Syariah

Fiqih Bencana: Perihal Risiko Tabungan Investasi dan Utang Nasabah

Jum, 26 Oktober 2018 | 14:15 WIB

Fiqih Bencana: Perihal Risiko Tabungan Investasi dan Utang Nasabah

Ilustrasi (Getty)

Mudlarabah merupakan bagian dari produk bagi hasil yang disiapkan oleh perbankan. Apabila dalam paket bagi hasil akad ini tidak disertai dengan ketentuan tempat atau obyek investasi, maka ia masuk dalam kategori mudlarabah muthlaqah. Namun, apabila ada penyertaan syarat tempat dan obyek investasi, maka disebut mudlarabah muqayyadah. Gabungan antara mudlarabah muthlaqah dan mudlarabah muqayyadah ditambah dengan ketentuan bolehnya pengelola ikut ambil bagian dalam menginvestasikan dananya guna mengembangkan usaha disebut dengan istilah musyarakah mudlarabah

Umumnya praktik mudlarabah dilakukan dengan pola 100 persen modal disediakan oleh pemodal. Khusus untuk musyarakah mudlarabah (kemitraan dan bagi hasil), mudlarib (pengelola) pada perkembangan berikutnya bisa mengikutsertakan dananya guna mengembangkan usaha. Tentunya dalam hal ini tergantung pada transaksi dan janji yang dibangun antara pihak pemodal dan mudlarib-nya. 

Jika menilik dari pola akad mudlarabah ini, maka jenis-jenis produk mudlarabah dalam dunia perbankan, adalah mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Produk tabungan investasi

Yang masuk dalam kelompok tabungan investasi ini antara lain deposito dan reksadana. Kiranya, produk deposito masuk dalam rumpun mudlarabah muthlaqah, sementara produk reksadana masuk dalam rumpun mudlarabah muqayyadah. Pada mudlarabah muthlaqah, nasabah berperan selaku pemodal, sementara bank berperan selaku mudlarib (pengelola). Obyek investasi tidak disyaratkan untuk ditunjukkan. 

Sementara itu, pada mudlarabah muqayyadah, nasabah berperan selaku pemodal, sementara bank berperan selaku wakil pemodal. Selaku wakil, ia berperan menyalurkan investasinya ini sesuai dengan kehendak dari nasabah. Dalam hal ini, obyek transaksi bersifat sudah ditentukan. Contoh kongkretnya adalah akad reksadana. Lantas, siapakah mudlarib-nya? Mudlarib-nya adalah pemilik usaha atau pengguna dana yang disalurkan oleh bank atas nama amanat selaku wakil dari nasabah. 

2. Produk pembiayaann

Untuk produk pembiayaan yang memakai akad mudlarabah, misalnya adalah akad istishna’, musaaqah, istithmār, atau bahkan akad salam. Tapi, untuk akad salam nampaknya kecil kemungkinan atau bahkan tidak sama sekali. Rumpun akad salam yang masuk adalah istishnā’ dan istithmār. Karena sifatnya juga berbasis jual beli, maka dalam hal ini, syarat qabdlu (penerimaan) dalam bentuk produk menjadi salah satu syarat pertimbangan. Karena setelah qabdlu, sifat kepemilikan barang sudah beralih ke pelaksana. Dalam konsep ini, maka praktik mudharabah hampir tidak ada  bedanya dengan murābahah (jual beli dengan porsi keuntungan bagi penjual). 

Yang paling memungkinkan masuk ke dalam unsur pembiayaan ini adalah akad mudharabah musyarakah. Contoh, misalnya pembiayaan ekspor-impor. 

Mencermati kedua produk mudlarabah yang berlaku pada perbankan di atas, maka dalam situasi terdampak bencana yang menghabiskan barang milik, untuk produk tabungan investasi mudlarabah muthlaqah, yang mana nasabah berperan selaku pemilik modal, sementara bank berperan selaku mudlarib, secara fiqih akan berlaku hukum sebagaimana  yang terjadi pada produk akad jual beli murābahah. Jadi, berdasarkan hukum asalnya, bank masih dibenarkan untuk tidak turut serta menanggung faktor kerugian disebabkan hilangnya modal sudah bukan lagi tanggung jawab perbankan. Pertimbangan dalam hal ini adalah bank berperan selaku mudlarib yang bertanggung jawab hanya apabila terjadi itlaf (rusak) bilamana disebabkan salah pengelolaan. Faktor pengecualian tentu terjadi apabila bank berada di wilayah yang tidak terimbas bencana. 

Yang jadi soal adalah kondisi kemutlakan akad pengelolaan ini yang memungkinkan penyalurannya ada di wilayah bencana, atau rawan bencana. Padahal mudlarib-nya (bank) tidak berada di wilayah bencana. Bagaimana pertanggungan bank terhadap dana investasi nasabah? Dalam hal ini membutuhkan banyak pertimbangan khususnya terkait dengan status rawan bencana atau tidaknya suatu daerah. Dan di sinilah pentingnya andil Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) nasabah karena didalamnya masuk juga dana haji masyarakat.

Untuk akad musyarakah mudlarabah, maka batalnya akad tergantung pada keputusan dua pihak, karena pada dasarnya dalam akad ini tersimpan unsur kerjasama/kemitraan (musyarakah) antara nasabah yang menerima pembiayaan (debitur) dan perbankan (kreditur). Mudlarabah musyarakah mensyaratkan adanya perhitungan kembali manakala terjadi penambahan modal oleh pelaksana ke dalam usaha yang dilaksanakan. Dengan demikian, dalam kondisi bencana, pihak bank tidak bisa melakukan klaim penagihan kepada nasabah korban bencana disebabkan karena keharusan untung rugi bisa ditanggung bersama antara pelaku dan bank. 

Akad yang bisa masuk ke dalam bagian mudlarabah musyarakah ini antara lain adalah akad istithmar, akad berbasis akad salam, seperti akad musāqah. Dalam akad istithmar, seorang petani harus menjual produk hasil pertaniannya kepada bank disebabkan sudah terikat dengan janji penjualan produk dengan harga di depan dengan bank. Selagi produk belum diterimakan, maka belum terjadi yang namanya jual beli. Proses mendapatkan hasil produk ini merupakan bagian dari investasi bank, sehingga apabila terjadi kasus darurat, maka bank juga turut menanggungnya. Kebijakan yang berlaku untuk akad ini yang paling memungkinkan adalah pemutihan, atau hapus tagih ke nasabah. 

Masalahnya kemudian, segala produk murabahah dan mudlarabah, karena di bank konvensional umumnya adalah dijalankan dengan praktik qardlu (utang piutang), maka dianggap bahwa segala tanggung jawab juga berhak diterapkan ke dalam produk syariah lewat bank syariah. Term kredit masih umum dipergunakan dalam praktik. Sementara bila dilihat dari akad, seharusnya tidak masuk akad qardlu. Inilah yang perlu penyikapan sehingga penting kembali untuk merujuk ke asal akad bagaimana relasi nasabah dan bank dibangun di awal kali transaksi. Wallahu a’lam


Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim