Hukum Mengonsumsi Tumbuhan yang Dinilai Memabukkan
NU Online · Jumat, 26 Juli 2024 | 05:00 WIB
Sunnatullah
Kolomnis
Mengonsumsi jenis makanan dari tumbuhan yang bisa memabukkan telah menjadi perhatian utama, tidak hanya dari segi kesehatan saja, namun juga dari segi kajian syariat Islam (fiqih). Kajian seperti ini memiliki aspek penting demi menjaga kehati-hatian seseorang dalam mengonsumsi makanan jenis tumbuh-tumbuhan yang bisa memengaruhi akal.
Secara garis besar, hukum asal dari setiap sesuatu adalah halal, hingga ditemukan sebuah dalil yang mengharamkannya, termasuk dalam konteks ini adalah makanan. Siapa saja boleh mengonsumsi apa saja yang diinginkan, sepanjang makanan tersebut belum mendapatkan hukum yang jelas dalam syariat Islam. Dalam sebuah kaidah disebutkan:
اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلىَ التَّحْرِيْمِ
Baca Juga
Hukum Mengosumsi Kecubung
Artinya, “Hukum asal setiap sesuatu adalah boleh, hingga terdapat dalil yang mengharamkan.” (As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazhair, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1403], halaman 60).
Kaidah ini merupakan rumusan pokok dalam mazhab Syafi’i tentang hukum hukum asal setiap sesuatu, yang diambil dari salah satu hadits Nabi Muhammad saw, bahwa apa yang telah dihalalkan oleh Allah adalah halal. Apa yang diharamkan olehnya adalah haram. Sedangkan sesuatu yang tidak ditentukan hukumnya, maka itu adalah kemurahan.
مَا أَحَلَّ اللّهُ فَهُوَ حَلاَلٌ، وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ، فَاقْبلُوْا مِنَ اللهِ عَافِيَتَهُ، فَإِنَّ اللهَ لَمْ يَكُنْ ليَنْسَى شَيْئاً
Artinya, “Apa yang dihalalkan oleh Allah adalah halal. Apa yang diharamkan oleh adalah haram. Sedangkan sesuatu yang Dia diam tentangnya adalah dimaafkan (dispensasi). Karena itu, terimalah dari Allah ampunan-Nya, sebab Allah tidak akan lupa sedikit pun.” (HR At-Thabarani).
Lantas bagaimana dengan jenis tumbuh-tumbuhan yang bisa memabukkan?
Merujuk penjelasan Imam Al-Mawardi (wafat 450 H), tumbuh-tumbuhan terbagi menjadi empat bagian. Masing-masing memiliki hukum tersendiri. Berikut perinciannya:
- Tumbuh-tumbuhan yang biasa dijadikan makanan, seperti buah-buahan dan biji-bijian. Hukum mengonsumsi jenis tumbuhan seperti ini adalah halal, baik untuk dijadikan kekuatan ataupun untuk sekadar dijadikan camilan biasa, boleh juga untuk diperjualbelikan.
- Tumbuh-tumbuhan yang biasa dijadikan obat. Hukum mengonsumsi jenis tumbuhan seperti ini diperbolehkan jika tujuannya untuk dijadikan obat. Sedangkan untuk sekadar konsumsi biasa hukumnya diperinci:
(a) jika membahayakan maka tidak boleh; dan
(b) jika tidak membahayakan maka hukumnya boleh. Memperjualbelikan jenis tumbuhan yang seperti ini hukumnya juga diperbolehkan.
- Tumbuh-tumbuhan yang memabukkan. Mengonsumsi tumbuhan jenis ini hukumnya terklasifikasi menjadi tiga bagian;
(a) jika mabuknya juga disertai dengan keresahan dan gangguan yang tinggi pada jiwanya, maka hukumnya haram. Jenis tumbuhan ini tidak boleh dijadikan obat-obatan dan memperjualbelikannya adalah haram.
(b) memabukkan namun tidak sampai menimbulkan keresahan bagi pengonsumsinya, maka hukumnya haram. Namun jika untuk berobat, hukumnya boleh apabila benar-benar dibutuhkan; dan
(c) tumbuhan yang memabukkan jika dicampur dengan yang lain, namun tidak memabukkan jika dikonsumsi sendiri. Mengonsumsi tumbuhan jenis ini adalah diperbolehkan jika bermanfaat untuk pengobatan.
- Tumbuh-tumbuhan yang membahayakan dan membunuh, seperti tumbuhan yang beracun. Mengonsumsi tumbuhan jenis ini terperinci hukumnya:
(a) tumbuhan yang bisa mematikan, baik sedikit atau banyak, maka mengonsumsinya adalah haram, memperjualbelikannya juga haram sekaligus tidak sah;
(b) tumbuhan yang bisa mematikan jika banyak, dan tidak jika sedikit. Maka mengonsumsinya adalah haram jika banyak dan jika sedikit, maka diperbolehkan jika bermanfaat;
(c) tumbuhan yang biasa mematikan, maka hukum mengonsumsinya juga haram, meski terkadang juga tidak sampai mematikan, karena hukumnya berpijak pada yang lebih nyata; dan
(d) tumbuhan yang tidak biasa mematikan, maka hukum mengonsumsinya juga diperbolehkan, meski terkadang juga bisa sampai mematikan.
Hanya saja, pendapat yang kuat memberikan batas, bahwa kebolehan ini selama bisa memberikan manfaat untuk dijadikan obat. Jika tidak memberi manfaat untuk dijadikan obat, maka hukumnya tetap diharamkan.
وَالصَّحِيحُ أَنَّ إِبَاحَتَهُ لِأَكْلِهِ إِذَا كَانَ مُنْتَفَعًا بِهِ فِي التَّدَاوِي وَتَحْرِيمَ أَكْلِهِ إِذَا كَانَ غَيْرَ مُنْتَفَعٍ بِهِ فِي التَّدَاوِي
Artinya, “Adapun pendapat yang sahih adalah bahwa kebolehan mengonsumsinya apabila bisa dimanfaatkan untuk pengobatan, dan keharaman mengonsumsinya adalah jika tidak bisa dimanfaatkan untuk pengobatan.” (Al-Mawardi, Al-Hawil Kabir, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 1999], jilid XV, halaman 395).
Dari beberapa klasifikasi hukum tentang mengonsumsi tumbuhan, dapat disimpulkan bahwa jenis tumbuhan yang memabukkan hukumnya haram untuk dikonsumsi, kecuali dengan maksud dijadikan obat.
Alasan keharaman sebagaimana disampaikan oleh Syekh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi, yaitu karena bisa membahayakan akal:
وَيَحْرُمُ مُسْكِرُ النَّبَاتِ أَيْ النَّبَاتُ الْمُسْكِرِ وَإِنْ لم يُطْرِبْ لِإِضْرَارِهِ بِالْعَقْلِ
Artinya, “Dan haram (mengonsumsi) sesuatu yang memabukkan dari tumbuhan, yaitu tumbuhan yang memabukkan, sekalipun tidak berdampak mengacaukan, karena bisa membahayakan akal.” (Abu Bakar Syatha, Hasyiyah I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr:1997], jilid II, halaman 404).
Senada dengan pendapat di atas,Syekh Wahbah Az-Zuhaili mengatakan, setiap sesuatu yang bisa menghilangkan akal dari selain minuman haram, karena mengonsumsinya dapat mem
يَحْرُمُ كُلُّ مَا يُزِيْلُ الْعَقْلَ مِنْ غَيْرِ الْأشْرِبَةِ الْمَائِعَةِ كَالْبَنْجِ وَالْحَشِيْشَةِ وَالْأَفْيُوْنِ، لِمَا فِيْهَا مِنْ ضَرَرٍ مُحَقَّقٍ، وَلاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ، وَلَكِنْ لاَ حَدَّ فِيْهَا؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ فِيْهَا لَذَّةٌ وَلاَطَرْبٌ
Artinya, “Haram (mengonsumsi) setiap sesuatu yang bisa menghilangkan akal dari selain minuman yang cair, seperti banj (hyoscyamus), ganja, dan opium, karena di dalamnya terdapat bahaya yang nyata, dan tidak boleh ada bahaya dan unsur membahayakan dalam Islam, namun (orang yang mengonsumsinya) tidak boleh di had (hukum cambuk), karena tidak ada kenyamanan dan kesenangan di dalamnya.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Damaskus, Darul Fikr: tanpa tahun], jilid VII, halaman 437).
Sebagai catatan, munculnya hukum tumbuhan-tumbuhan memabukkan seperti ganja, dan lainnya, merupakan ijtihad ulama Khalaf (kontemporer). Para ulama Salaf (klasik) terdahulu, seperti imam mazhab tidak membahasnya, karena pada masa mereka belum ditemukan tumbuhan jenis ini. Tumbuhan ini ditemukan datangnya Kerajaan Tatar. (Zainuddin Al-Malibari, Irsyadul Ibad ila Sabilir Rasyad, [Maktabah al-Islami: tt], halaman 361).
Karena itu, ulama mengklasifikasi hukumnya dengan sangat rinci sebagaimana telah disebutkan. Yaitu jika memiliki manfaat untuk kesehatan maka hukumnya diperbolehkan sekalipun tetap berdampak memabukkan bagi orang yang mengonsumsinya. Namun jika tidak ada manfaat untuk kesehatan atau untuk pengobatan, maka hukumnya haram. Wallahu a'lam.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Khutbah Jumat: Mempertahankan Spirit Kurban dan Haji Pasca-Idul Adha
4
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
5
PBNU Rencanakan Indonesia Jadi Pusat Syariah Dunia
6
Sejarawan Kritik Penulisan Sejarah Resmi: Abaikan Pluralitas, Lahirkan Otoritarianisme
Terkini
Lihat Semua