Dewasa ini marak berkembang jasa-jasa produk perbankan syariah, seperti obligasi syariah, reksadana syariah, efek syariah, saham syariah, dan lain sebagainya. Semangat dari pendirian perbankan syariah di Indonesia ini adalah tidak luput dari karena adanya perhatian terhadap mayoritas penduduk Indonesia yang didominasi oleh umat Islam.
Hal ini berbuntut kepada kewajiban dari seorang presiden (imam) dan/atau yang mewakilinya untuk menjaga kualitas diri masyarakat yang dinaunginya dalam bingkai ajaran agamanya, sebagaimana hal ini disinggung dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara melindungi dan menjamin pelaksanaan setiap pemeluk agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Dalam bingkai masyarakat yang terdiri atas umat Islam, menandakan bahwa kewajiban negara tersebut adalah mengupayakan agar perjalanan syariat agama khususnya dalam bidang muamalah yaumiyah warganya berlangsung sesuai dengan konsep ajarannya.
Terkait dengan masalah tersebut, maka dalam bidang keuangan dan sirkulasi muamalah warganya, negara berkewajiban menyediakan fasilitas yang bisa membebaskan warganya dari praktik-praktik yang dilarang oleh syariat. Suatu misal, adalah konsep riba. Dengan demikian, maka wujud tanggung jawab negara terkait dengan upaya membebaskan warganya dari praktik riba ini, maka ia harus menyediakan sebuah badan/jasa keuangan yang zero riba.
Inilah pangkal utama berdirinya perbankan syariah yang secara lahiriah bertolak belakang dari perbankan konvensional yang justru melegalisasi riba (bunga) namun dalam konstruk yang terukur. Semangat dari kedua model perbankan ini sebenarnya adalah sama, yaitu membawa kemaslahatan bagi warga negara Indonesia. Hanya saja, untuk perbankan syariah lebih mengerucut lagi yakni kemaslahatan umat Islam dan menyediakan jasa bebas riba (zero riba). Dengan demikian, bank/jasa keuangan syariah, dalam hal ini jelas meneguhkan standing point-nya sebagai antitesa dari bank konvensional. Ia merupakan kebalikan. Jika merupakan kebalikan, maka keduanya tentu ada pangsa saing. Daya saing mutlak harus dikembangkan selama tidak keluar dari rel utama kemaslahatan dan bingkai ajaran.
Permasalahan utama peningkatan daya saing lembaga dan produk jasa syariah ini sebenarnya adalah bagaimana ia melakukan upaya menghidupi lembaga/jasa syariah ini, padahal ia harus bebas bunga? Jika dalam bank konvensional, keberadaan bunga merupakan bagian dari upaya financing terhadap perbankan, sementara dalam bank syariah harus diambil darimana?
Tentu jawabnya adalah dari usaha yang dipandang legal oleh syariah. Hasil dari usaha tersebut bisa membawa kepada ribhun atau laba yang secara mutlak adalah sah dalam bingkai fiqih. Dengan demikian, ruang lingkup usaha lembaga ini pasti tidak jauh dari akad musyarakah, murabahah, mudlarabah, mudayanah (kredit), qardlu, ijarah, istishna’ (penciptaan lapangan usaha/padat karya) dan mubaya’ah (jual beli). Unsur akad lain sebagai penopang adalah dlaman, ju’alah, hiwalah, wakalah dan kafalah.
Dari kesekian akad yang secara resmi mendapatkan legalitas syari’at tersebut, pihak perbankan syariah masih harus memilih lagi, yakni manakah di antara kesekian produk akad syariah yang memiliki sekuritas (jaminan usaha) yang aman bagi finansial dan funding perbankan. Mengapa? Sekali lagi adalah karena ia harus tetap berada dalam konteks zero riba, aman terhadap eksistensi lembaga, serta maslahah bagi pengguna (nasabah).
Dalam konteks mudayanah (hutang piutang/kredit), misalnya. Jika dalam bank konvensional, pihak pihak bank langsung menentukan rasio bunga setiap bulannya kepada nasabahnya. Padahal jelas, konsep ini dilarang oleh syariat. Dengan demikian, pihak perbankan syariah harus memakai konsep apa untuk menggantikan rasio suku bunga ini (rate of interest) ini? Apakah dengan murabahah (bagi hasil)? Jika memaksakan diri dengan akad murabahah, berarti pihak bank memberi beban margin pembagian hasil usaha dengan pihak nasabah.
Jika demikian, apa bedanya dengan lembaga perbankan konvensional? Jika perbankan konvensional berbeban bunga, sementara perbankan syariah berbeban margin. Secara produk, jika memakai murabahah ini, tentu daya saing perbankan syariah akan dipandang kalah oleh nasabah, dan nasabah akan banyak lari ke perbankan konvensional, karena efek jumlah total akhir margin pembagian yang bisa melebihi suku bunga yang harus ditanggung nasabah dari perbankan konvensional. Inilah yang menyebabkan kemudian perbankan syariah tidak memperkenalkan akad mudayanah dan qardlu ke dalam bagian produk jasa syariahnya karena faktor risiko terhadap perbankan, khususnya dalam konteks bisnis (mu’awadah).
Pelarian kepada akad mudlarabah dan musyarakah ternyata juga membawa masalah bagi pihak penyedia jasa syariah. Mengapa? Karena selama ini yang berlaku dalam perbankan konvensional adalah menjamin keamanan dan keuntungan terhadap dana nasabah. Jaminan keamanan ini dalam jurisprudensi fiqih seharusnya tidak ditemukan, karena dalam konteks mudlarabah, adanya untung rugi merupakan tanggung jawab bersama. Kenyataannya, apa mungkin hal tersebut diberlakukan pada nasabah? Ini juga menjadi bagian permasalahan dalam bank syariah, karena bank syariah dalam ajang kompetisinya dengan bank konvensional, ia juga harus menawarkan janji kepada nasabah sebagai yang akan selalu untung. Akibatnya, tidak mungkin bagi bank untuk berbagi kerugian dengan pemilik modal (nasabah). Ini konsep yang selain membuat beban bagi bank juga tidak ditemukan dalam konsep fiqih.
Dalam suatu akad musyarakah, pihak pemodal (shahibul mâl) umumnya adalah berasal dari kedua pihak antara ‘amil dan shahibul mâl. Realitas di lapangan, pihak perbankan hanya berlaku sebagai pihak wakil dari ‘amil. Ia hanya berperan dalam mengatur dan mengorganisasikan modal tersebut ke unit-unit usaha tempat investasi (menanamkan modal). Dalam konteks ini, akad yang berlaku antara bank dan shahibul mâl adalah wakalah. Efek berantainya, adalah terjadi dua akad atau lebih dalam satu transaksi antara perbankan dan nasabah. Ini juga yang membuat dilema bagi perbankan syariah.
Berbagai dilema ini akan senantiasa berkembang seiring perkembangan zaman. Jika perbankan syariah tidak bisa mencari solusi bagi permasalahannya tersebut dengan tetap menyesuaikan diri dengan iklim kompetisi dengan perbankan konvensional, maka lambat laun ia akan ditinggalkan oleh nasabah. Lantas di mana letak unsur kemaslahatannya bagi umat, yang padahal dalam konsep ajaran Islam, adalah: al-Islâmu ya’lu wa lâ yu’la ‘alaih, yang artinya Islam itu unggul dan tidak terkalahkan keunggulannya? Pemikiran semacam ini yang musti disadari oleh semua kalangan demi merawat konsepsi syariah yang sudah terlanjur digulirkan demi kemaslahatan umat Islam pada umumnya di Negara Indonesia tercinta ini.
Walillaahu al-musta’an!
Muhammad Syamsudin, Penulis adalah pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean, Kab. Gresik, Jatim