Sirah Nabawiyah

Wanita Yahudi yang Menjadi Mualaf setelah Meracuni Rasulullah

Ahad, 3 Oktober 2021 | 07:00 WIB

Wanita Yahudi yang Menjadi Mualaf setelah Meracuni Rasulullah

Wanita Yahudi yang sangat licik itu mencampuri semua makanan dengan racun. Bahkan, bagian Rasulullah ia campur dengan campuran racun yang lebih banyak dari lainnya.

Setelah kaum Yahudi kalah dalam Perang Khaibar, kemudian menyerah, Rasulullah memberikan kebebasan untuk tetap tinggal di tanah kelahiran mereka, dan melanjutkan pertaniannya. Hanya saja, sesuai dengan kesepakatan yang sudah mereka ikat; antara kaum Muslimin dan kaum Yahudi, umat Islam berhak menerima sebagian dari hasil pertanian mereka.


Syekh Said Ramadhan al-Buthi menyebutkan, setelah keadaan tenang, Rasulullah menerima hadiah dari seorang perempuan Yahudi bernama Zainab binti Harits, istri Salam bin Masykum, berupa hidangan domba panggang. Namun sebelum hidangan itu diberikan kepadanya, Zainab bertanya kepada para sahabat tentang bagian mana dari daging domba yang paling disukai Rasulullah.


Para sahabat tentu sangat tahu, yaitu paha bagian depan. Sejurus kemudian, Zainab menyiapkan paha tersebut untuk dihidangkan kepadanya. Hanya saja, wanita Yahudi yang sangat licik itu mencampuri semua makanan dengan racun. Bahkan, bagian Rasulullah ia campur dengan campuran racun yang lebih banyak dari lainnya.


Makanan beracun yang dihadiahkan kepada Rasulullah merupakan motif balas dendam yang dilakukan oleh Zainab untuk membunuh Rasulullah dan para sahabat, setelah suaminya terbunuh dalam perang Khaibar. Zainab tidak memiliki cara lain untuk membunuh Rasulullah selain dengan cara memberi makanan beracun.


Rasulullah duduk berdampingan dengan sahabat Basyar bin Barra bin Marur, ketika makanan itu dihidangkan kepadanya dan para sahabat. Setelah semua makanan sudah siap untuk dimakan, Rasulullah mengambil paha depan domba yang sudah dipanggang itu, dan memasukkan sebagian dagingnya ke dalam mulut Rasulullah, akan tetapi tidak langsung menelannya.


Di saat yang bersamaan, Basyar bin Barra justru langsung memakan daging yang dicampur dengan racun tersebut. Saat itulah, Rasulullah menampakkan mukjizatnya. Syekh al-Buthi menyebutkan:


إِنَّ هَذَا الْعَظْمَ لَيُخْبِرَنِي أَنّهُ مَسْمُومٌ


Artinya, “Sungguh, daging ini telah memberitahuku, ia sudah (dicampuri) dengan racun.” (Syekh Al-Buthi, Fiqhus Sirah Nabawiyah ma’a Mujazin li Tarikhil Khilafatir Rasyidah, [Bairut, Darul Fikr, Cetakan keempat: 2019], halaman 262).


Itulah salah satu mukjizat Rasulullah. Hewan yang sudah mati bahkan sudah dimasak sekali pun memberitahukan kepadanya bahwa daging yang akan dimakan telah dicampur dengan racun. Hal ini tentu tidak lepas dari penjagaan Allah secara langsung kepada Rasul-Nya.


Syekh ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdadi, atau yang juga dikenal dengan Syekh al-Khazin (wafat 741 H), mengatakan, setelah kejadian ini Rasulullah memanggil Zainab, dan menanyakan semua perbuatan kejinya ini. Perempuan Yahudi itu pun mengakui perbuatan jahatnya. Rasulullah bertanya kepada Zainab, “Mengapa kau melakukannya?” Zainab menjawab,


قَالَتْ بَلَغْت مِنْ قَوْمِي مَا لَمْ يَخَفْ عَلَيْك. فَقُلْت: إنْ كَانَ مَلَكًا اسْتَرَحَ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ نَبِيّا فَسَيُخْبَرُ


Artinya, “(Zainab) berkata, 'Telah sampai dari kaumku segala hal tentang dirimu. Maka, aku berkata kepada mereka, 'Jika memang dia (Rasulullah) seorang raja, dia pasti mati (dengan makanan yang beracun) itu. Namun, jika memang ia benar seorang nabi, dia pasti akan diberi tahu.'” (Syekh al-Khazin, Tafsir Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, [Bairut, Darul Fikr, cetakan pertama: 1992, tahqiq: Syekh Muhammad ‘Ali], juz VI, halaman 201).


Setelah Zainab mengaku atas semua pekerjaan dan ulahnya yang sangat fatal itu, ternyata Rasulullah memberikan ampunan kepadanya, meskipun membuat Basyar bin Barra tewas karena terlanjur menelan daging domba beracun yang dia hidangkan. Namun ternyata, keputusan Rasulullah itu mengandung hikmah yang sangat luar biasa, di mana akal satu sahabat pun tidak sampai kepadanya. Setelah insiden itu, wanita pembubuh racun itu langsung masuk Islam saat itu juga di hadapan Rasulullah.


Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam kitabnya mengatakan, putusan Rasulullah saat itu menuai perbedaan pendapat di kalangan para ulama sejarah, perihal nasib perempuan yang baru masuk Islam setelah peristiwa itu berlalu. Apakah Zainab dijatuhi hukuman mati, sebagai qishash (hukuman) atas tewasnya Basyar, ataukah diampuni tanpa harus mendapatkan hukuman mati.


Ibnu Sa’d menyatakan, Rasulullah menyerahkan Zainab kepada keluarga Basyar, dan mereka menghukum mati perempuan itu. Namun, pendapat yang lebih sahih sebagaimana yang disebutkan Imam Muslim, bahwa Rasulullah berkata kepada Zainab, “Allah tidak mungkin memberimu kemampuan untuk membunuhku.” Saat itu para sahabat bertanya, “Apakah kita akan menghukum mati perempuan ini, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Tidak.” (Al-Mubarakfuri, ar-Rahiqul Makhtum, [Wazaratul Auqaf, Qatar: 2007], halaman 364).


Hikmah di Balik Upaya Pembunuhan Rasulullah melalui Racun

Syekh Said Ramadhan al-Buthi dalam kitab sirahnya mengatakan, ada hikmah luar biasa di balik kejadian ini, yaitu: peristiwa turunnya wahyu yang memberitahu Rasulullah tentang racun dalam daging domba yang akan beliau makan. Hanya saja, atas ketetapan yang telah Allah gariskan, Basyar bin Barra terlebih dulu menelan daging beracun itu sebelum Rasulullah memberitahu bahwa daging yang akan mereka makan dibubuhi racun. Basyar pun tewas karenanya.


Menurut al-Buthi, peristiwa ini memberikan sebuah pengertian dan keyakinan perihal betapa kukuhnya penjagaan Allah terhadap nabi dan rasul-Nya dari kejahatan dan tipu muslihat orang-orang yang hendak melakukan kejahatan kepadanya. Ini bukti nyata dari kebenaran ayat Al-Qur’an yang berbunyi:


وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ 


Artinya, “Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (Surat Al-Ma’idah).


Namun, sebagaimana yang telah disebutkan, para ulama sejarah berbeda pendapat perihal apakah perempuan Yahudi yang meracuni Rasulullah dihukum qishash atau tidak. Mayoritas ulama menyatakan bahwa wanita tersebut tidak mendapatkan hukum qishash sebagaimana penjelasan di atas.


Menurut Al-Buthi, jika mengacu pada pendapat mayoritas ulama di atas, maka sangat tepat jika dikatakan bahwa hukuman qishash menjadi tidak berlaku terhadapnya, karena ada sebuah kaidah yang telah disepakati mayoritas ulama, yaitu:


الإِسْلاَمَ يَجُبُّ مَا قَبْلَهُ، وَإِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ التِي ارْتَكَبُوهَا مِنْ قَبْلُ


Artinya, “(Masuk) Islam itu menghapus semua dosa sebelumnya. Sungguh Allah mengampuni dosa-dosa yang dilakukan mereka sebelum masuk Islam.” (Al-Buthi, 2019: 263).


Dari kaidah di atas dapat disimpulkan, yang harus mendapatkan hukum qishash hanyalah pembunuhan yang dilakukan seseorang yang telah memeluk Islam. Jika yang melakukan pembunuhan itu seorang non-Muslim, hal itu dianggap sebagai hirabah (penyerangan). Sedangkan (sanksi) penyerangan, sebagaimana diketahui, dapat gugur dengan sendirinya jika orang yang melakukannya itu masuk Islam.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.


Konten ini hasil kerja sama NU Online dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI