Syariah

Imam Malik dan Amal Ahli Madinah sebagai Sumber Hukum Islam

Ahad, 21 Juni 2020 | 08:30 WIB

Imam Malik dan Amal Ahli Madinah sebagai Sumber Hukum Islam

Dalam kitab Kifayah Al-Akhyar dikatakan bahwa Imam Malik lebih terbuka terhadap tradisi masyarakat daripada Imam Syafi’i. (Ilustrasi: hamzetwasl.net)

Hukum Islam berasal dari dua sumber pokok, yaitu Al-Qur’an dan hadits. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadits Nabi yang masyhur dan diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dengan redaksi yang berbeda. Hadits tersebut berbunyi: “Aku tinggalkan kepada kalian dua hal, yang mana kalian tidak akan tersesat selama berpegang kepada keduanya.


Ragam Sumber Hukum

Dalam metode pengambilan keputusan hukum Islam, ada sumber-sumber hukum (mashadir al-ahkam) yang dijadikan rujukan oleh para ulama. Di antara sumber-sumber hukum tersebut ada yang digunakan oleh semua ulama ada pula yang tidak. Sumber-sumber hukum yang digunakan oleh semua ulama tersebut disebut mashadir al-ahkam ijtama‘a alaihil ulama. Sedangkan sumber-sumber hukum yang digunakan oleh sebagaian ulama (tidak semua) disebut dengan mashadir al-ahkam ikhtalafa ‘anha al-ulama.


Di antara sumber hukum (mashadir al-ahkam) yang disepakati itu sebagaimana dijelaskan Mutawalli Al-Barajili dalam kitab Dirasat fi Ushul Al-Fiqhi dan juga dijelaskan oleh Abdul Hamid Hakim dalam kitab As-Sullam adalah: (1) Al-Qur’an; (2) hadits; (3) ijma’; dan (4) qiyas. Dalil dari penggunaan sumber-sumber hukum ini adalah ayat Al-Qur’an Surah An-Nisa’ ayat 59 yakni:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩) ـ


Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”


Sedangkan sumber-sumber hukum yang digunakan oleh sebagian ulama dan tidak digunakan oleh sebagian yang lain sebagaimana dijelaskan oleh Ahmad Al-Hajj Al-Kurdi dalam kitabnya berjudul Buhuts fi Ilmi Ushul Al-Fiqh dan juga dijelaskan oleh Ahmad Madani Busaq dalam kitabnya Majmu’ Amal Ahli Madinah (juz I) ada beberapa macam, yakni: (1) istishab (mengambil hukum asal); (2) istihsan (meninggalkan kesulitan); (3) maslahah mursalah (kemaslahatan umum); (4) urf (tradisi); (5) mazhab sahabi (pendapat sahabat); (6) syadz ad-dzariah (prinsip mencegah keburukan); (7) syar’u man qablana (syariat-syariat nabi sebelum Nabi Muhammad); dan (8) amal ahli madinah (amal penduduk madinah), dan lain sebagainya.


Kedelapan sumber hukum tersebut dan juga beberapa hal lain yang tidak disebutkan dikatakan sebagai sumber hukum yang terdapat perbedaan di antara para ulama dalam keberlakuannya. Dalam peristilahan ushul fiqh yang baku di sebut mashadir al-ahkam al-mukhtalaf alaihi al-ulama. Dikatakan terdapat perbedaan dalam keberlakuannya karena tidak semua para ulama sepakat bahwa sumber-sumber hukum di atas dapat digunakan dalam menentukan hukum. Seperti kita ketahui bahwa Imam Syafi’i menggunakan istishab dan meninggalkan istihsan. Imam Malik menggunakan amal ahli madinah namun menolak beberapa yang lain. 


Amal Ahli Madinah

Dari kedelapan poin mashadir al-ahkam (sumber-sumber hukum) yang disebutkan itu, terdapat beberapa sumber hukum Islam yang begitu terlihat unsur adaptifnya terhadap tradisi atau kebudayaan. Di antaranya ialah: (1) ‘urf; (2) syar’u man qablana; dan (3) amal ahli madinah. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai Amal Ahli Madinah dalam persepsi Malikiyyah (pengikut Imam Malik).


Sebelumnya, harus kita sadari bahwa Imam Malik lebih terbuka untuk mengakomodasi tradisi ke dalam syariat dibandingkan dengan Imam Syafi’i. Keterbukaan Imam Malik akan tradisi ini terlihat misalkan dalam perbedaan pendapat beliau dengan Imam Syafi’i dalam hal ada dan tidak sighat akad jual beli. Di dalam kitab Kifayah Al-Akhyar karya Al-Hishny dipaparkan demikian:


ولو لم يوجد إيجاب والقبول باللفظ، ولكن وقعت معاطة كعادات الناس بأن يعطى المشترى البائع الثمن، فيعطيه مال مقابلة البضائع التى يذكره المشترى فهل يكفى ذلك؟ المذهب فى أصل الروضة أنه لا يكفى لعدم وجود الصيغة، وخرج ابن سريج قولا أن ذلك يكفى فى المحقرات، وبه .... وقال مالك رحمه الله تعالى ووسع عليه: ينعقد البيع بكل ما يعده الناس بيعا، واستحسنه الإمام البارع ابن صباغ. (كفاية الأخيار


Artinya: “Jika tidak terdapat ijab-qabul dengan lafadz akan tetapi jual beli dijalankan dengan mengikuti kebiasaan masyarakat, yakni pembeli memberikan uang seharga barang yang akan dibeli kepada penjual, maka pembeli memberikan uang seharga telah ditentukan sebagai pengganti barang dagangan sebagaimana disebutkan pembeli, apakah ini cukup? Mazhab ini (mazhab Syafi’i) sebagaimana dijelaskan dalam landasan kitab ar-Raudlah adalah tidak cukup demikian. Karena tidak adanya sighat di dalamnya. Namun Ibnu Suraij mengeluarkan suatu pendapat bahwa hal itu mencukupi dalam konteks keadaan terpaksa.... Imam Malik rahimahullah berpendapat bahwa masalah ini cakupannya cukup luas mencakup setiap (cara) jual beli sejauh dalam kebudayaan masyarakat adalah dianggap sebagai jual beli. Ibnu Shabbagh beristihsan dalam hal ini” (Kifayah Al-Akhyar, (2): 239-240).


Dari kutipan kitab Kifayah Al-Akhyar di atas kita dapat mengetahui bahwa Imam Malik lebih terbuka terhadap tradisi masyarakat daripada Imam Syafi’i (yang dalam hal ini diwakili dengan pendapat dalam kitab Raudlah karya Imam Ramli). Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa Amal Ahli Madinah yang dijadikan Imam Malik sebagai landasan hukum, membuktikan bahwa guru dari Imam Syafi’i tersebut terbuka kepada tradisi masyarakat. Ia juga menjelaskan bahwa keempat Imam Mazhab juga terbuka kepada tradisi dengan konteksnya masing-masing. Dalam kitab Ilmu Ushul Fiqh karya Abdul Wahab Khalaf mengatakan demikian:


ولهذا قال العلماء: العادة شريعة محكمة. والعرف فى الشرع له إعتبار، والإمام مالك بنى كثيرا من أحكامه على عمل أهل المدينة. وأبو حنيفة وأصحابه اختلفوا فى أحكام بناء على اختلاف أعرافهم، والشافعى لما هبط إلى مصر غير بعض الأحكام التى كان قد ذهب إليها وهو فى بغداد، لتغيير العرف، ولهذا له مذهبان قديم وجديد. (علم أصول الفقه: ٩٠)


Artinya: “Oleh karena itu, para ulama mengatakan: tradisi dapat diputuskan menjadi hukum syariat. Dan ‘urf dalam syariat memiliki teladan: Imam Malik membangun banyak hukum-hukumnya atas landasan amal (tradisi) masyarakat Madinah. Abu Hanifah dan para pengikutnya berbeda pendapat dalam banyak hal berdasarkan atas perbedaan kebudayan mereka. Imam Syafi’i ketika telah tinggal di Mesir merubah sebagian hukum nya yang dijalankan di Baghdad, karena perubahan tradisi, karenanya Ia (Imam Syafi’i) memiliki dua mazhab: lama dan baru. (Ilmu Ushul Fiqh: 90)

Kita melihat dari pemaparan di atas bahwa Amal Ahli Madinah adalah salah satu bukti bahwa Imam Malik mengakomodasi tradisi sebagai landasan hukum syariat. Membahas amal ahli madinah dan hubungannya dengan Imam Malik ini menjadi menarik karena beberapa hal. Di antaranya adalah karena Imam Malik dalam metode penggalian hukumnya mendahulukan Amal Ahli Madinah daripada Hadits Ahad. Ini menarik karena menimbulkan kontroversi pada masa-masa berikutnya. Sebuah kontroversi yang membuat para pengikutnya berjuang keras untuk mempertahankan manhaj gurunya itu dengan berbagai cara yang meskipun semangatnya adalah apologetik (membela), namun dengan cara-cara yang adil dan ilmiah serta terbuka.


Ahmad Al-Madani Busaq mengatakan bahwa amal ahli madinah adalah termasuk dari sumber hukum yang mukhtalaf ‘anhu dan menjadi pegangan Imam Malik dan pengikutnya. Amal ahli madinah adalah salah satu fondasi yang dipegangi Imam Malik dalam menetapkan suatu hukum. Abi Ishaq At-Talmasani dalam kitabnya yang berjudul Al-Luma’ fi Fiqhi Al-Maliki mengatakan bahwa yang dimaksud dengan amal ahli madinah adalah ijma ulama madinah pada kurun ketiga di mana generasi ini disebut dengan generasi terbaik. 


Ahmad Al-Madani Busaq dalam ‘Majmu’ Amal Ahli Madinah’ mengatakan bahwa mempelajari masalah-masalah yang dibangun Imam Malik berdasarkan amal ahli madinah merupakan muqaddimah yang penting dalam mempelajari fiqih Maliki.

Jumhur ulama mengatakan bahwa amal ahli madinah bukanlah sesuatu yang dapat digunakan sebagai hujjah untuk membantah sesuatu yang berlainan dengannya. Sedangkan Imam Malik memandangnya sebagai hujjah yang dapat digunakan untuk membantah yang berbeda dengannya (amal ahli madinah). Hingga Ia mengatakan:


إذا إجتمع أهل المدينة على شيئ لم يعتد بخلاف غيرهم


Artinya: “Jika ahli madinah telah brsepakat akan sesuatu, maka orang lain di luarnya yang bertentangan dengannya dinafikan.”

Mengenai hal ini para pengikutnya berkomentar sebagaimana dijelaskan oleh Abi Ishaq At-Talmasani bahwasanya: (1) sebagian mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah riwayat ahli madinah terhadap riwayat yang lain; (2) sebagian yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah para sahabat nabi yang ada di madinah lebih diunggulkan dari yang lain. Selanjutnya At-Talmasani mengutip pendapat Ibnu Taimiyah yang mengatakan ketika ditanya tentang amal ahli madinah dan kedudukan Imam Malik dan mazhabnya:


“Al-Hamdulillah, mazhab ahli madinah an-nabawiyyah—Dar as-Sunnah, Dar al-Hijrah dan Dar Al-Nushrah, karena di dalamnya ada napak tilas Rasulullah Muhammad SAW, yakni sunnah-sunnah Islam dan syariat-syariatnya dan ke sanalah orang-orang Muhajirin berhijrah kepada rasulullah dan di dalamnya orang orang anshar berdiam di sedang mereka beriman sebelumnya—mazhab mereka di zaman shahabat dan tabi’iin dan pengikut mereka adalah mazhab yang paling sahih di antara kota-kota Islam yang lain baik di timur maupun di barat. Baik dalam masalah pokok agama (aqidah) maupun masalah cabang (fiqih). Dan generasi yang ketiga ini adalah generasi yang unggul yang disabdakan nabi Muhammad SAW di dalam hadits shahih dalam banyak redaksi: “Sebaik-baik generasi adalah generasi yang mengalami masa teeutusku kepada mereka. Kemudian mereka yang hidup sesudahnya, kemudian mereka yang hidup sesudahnya.”


Imam Malik terkenal sebagai orang yang sangat erat dalam memegang atsar (shahabat) dan ia adalah orang yang pertama kali melakukan studi serius terhadapnya. Imam Malik mendahulukan amal ahli madinah daripada hadits ahad. 


Dengan melakukan studi fiqih atas masalah masalah (ketentuan hukum) yang dibangun Imam Malik atas amal ahli madinah, menjadi jelas bagi kita tentang macam-macam amal ahli madinah yang didahulukan Imam Malik atas hadits ahad. Bahwasanya tidak pernah ditemukan dari ijma’ ahli madinah yang brtentangan dngan hadits. 



R. Ahmad Nur Kholis, Pegiat Kajian Ulum Al-Qur’an; Pengajar Ushul Fiqh di Pondok Pesantren PPAI Al-Fithriyah Kepanjen Malang;