Syariah

Hukum Puasa, Tapi Tinggalkan Shalat

NU Online  Ā·  Sabtu, 18 Juni 2016 | 07:01 WIB

Shalat merupakan ibadah pokok dalam Islam dan wajib dikerjakan bagi orang yang sudah memenuhi persyaratan. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa shalat ialah amalan pertama yang dilihat (hisab) Allah di hari akhirat kelak (HR Ibn Majah).

Bahkan dalam hadits lain dikatakan, ā€œAntara hamba (mukmin) dan kafir ialah meninggalkan shalat,ā€ (HR Ibnu Majah). Maksudnya, meninggalkan shalat dapat menjadi perantara seorang untuk menjadi kafir.

Dua hadits yang dikutip di atas menunjukan betapa pentingnya mengerjakan shalat. Terlebih lagi, terdapat kesepakatan ulama (ijma’) bahwa shalat termasuk kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Siapapun yang sudah memenuhi persyaratan, mesti mengerjakannya dalam keadaan apapun dan sesulit apapun. Selain puasa, terdapat kewajiban pokok lain yang hukumnya setara dengan shalat, seperti puasa, haji, dan zakat.

Kemudian, bagaimana hukumnya mengerjakan puasa, tetapi tidak mengerjakan shalat? Apakah puasanya masih dihukumi sah mengingat shalat sebagai amalan utama dan pokok?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita mesti merinci terlebih dahulu atau paling tidak bertanya kepada orang yang tidak shalat tersebut, kira-kira apa alasannya meninggalkan shalat. Apakah karena mengingkari kewajibannya atau lantaran malas. Sebab keduanya memiliki implikasi hukum yang berbeda-beda. Hasan Bin Ahmad al-Kaf dalam Taqriratus Sadidah fi Masail Mufidah menjelaskan:

له حالتان: فتارة ŁŠŲŖŲ±ŁƒŁ‡Ų§ جحودا وتارة ŁŠŲŖŲ±ŁƒŁ‡Ų§ ŁƒŲ³Ł„Ų§: Ų„Ų°Ų§ ŲŖŲ±ŁƒŁ‡Ų§ جحودا، أي: معتقدا أنها غير واجبة Ł‡Łˆ ŁƒŲ§Ł„Ł…Ų±ŲŖŲÆ........،  Ų„Ų°Ų§ ŲŖŲ±ŁƒŁ‡Ų§ ŁƒŲ³Ł„Ų§: ŁˆŲ°Ł„Łƒ بأن أخرجها عن ŁˆŁ‚ŲŖ Ų§Ł„Ų¶Ų±ŁˆŲ±Ų© ŁŁ‡Łˆ مسلم

Artinya, ā€œAda dua kondisi orang yang meninggalkan shalat: meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya dan meninggalkan shalat karena malas. Orang yang masuk dalam kategori pertama, maka ia dihukumi murtad. Sementara orang yang meninggalkannya karena malas, hingga waktunya habis, maka ia masih dikatakan muslim.ā€

Berdasarkan pendapat ini, orang yang tidak mengerjakan shalat karena mengingkari kewajibannya, puasanya batal secara otomatis. Sebab dia sudah dianggap murtad dan keluar dari Islam termasuk hal yang dapat membatalkan puasa. Sementara puasa orang yang tidak mengerjakannya karena malas atau sibuk, statusnya masih muslim dan puasanya tidak batal secara esensial.

Kendati puasanya tidak batal secara esensial atau secara hukum fikih tidak dianggap batal dan tidak wajib qadha, namun puasanya tidak bernilai apa-apa dan pahalanya berkurang. Dalam Taqriratus Sadidah disebutkan:

بطلات Ų§Ł„ŲµŁˆŁ… Ł‡ŁŠ قسمان: قسم ŁŠŲØŲ·Ł„ ثواب Ų§Ł„ŲµŁˆŁ… لا Ų§Ł„ŲµŁˆŁ… Ł†ŁŲ³Ł‡ŲŒ فلا يجب Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ Ų§Ł„Ł‚Ų¶Ų§Ų”ŲŒ ŁˆŲŖŲ³Ł…Ł‰ Ł…Ų­ŲØŲ·Ų§ŲŖ. ŁˆŁ‚Ų³Ł… ŁŠŲØŲ·Ł„ Ų§Ł„ŲµŁˆŁ… ŁˆŁƒŲ°Ł„Łƒ Ų§Ł„Ų«ŁˆŲ§ŲØ – ؄ن ŁƒŲ§Ł† بغير Ų¹Ų°Ų±- فيجب ŁŁŠŁ‡ Ų§Ł„Ł‚Ų¶Ų§Ų”ŲŒ ŁˆŲŖŲ³Ł…Ł‰ مفطرات.

Artinya, ā€œPembatalan puasa itu dibagi menjadi dua kategori: pertama, pembatalan yang merusak pahala puasa, namun tidak membatalkan puasa itu sendiri. Kategori ini dinamakan muhbithat (merusak pahala puasa) dan tidak diwajibkan qadha; kedua, sesuatu yang dapat membatalkan puasa dan merusak pahalanya. Bila melakukan ini tanpa udzur, maka wajib mengqadha puasa di hari lainnya. Kategori ini dinamakan mufthirat (membatalkan puasa).

Menurut penulis, meninggalkan shalat itu dapat dikategorikan sebagai muhbithat al-shaum. Dia tidak merusak keabsahan puasa, tetapi dia merusak pahala puasa. Sehingga, ibadah puasa yang mereka kerjakan tidak bernilai di hapadan Allah. Meskipun demikian, dia diharuskan untuk tetap berpuasa sebagaimana mestinya dan mengqadha shalat yang ditinggalnya. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdiansyah)