Syariah

Hukum Membayar Zakat Fitrah dengan Beras Sumbangan

Sen, 18 Mei 2020 | 07:45 WIB

Hukum Membayar Zakat Fitrah dengan Beras Sumbangan

Mereka yang belum tentu dan belum jelas memiliki stok lebih kebutuhan makanan pokok sebaiknya menunggu pelaksanaan zakat fitrah pada waktu wajib zakat, yaitu pada malam dan hari raya.

Pada situasi Covid-19, masyarakat menerima bantuan makanan pokok untuk menunjang kebutuhan mereka di tengah kesulitan karena kebijakan pembatasan sosial berskala besar. Ketika memasuki Ramadhan, fatwa dari sejumlah ormas keagamaan memfatwakan agar masyarakat menyegerakan pembayaran zakat fitrah di awal Ramadhan.

Pada situasi ini, sebagian masyarakat menerima bantuan dari sejumlah pihak. Dari sana mereka kemudian memiliki stok kebutuhan makanan pokok. Ketika waktu kewajiban zakat tiba, (1 Syawwal sejak awal malam takbiran hingga tenggelam matahari), apakah mereka boleh membayarkan zakat fitrah dari beras sumbangan yang mereka terima dari berbagai pihak?

Untuk sampai ke sana, kita perlu memahami secara singkat siapa yang terkena kewajiban zakat. Ulama menyebut tiga syarat orang yang terkena kewajiban zakat, yaitu orang beragama Islam, orang merdeka, dan orang yang memiliki kemudahan/kelonggaran rezeki. Kewajiban zakat terkena untuk mereka yang memiliki kelebihan rezeki.

قوله (الشرط الثالث) اليسار فالمعسر لا فطرة عليه بلا خلاف قال المصنف والاصحاب والاعتبار باليسار والاعسار بحال الوجوب فمن فضل عن قوته وقوت من تلزمه نفقته لليلة العيد ويومه صاع فهو موسر وان لم يفضل شئ فهو معسر ولا يلزمه شئ في الحال

Artinya, “(Syarat ketiga) kemudahan atau al-yasar (rezeki). Orang yang sedang mengalami kesulitan rezeki (mu‘sir) tidak terkena kewajiban zakat fitrah tanpa ikhtilaf ulama. Penulis (As-Syairazi) dan ulama syafi’iyah mengatakan, kemudahan dan kesulitan diukur pada waktu wajib zakat. Orang memiliki kelebihan 1 sha‘ di luar kebutuhan makanan pokok dirinya dan makanan pokok orang yang wajib dinafkahinya pada malam dan siang hari raya, maka ia tergolong musir (yang wajib berzakat). Tetapi jika ia tidak memiliki kelebihan, maka ia tergolong mu‘sir dan ia tidak terkena kewajiban zakat pada saat itu,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz VI, halaman 52).

Mereka yang tidak memiliki kelebihan harta di luar kebutuhan nafkah untuk dirinya dan nafkah untuk keluarganya pada malam dan hari raya tidak terkena kewajiban zakat. Kewajiban zakat berlaku untuk mereka yang berlebih. 

ولا تجب حتى تفضل الفطرة عن نفقته ونفقة من تلزمه نفقته لان النفقة أهم فوجبت البداية بها ولهذا قال النبي صلي الله عليه وسلم ابدأ بنفسك ثم بمن تعول

Artinya, “(Zakat fitrah) tidak wajib sehingga ia merupakan kelebihan di luar kebutuhan nafkah dirinya dan nafkah orang yang menjadi tanggungannya karena nafkah lebih penting. Ia semula wajib untuk dirinya. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda, ‘Mulailah dari dirimu, lalu orang yang kau nafkahi,’” (Lihat Imam As-Syairazi, Al-Muhadzdzab pada Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: 2010 M], juz VI, halaman 61-62).

Syekh M Nawawi Banten menyebut kebutuhan pemenuhan nafkah bersifat dharuri atau mendasar. Mereka yang tidak memiliki kelebihan stok makanan pokok di luar kebutuhan nafkahnya pada waktu wajib zakat yaitu malam dan hari raya tidak terkena kewajiban zakat fitrah. (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Tsimarul Yani‘ah fir Riyadhil Badi‘ah, [Indonesia, Daru Ihya’il Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 56).

Adapun yang perlu diprioritaskan untuk dibayarkan zakatnya adalah diri mereka sendiri sebelum keluarga. Prioritas zakat ini (terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan kemampuan di malam hari raya) dapat ditemukan pada hadits riwayat berikut:

قَالَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Mulailah dari dirimu, lalu bayarlah zakat atasnya. Jika sesuatu berlebih, maka (bayar zakat) untuk keluargamu. Jika sesuatu berlebih dari keluargamu, maka untuk kerabatmu,’” (HR Muslim).

Ulama mazhab syafi’i bersepakat, kewajiban zakat fitrah hanya berlaku bagi masyarakat yang sedang memiliki kelonggaran rezeki berupa makanan pokok pada hari raya. Oleh karena itu, mereka mengukur kewajiban zakat dari kemampuan masyarakat dari keberadan makanan pokok pada hari raya.

أما حكم المسألة فاتفقت نصوص الشافعي والاصحاب علي أنه لا تجب الفطرة حتى تفضل نفقته ونفقة من يلزمه عن نفقته ليلة العيد ويومه 

Artinya, “Terkait hukum masalah ini, nash imam Syafi’i dan ulama ashab bersepakat, zakat fitrah tidak wajib sehingga ada kelebihan nafkah dirinya dan orang yang menjadi tanggunganya pada malam dan hari raya,” (Lihat Imam An-Nawawi, 2010 M: VI/62).

Imam An-Nawawi pada Kitab Raudhatut Thalibin menambahkan, orang yang sedang mengalami kesulitan rezeki (mu‘sir) tidak terkena kewajiban zakat fitrah. Semua orang yang tidak memiliki kelebihan nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya pada malam dan hari raya untuk dikeluarkan sebagai zakat fitrah adalah adalah mu‘sir.

ومن فضل عنه ما يخرجه في الفطرة من أي جنس كان من المال فهو موسر ولم يذكر الشافعي وأكثر الأصحاب في ضبط اليسار والاعسار إلا هذا القدر

Artinya, “Siapa saja yang memiliki kelebihan harta dari jenis apapun yang dapat dikeluarkan sebagai fitrah adalah musir (orang yang mengalami kemudahan/kelonggaran rezeki). Imam As-Syafi’i dan kebanyakan ulama ashab tidak menyebut ukuran kemudahan dan kesulitan seseorang kecuali dengan ukuran tersebut,” (Lihat Imam An-Nawawi, Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz II, halaman 193).

Dari sini kemudian, kita dapat menyimpulkan bahwa siapapun yang memiliki kelebihan stok makanan pokok berupa beras pada hari raya meski awalnya berasal dari sumbangan orang lain tetap terkena kewajiban zakat fitrah karena itu sudah menjadi miliknya.

ومنها زكاة الفطر وهي واجبة على من ملك شيئا زائدا على مؤنته ومؤنة عياله ومماليكه ليلة العيد ويومه

Artinya, “Salah satunya adalah zakat fitrah. Zakat ini wajib bagi orang yang memiliki sesuatu kelebihan di luar pemenuhan kewajiban nafkah atas dirinya, keluarganya, dan budaknya pada malam dan hari id,” (Lihat Syekh M Hasbullah, Riyadhul Badi‘ah pada hamisy Tsimarul Yani‘ah, [Indonesia, Daru Ihya’il Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 56).

Seseorang dapat menggunakan stok beras sumbangan tersebut untuk membayar kewajiban zakat fitrah dirinya dan keluarganya dengan mengikuti ketentuan jenis dan takaran yang harus dizakatkan, serta kepada siapa zakat fitrah diberikan.

Namun demikian, mereka yang belum tentu dan belum jelas memiliki stok lebih kebutuhan makanan pokok sebaiknya menunggu pelaksanaan zakat fitrah pada waktu wajib zakat, yaitu pada malam dan hari raya.
 
Anjuran ini dimaksudkan untuk antisipasi kalau-kalau mereka justru tidak memiliki stok kelebihan makanan pokok di hari raya. (Lihat Syekh Sa’id bin M Ba’asyin, Busyral Karim, [Beirut, Darul Fikr: 2012 M/1433-1434], juz II, halaman 429) dan (Lihat Syekh M Nawawi Banten, tanpa tahun: 57). Wallahu a‘lam. (Alhafiz Kurniawan)