Syariah

Hukum Mengonsumsi Daging Buaya

NU Online  Ā·  Selasa, 25 Juni 2019 | 11:30 WIB

Ketertarikan masyarakat dalam mencoba berbagai macam kuliner semakin lama tampak semakin meningkat. Banyak dari mereka yang rela merogoh kocek cukup tinggi hanya untuk mencoba aneka masakan baru yang jarang ditemui di tempat-tempat makan pada umumnya. Salah satu jenis masakan yang cukup langka dan hanya dapat ditemui di tempat-tempat tertentu adalah masakan daging buaya.Ā 

Hal yang patut dipertanyakan, apakah daging buaya memang tergolong sebagai makanan yang halal, sehingga boleh untuk dimakan? Atau justru tergolong sebagai makanan yang tidak halal, sehingga haram untuk mengonsumsinya?

Dalam istilah Arab, buaya dikenal dengan nama timsah. Syekh Kamaluddin ad-Damiri mendeskripsikan hewan ini dengan berbagai macam sifat yang dijelaskan dalam kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra berikut ini:

التمساح- ŁˆŁ‡Ų°Ų§ Ų§Ł„Ų­ŁŠŁˆŲ§Ł† على صورة الضب ŁˆŁ‡Łˆ من Ų£Ų¹Ų¬ŲØ Ų­ŁŠŁˆŲ§Ł† الماؔ ، له فم واسع ŁˆŲ³ŲŖŁˆŁ† ناباً في ŁŁƒŁ‡ الأعلى ŁˆŲ£Ų±ŲØŲ¹ŁˆŁ† في ŁŁƒŁ‡ الأسفل ، ŁˆŲØŁŠŁ† ŁƒŁ„ Ł†Ų§ŲØŁŠŁ† سن صغيرة Ł…Ų±ŲØŲ¹Ų© ŁˆŁŠŲÆŲ®Ł„ بعضها في ŲØŲ¹Ų¶ عند الانطباق . ŁˆŁ„Ł‡ لسان Ų·ŁˆŁŠŁ„ ، ŁˆŲøŁ‡Ų± ŁƒŲøŁ‡Ų± السلحفاة لا ŁŠŲ¹Ł…Ł„ Ų§Ł„Ų­ŲÆŁŠŲÆ ŁŁŠŁ‡ ، ŁˆŁ„Ł‡ Ų£Ų±ŲØŲ¹ أرجل ŁˆŲ°Ł†ŲØ Ų·ŁˆŁŠŁ„

ā€œTimsah (buaya), hewan ini berbentuk seperti biawak dan tergolong sebagai salah satu hewan menakjubkan yang hidup di air. Ia memiliki mulut yang lebar dan memiliki 60 gigi taring di rahang atas dan 40 gigi taring di rahang bawah. Di setiap celah di antara dua gigi taringnya terdapat gigi-gigi kecil berbentuk kotak yang saling masuk satu sama lain ketika dirapatkan. Ia memiliki lidah yang panjang dan punggung (yang keras) seperti punggungnya kura-kura yang tak mempan ditusuk besi biasa. Ia memiliki empat kaki dan ekor yang panjang,ā€ (Syekh Kamaluddin ad-Damiri, Hayat al-Hayawan al-Kubra, juz 1, hal. 237).

Dalam menjelaskan status halal-haramnya daging buaya ini, Ibnu Ruslan menjelaskan dalam nadzamnya:

ŁˆŁ…Ų§ ŲØŁŁ…ŁŲ®Ł’Ł„ŁŽŲØŁ ŁˆŁ†Ų§ŲØŁ ŁŠŁŽŁ‚Ł’ŁˆŁŽŁ‰ * ŁŠŁŽŲ­Ł’Ų±ŁŁ…Ł ŁƒŲ§Ł„ŲŖŁ‘ŁŁ…Ų³ŁŽŲ§Ų­Ł ŁˆŲ§ŲØŁ’Ł†Ł Ų¢ŁˆŁŽŁ‰

ā€œHewan yang memiliki kuku (cakar) dan gigi taring yang kuat, haram (dikonsumsi) seperti buaya dan hewan jakal (anjing hutan berbulu kuning),ā€ (Ibnu Ruslan, Matan az-Zubad, hal. 43).

Berdasarkan referensi di atas dapat dipahami bahwa mengonsumsi daging buaya adalah haram dengan alasan berupa adanya gigi taring yang kuat dalam sosok hewan tersebut. Sebab segala hewan yang memiliki taring yang kuat maka dihukumi haram untuk dikonsumsi.

Namun demikian, alasan keharaman buaya rupanya masih menjadi perdebatan di antara ulama. Sebab jika alasan keharamannya adalah wujudnya gigi yang bertaring kuat dalam hewan tersebut maka mestinya ikan hiu juga tergolong hewan yang haram untuk dikonsumsi. Padahal sangat jelas sekali bahwa hewan hiu tergolong sebagai ikan laut yang halal untuk dikonsumsi. Maka tak heran jika Imam ar-Rafi’i memiliki alasan lain dalam keharaman buaya, yakni dikarenakan hewan tersebut tergolong sebagai hewan yang menjijikkan dan membahayakan untuk dikonsumsi. Hal ini seperti dijelaskan dalam lanjutan referensi di kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra di atas:

ŁˆŲ­ŁƒŁ…Ł‡ : ŲŖŲ­Ų±ŁŠŁ… Ų§Ł„Ų£ŁƒŁ„ Ł„Ł„Ų¹ŲÆŁˆ بنابه كذا علله جماعة من الأصحاب . ŁˆŁ‚Ų§Ł„ Ų§Ł„Ų“ŁŠŲ® Ł…Ų­ŲØ Ų§Ł„ŲÆŁŠŁ† Ų§Ł„Ų·ŲØŲ±ŁŠ ، في Ų“Ų±Ų­ Ų§Ł„ŲŖŁ†ŲØŁŠŁ‡ : القرؓ حلال . Ų«Ł… قال : ف؄ن قلت Ų£Ł„ŁŠŲ³ Ł‡Łˆ Ł…Ł…Ų§ ŁŠŲŖŁ‚ŁˆŁ‰ بنابه . ŁŁ‡Łˆ ŁƒŲ§Ł„ŲŖŁ…Ų³Ų§Ų­ . ŁˆŲ§Ł„ŲµŲ­ŁŠŲ­ ŲŖŲ­Ų±ŁŠŁ… التمساح . قلت لا نسلم أن Ł…Ų§ ŁŠŲŖŁ‚ŁˆŁ‰ بنابه من Ų­ŁŠŁˆŲ§Ł† البحر Ų­Ų±Ų§Ł… . ŁˆŲ„Ł†Ł…Ų§ حرم التمساح ŁƒŁ…Ų§ قال Ų§Ł„Ų±Ų§ŁŲ¹ŁŠ في الؓرح للخبث ŁˆŲ§Ł„Ų¶Ų±Ų±

ā€œHukum mengonsumsi buaya adalah haram, karena ia memperkuat diri dengan taringnya, alasan ini merupakan yang disampaikan oleh sebagian ashab (pengikut Imam Syafi’i). Syekh Muhibbuddin at-Thabari berkata dalam kitab Syarh at-Tanbih: hiu adalah hewan yang halal (untuk dikonsumsi). Lalu beliau berkata: jika engkau bertanya ā€˜Bukankah hiu termasuk hewan yang mendapatkan kekuatan dari taringnya? Berarti ia seperti buaya, padahal menurut pendapat yang shahih buaya adalah haram’ maka aku akan menjawab: ā€˜Aku tidak menerima kesimpulan bahwa hewan yang menjadi kuat dengan taringnya dari hewan laut adalah haram, sebab haramnya buaya karena dianggap menjijikkan dan membahayakan, seperti halnya alasan yang diungkapkan Imam ar-Rafi’i dalam kitab as-SyarhĀ  al-Wajiz,ā€ (Syekh Kamaluddin ad-Damiri, Hayat al-Hayawan al-Kubra, juz 1, hal. 237).

Sedangkan Imam Ibnu Hajar memiliki alasan lain mengenai keharaman hewan buaya ini, yakni karena hewan buaya dianggap mampu untuk hidup di dua alam. Sedangkan hewan yang mampu hidup di dua alam adalah hewan yang haram untuk dimakan. Dalam kitabnya beliau menjelaskan:Ā 

ŁˆŁ…Ł†Ł‡ Ų§Ł„Ł‚ŁŲ±Ł’Ų“Ł - ŁˆŁ„Ų§ نظر ؄لى ŲŖŁ‚ŁˆŁŠŁ‡ بنابه ŁˆŁ…Ł† نظر Ł„Ų°Ł„Łƒ في ŲŖŲ­Ų±ŁŠŁ… التمساح فقد تساهل ŁˆŲ„Ł†Ł…Ų§ العلة Ų§Ł„ŲµŲ­ŁŠŲ­Ų© Ų¹ŁŠŲ“Ł‡ في البر

ā€œTermasuk dari bagian ikan laut (yang halal) adalah ikan hiu. Gigi taring yang dimiliki hiu tidak dipertimbangkan (untuk dijadikan alasan keharamannya). Ulama yang memandang keharaman buaya dari aspek tersebut, sungguh ia telah teledor, sebab alasan yang benar tentang keharaman hewan tersebut adalah kemampuannya untuk hidup di daratanā€ (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 14, hal. 212)Ā 

Terlepas dari berbagai perbedaan alasan yang ada, dapat disimpulkan bahwa mengonsumsi buaya adalah hal yang diharamkan menurut pandangan mayoritas ulama. Sehingga wajib untuk menghindari mengonsumsi daging ini. Wallahu a’lam.


Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember