŲ±Ł‡Ā 

Artinya: ā€œSesungguhnya Allah telah menetapkan faraidl (kewajiban-kewajiban), maka jangan sia-siakan! Allah juga telah menetapkan batasan-batasan, maka jangan melampauinya! Allah telah haramkan suatu perkara, maka jangan melanggarnya! Dan Allah telah mendiamkan perkara lainnya sebagai rahmat bagi kalian dan bukan karena lupa, maka jangan mengorek-ngoreknya!ā€ (HR Al-DĆ¢raquthny dan lainnya)Ā 

Secara umum, berdasar hadits di atas, Nabi SAW mengecam tindakan yang melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariat. Bunyi pesan ini sesuai dengan firman Allah SWT yang menyatakan bahwa :Ā 

قل ؄نما حرم ربي Ų§Ł„ŁŁˆŲ§Ų­Ų“ Ł…Ų§ ظهر منها ŁˆŁ…Ų§ بطن ŁˆŲ§Ł„ŲØŲŗŁŠ بغير الحق ŁˆŲ£Ł† تؓركوا بالله Ł…Ų§ لم ŁŠŁ†Ų²Ł„ به سلطانا ŁˆŲ£Ł† ŲŖŁ‚ŁˆŁ„ŁˆŲ§ على الله مالا ŲŖŲ¹Ł„Ł…ŁˆŁ†

Artinya: ā€œKatakan (Muhammad), sesungguhnya Tuhanku mengharamkan perbuatan fĆ¢hisyah baik lahir maupun batin, serta tindakan yang berada diluar batas tanpa hak, menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan hujjah atasnya, serta berbicara sesuatu yang tidak kamu ketahui dengan mengatasnamakan Allah.ā€ (QS. Al-A’raf: 33)

Inti dari kedua teks nash di atas adalah bahwa umat Islam dilarang melakukan perkara yang melampaui batas kewenangan yang diperbolehkan oleh syara’. Dengan demikian berlaku qaidah bahwa:Ā 

الأصل في المعاملة ال؄باحة ؄لا Ł…Ų§ ŲÆŁ„ Ų§Ł„ŲÆŁ„ŁŠŁ„ على ŲŖŲ­Ų±ŁŠŁ…Ł‡Ų§

Artinya: ā€œDalil asal muamalah adalah menunjukkan makna kebolehan kecuali disertai adanya dalil yang menunjukkan makna keharamannyaā€

Di dalam hadits yang lain, Rasûlullah SAW menjelaskan bahwa setiap individu muslim memiliki hak dan tanggung jawab yang harus dijaga. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits: 

ŁˆŲ¹Ł† ابن عمر رضي الله عنهما قال سمعت Ų±Ų³ŁˆŁ„ الله  ļ·ŗŁ… ŁŠŁ‚ŁˆŁ„ ŁƒŁ„ŁƒŁ… Ų±Ų§Ų¹ ŁˆŁƒŁ„ŁƒŁ… Ł…Ų³Ų¦ŁˆŁ„ عن Ų±Ų¹ŁŠŲŖŁ‡ ŁˆŲ§Ł„Ų£Ł…Ų§Ł… Ų±Ų§Ų¹ ŁˆŁ…Ų³Ų¦ŁˆŁ„ عن Ų±Ų¹ŁŠŲŖŁ‡ ŁˆŲ§Ł„Ų±Ų¬Ł„ Ų±Ų§Ų¹ في أهله ŁˆŁ…Ų³Ų¦ŁˆŁ„ عن Ų±Ų¹ŁŠŲŖŁ‡ ŁˆŲ§Ł„Ł…Ų±Ų£Ų© راعية في بيت Ų²ŁˆŲ¬Ł‡Ų§ ŁˆŁ…Ų³Ų¦ŁˆŁ„Ų© عن Ų±Ų¹ŁŠŲŖŁ‡Ų§ ŁˆŲ§Ł„Ų®Ų§ŲÆŁ… Ų±Ų§Ų¹ في Ł…Ų§Ł„ Ų³ŁŠŲÆŁ‡ ŁˆŁ…Ų³Ų¦ŁˆŁ„ عن Ų±Ų¹ŁŠŲŖŁ‡ ŁŁƒŁ„ŁƒŁ… Ų±Ų§Ų¹ ŁˆŁ…Ų³Ų¦ŁˆŁ„ عن Ų±Ų¹ŁŠŲŖŁ‡. متفق Ų¹Ł„ŁŠŁ‡

Artinya: ā€œDari Ibn ā€˜Umar ra. Dia berkata: saya mendengar RasĆ»lullĆ¢h saw. Bersabda: setiap diri kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggunganjawaban tentang kepemimpinannya, seoarang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya, seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya, seorang perempuan adalah penjaga dalam rumah tangga suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas penjagaannya, dan seorang pembantu adalah penjaga terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepenjagaannya itu. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu.ā€ (HR. Bukhari-Muslim)

Dalam hadits di atas, dijelaskan mengenai pembagian tugas individu yang diakui oleh syariat. Tugas ini merupakan amanah yang harus dilaksanakan. Seorang yang menjalankan amanah, berhak atas sarana mewujudkan amanah tersebut. Misalnya, amanah dalam melakukan pendidikan. Dalam hal ini sebagaimana tertuang dalam hadits Rasulullah SAW, bahwa:

ŁˆŲ¹Ł† Ų¹Ł…Ų±Łˆ بن ؓعيب عن Ų£ŲØŁŠŁ‡ عن جده رضي الله عنه قال قال Ų±Ų³ŁˆŁ„ الله  ļ·ŗŁ… Ł…Ų±ŁˆŲ§ Ų£ŁˆŁ„Ų§ŲÆŁƒŁ… بالصلاة ŁˆŁ‡Ł… أبناؔ Ų³ŲØŲ¹ Ų³Ł†ŁŠŁ† ŁˆŲ§Ų¶Ų±ŲØŁˆŁ‡Ł… Ų¹Ł„ŁŠŁ‡Ų§ ŁˆŁ‡Ł… أبناؔ Ų¹Ų“Ų± ŁˆŁŲ±Ł‚ŁˆŲ§ ŲØŁŠŁ†Ł‡Ł… في المضاجع حديث حسن Ų±ŁˆŲ§Ł‡ أبو داود ب؄سناد حسن

Artinya: Dari ā€˜Amr ibn syua’ib dari bapaknya dari kakekknya, beliau bersabda: Bersabda RasĆ»lullĆ¢h saw. Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalĆ¢t ketika sudah berumur tujuh tahun dan pukullah mereka apabila meninggalkan shalĆ¢t ketika sudah berumur sepuluh tahun. Dan pisahkanlah tempat tidur mereka (yang laki-laki dan perempuan). (HR. AbĆ» DĆ¢wud dengan sanad yang baik)

Pemukulan terukur yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak untuk perkara yang baik dan dalam rangka mendidik (ta’dib) tidak masuk kategori melampaui batas, karena ada syariat yang menggariskannya. Untuk itu tindakan pemukulan ini tidak masuk kategori kekerasan.

Dalam lingkup rumah tangga, ketika ditemui adanya tindakan nusyuz (durhaka) dari istri, ternyata juga ada sebuah nash yang membenarkan tindakan pemukulan yang dilakukan oleh suami kepada suaminya dalam rangka mendidik. Sebagaimana hal ini disampaikan dalam sabda Rasulullah SAW:

عن Ų¹Ł…Ų±Łˆ ابن Ų§Ł„Ų§Ų­ŁˆŲµ انه سمع Ų±Ų³ŁˆŁ„ الله  ļ·ŗŁ… ŁŠŁ‚ŁˆŁ„ : ... الى ان قال : ف؄ن فعلن ŁŲ§Ł‡Ų¬Ų±ŁˆŁ‡Ł† في المضاجع ŁˆŲ§Ų¶Ų±ŲØŁˆŁ‡Ł† Ų¶Ų±ŲØŲ§ غير Ł…ŲØŲ±Ų­ ف؄ن Ų§Ų·Ų¹Ł†ŁƒŁ… فلا ŲŖŲ¬Ų¹Ł„ŁˆŲ§ Ų¹Ł„ŁŠŁ‡Ł† Ų³ŲØŁŠŁ„Ų§ ..... Ų±ŁˆŲ§Ł‡ Ų§Ł„ŲŖŲ±Ł…Ų°ŁŠ ŁˆŁ‚Ų§Ł„ حديث حسن صحيح 

Dari ā€˜Amr ibn al- Ahwash, ia mendengar RasĆ»lullĆ¢h saw., bersabda…: Apabila ia (istri) tersebut nusyĆ»z maka tinggalkanlah di tempat tidur dan pukullah dengan pukulan yang tidak melukai, apabila ia sudah taat kepada kalian, maka janganlah kalian mencari jalan untuk aniaya kepadanya. (HR.al-TurmudzĆ®)

Menurut hadits di atas, bentuk ta’dib (pendidikan) suami terhadap istri tidak serta merta dilakukan melalui pemukulan. Ada jenjang-jenjang yang harus dilakukan, antara lain pisah ranjang selama selang beberapa waktu, dan apabila masih ada tindakan pembangkangan maka diperbolehkan untuk memukul namun dengan pemukulan yang tidak melukai.Ā 

Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa, sebenarnya syariat Islam mengajarkan beberapa hal terkait dengan tugas pokok dan fungsi individu mukallaf, sebagai berikut:Ā 

1. Syariat mengajarkan bahwa dalam perjalanan hidup, antara individu satu dengan individu yang lain saling membutuhkan. Untuk itu setiap individu mukallaf dibebani oleh sebuah amanah dan tanggung jawab

2. Adanya amanah dan tanggung jawab itu mendorong pada adanya batasan-batasan yang diperbolehkan untuk melakukan tindakan demi keterlaksanaan amanah

3. Selama tindakan yang diambil dalam rangka menjalankan amanah tidak keluar dari batas-batas yang diperbolehkan oleh syariat, maka tindakan tersebut masih dalam batas kewajaran.Ā 

4. Syariat mencela tindakan yang berada di luar batas kewajaran (melampaui batas kewenangan syariat)

Berdasarkan beberapa batasan di atas, jika kita tarik dalam upaya mendefinisikan kekerasan, maka yang dimaksud dengan ā€œkekerasanā€ dalam Islam adalah suatu unsur tindakan yang bersifat melukai baik secara fisik, psikis maupun mental, yang dilakukan oleh pihak/pelaku (dhĆ¢lim) yang tidak memiliki hak dan kewajiban serta tanggung jawab terhadap korban (al-madhlĆ»m) sehingga berujung pada perbuatanĀ dhĆ¢lim/aniaya dan melanggar batas ketentuan syariat.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Ketua Tim Perumus BM Qanuniyah Munas NU 2019 dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim