Haji Berulang Kali Menurut Kiai Ali M Yakub dan Imam Al-Ghazali
Kamis, 18 Agustus 2016 | 18:06 WIB
Sekarang sudah banyak travel haji dan transportasi yang siap melayani keberangkatan haji. Apalagi sebagian travel menawarkan ongkos yang menggiurkan dan tidak terlalu mahal, bisa diangsur.
Mudahnya naik haji di masa sekarang ini patut kita syukuri. Kita tidak perlu lagi melakukan perjalanan berbulan-bulan untuk sampai di baitullah. Cukup duduk santai di pesawat, tunggu sekitar belasan jam, kita sudah sampai di Arab Saudi.
Namun, di balik kemudahan fasilitas itu ada sesuatu yang justru mengkhawatirkan menurut sebagian ulama, yaitu fenomena haji berulang kali.
Almarhum KH Ali Mustafa Yaqub termasuk orang yang berada di garda depan mengkritik fenomena haji berkali-kali ini. Menurutnya, lebih baik mendermakan ongkos haji itu untuk menyejahterakan kaum dhu’afa. “Af’alul muta’addi afdhalu minal qashir (ibadah sosial lebih baik daripada ibadah individual)” Itulah kalimat yang sering beliau sampaikan.
Kemunculan pendapat ini berkelindan dengan masih banyaknya problem kemiskinan dan kefakiran yang belum tuntas di negeri ini. Sehingga alangkah baiknya harta yang banyak itu digunakan untuk menyelesaikan problem ini, ketimbang beribadah haji berkali-kali. Terlebih lagi, haji kedua dan seterusnya hukumnya sunah, tidak wajib.
Kritik yang dilontarkan almarhum Kiai Ali ini sebenarnya sudah ditegaskan Imam Al-Ghazali sedari dulu. Dalam kitab Ihya Ulumuddin jilid tiga, ia menjelaskan panjang lebar terkait tipu daya. Siapa saja bisa terpedaya baik orang berilmu, sufi, maupun pemilik harta. Khusus bagi orang berharta (arbabul mal), di antara bentuk tipu dayanya adalah sebagai berikut:
Artinya, “Mereka bersikeras mengeluarkan harta untuk pergi haji berulang kali dan membiarkan tetangganya kelaparan. Ibnu Mas’ud berkata, ‘Pada akhir zaman, banyak orang naik haji tanpa sebab. Mudah bagi mereka melakukan perjalanan, rezeki mereka dilancarkan, tapi mereka pulang tidak membawa pahala dan ganjaran. Salah seorang mereka melanglang dengan kendaraannya melintasi sahara, sementara tetangganya tertawan di hadapannya tidak dihiraukannya.”
Mereka menyangka dengan menghabiskan harta untuk naik haji berulang kali itu dianggap lebih mulia di sisi Allah, ketimbang mendermakan harta untuk fakir miskin. Inilah salah satu bentuk tipu daya bagi orang berharta menurut Al-Ghazali. Lebih baik kelebihan harta yang dimiliki diprioritaskan untuk membantu fakir miskin, pesantren yang terbengkalai, anak sekolah yang serba kekurangan, dan amal sosial lainnya.
Karenanya, kita perlu membuat skala prioritas dalam beribadah. Ketika di hadapkan dengan banyak peluang beribadah, pilihlah ibadah yang lebih banyak maslahatnya, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Sebagaimana dikatakan ‘Izzuddin bin ‘Abdul Salam dalam Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, “Apabila dihadapkan dua kemaslahatan dalam satu waktu, usahakan melakukan keduanya. Bila tidak mungkin, dahulukanlah mana yang paling maslahat dan utama,” Wallahu ‘alam. (Hengki Ferdiansyah)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: 3 Persiapan di Bulan Sya’ban, Menyambut Bulan Ramadhan
2
Khutbah Jumat: Mari Persiapkan Diri Menyambut Ramadhan
3
PBNU-BGN Bakal Teken MoU Soal MBG di Pesantren, Jangkau 5 Juta Santri
4
Khutbah Jumat: Perbanyak Shalawat di Bulan Sya'ban
5
Dibarengi Munas dan Konbes NU 2025, Puncak Harlah Ke-102 NU Digelar Malam Ini
6
PBNU dan BGN Sinergi Program MBG dan Pembuatan Dapur Sehat di Pesantren NU
Terkini
Lihat Semua