Oleh: KH Ahmad Nadhif Abdul Mujib
Tulisan ini semata-mata berangkat dari keprihatinan penulis terhadap fatwa yang berisi “vonis sesat dan zalim” terhadap calon pemilih kotak kosong dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Pembahasan ini tidak bermaksud untuk menggiring opini, mengajak, atau menyerukan memilih salah satu dari dua pilihan yang sudah dijamin oleh konstitusi yang sah.
Pertama; “vonis sesat
dan zalim” atas calon pemilih kotak kosong adalah vonis yang tidak berdasar
sama sekali, baik dalam kacamata agama maupun kacamata hukum negara. Secara
singkat dapat dinyatakan bahwa hak memilih kotak kosong adalah hak yang dijamin
oleh undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Karenanya, menghormati
hak konstitusi adalah wajib menurut agama.
Dalam Bughyatul
Mustarsyidîn, kitab yang berisi tentang ringkasan fatwa para ahli hukum
Islam (fuqahâ`) karya Sayyid Abdurrahman (w. 1320 H), mufti Hadlramaut
Yaman, pada halaman 189 disebutkan:
يَجِبُ
اِمْتِثَالُ أَمْرِ الْإِمَامِ فِيْ كُلِّ مَا لَهُ فِيْهِ وِلَايَةٌ
“Wajib mentaati segala perintah pemimpin dalam
segala hal yang menjadi kewenangannya”.
Dalam hal ini pemerintah memiliki kewenangan mengatur jalannya Pemilu atau Pilkada,
di mana di antaranya dinyatakan bahwa “hak memilih kotak kosong adalah hak yang
legal”.
Masih
dalam kitab dan halaman yang sama disebutkan:
وَالْحَاصِلُ
أَنَّهُ تَجِبُ طَاعَةُ الْإِمَامِ فِيْمَا أَمَرَ بِهِ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا مِمَّا
لَيْسَ بِحَرَامٍ أَوْ مَكْرُوْهٍ. فَالْوَاجِبُ يَتَأَكَّدُ، وَالْمَنْدُوْبُ يَجِبُ،
وَكَذَا الْمُبَاحُ
“Kesimpulannya adalah wajib menaati pemimpin dalam setiap perintahnya secara
lahir dan batin selama tidak haram atau makruh. Maka (yang semula) wajib,
menjadi semakin kuat (kewajibannya atas perintah pemimpin), dan (yang semula)
sunnah, menjadi wajib (atas perintah pemimpin) dan demikian juga yang mubah.”
Kesimpulan poin pertama adalah bahwa hak memilih siapa pun dan apa pun adalah hak konstitusional dan Islam
memberikan tambahan legalitas atas hak tersebut, sehingga tidak ada alasan
untuk menganggap sesat calon pemilih kotak kosong, sebagaimana juga tidak ada
alasan mengecam secara agama dan negara bagi yang menjatuhkan pilihan kepada
pasangan calon.
Kedua; Jika orang
yang memberikan fatwa atas sesat dan zalim memilih kotak kosong berdalih bahwa
kewajiban memilih pimpinan adalah “memilih orang” bukan “memilih kotak”, maka
itu hanya permainan kata-kata belaka.
Semua orang paham bahwa tidak mungkin kotak
kosong akan menjadi pemimpin. Ini hanya merupakan permainan kata yang tidak
layak disampaikan di muka umum dalam situasi menjelang Pilkada.
Memilih kotak kosong bukan berarti menjadikan
kotak kosong sebagai pemimpin, melainkan sebagai bentuk keinginan
dilaksanakannya pengulangan Pilkada supaya terbuka peluang pencalonan yang
lebih dari satu pasangan calon.
Dalam kacamata agama, hal ini sama sekali tidak
ada madlarat-nya, tidak ada kerugiannya. Barangkali ada yang memiliki
pemahaman bahwa jika Pilkada diulang, maka akan menghambur-hamburkan anggaran
negara. Jika demikian halnya, maka dapat dinyatakan pemikiran seperti berikut:
“Dalam Pilkada biasa terdapat pasangan calon lebih dari satu, kemungkinan pengulangan
Pilkada menjadi dua putaran juga akan tetap terbuka lebar dan kas negara telah
menyiapkan back-up anggaran untuk Pilkada yang berlangsung lebih dari
satu putaran.”
Ketiga; Tugas ulama
adalah sebagai pengayom ummat, bukan pemberi vonis. Dalam Islam ada aturan “nahnu
du’ât, lâ qudlât (kita hanya bisa menyeru, bukan menghakimi)”. Hanya hakim
pengadilan yang berhak memberi vonis soal-soal duniawi. Dan hanya Allah yang
berhak memberi vonis di akhirat.
Keempat; wajib
ditandaskan sekali lagi, bahwa hak memilih apa pun dan siapa pun adalah hak legal dan tidak sesat, apalagi zalim.
Kelima; yang
lebih wajib lagi adalah menjaga kesatuan dan persatuan warga baik sebelum
maupun sesudah Pilkada.
Tulisan ini hanya ingin memberikan tanggapan
terhadap fatwa yang menyatakan “sesat” memilih kotak kosong dalam Pilkada. Apalagi
sebenarnya soal nashbul imâm atau memilih pemimpin hukumnya fardlu
kifâyah (kewajiban komunal yang cukup ditunaikan oleh satu atau dua orang
sebagai perwakilan), bukan fardlu ‘ain (kewajiban individual). Karena
itu, memilih kotak kosong dalam Pilkada jelas tidak ada kaitannya dengan sesat
atau zalim. Tak kurang dan tidak lebih. Soal menjatuhkan pilihan adalah soal
hati nurani, tidak ada yang berhak merampas kebebasan individu untuk memilih
“ini” atau “itu”. Wallahu A’lam bi-shshawâb.
Terpopuler
1
Begini Cara Peringati Malam Nisfu Syaban
2
Amalan Gus Baha saat Haji dan Khataman di Bulan Syaban
3
Khutbah Jumat: Sya’ban, Bulan Pembersihan Diri Menyambut Ramadhan
4
Mulai Esok Sunnah Puasa Ayyamul Bidl Bulan Syaban 1446 H
5
Kemenag Gelar Sidang Isbat Awal Ramadhan 1446 H pada Akhir Februari 2025
6
Kapan Malam Nisfu Syaban 1446 H?
Terkini
Lihat Semua