Sirah Nabawiyah

Sejarah Perang Khandaq: Kecerdikan Nu’aim bin Mas’ud dan Kepastian Janji Allah

Sel, 18 Mei 2021 | 14:00 WIB

Sejarah Perang Khandaq: Kecerdikan Nu’aim bin Mas’ud dan Kepastian Janji Allah

Dalam perang Khandaq datang pertolongan yang Allah janjikan kepada nabi-Nya, berupa badai pasir yang meluluhlantakkan tenda-tenda dan menakut-nakuti tunggangan musuh. (Ilustrasi: via ok.ru)

Di antara sejarah besar dalam Islam yang terjadi pada bulan Syawal adalah perang Khandaq. Yaitu peristiwa bersejarah yang terjadi pada tahun kelima Hijriah. Peristiwa Khandaq membuat umat Islam mendapatkan kedudukan lebih kuat dan strategis dalam konstalasi politik suku Arab. Perang antara 3.000 personel umat Islam melawan koalisi kaum kafir dengan kekuatan 10.000 personel, bahkan menurut Syekh Wahbah Zuhaili, jumlah personel kaum kafir 15.000 pasukan, dengan koalisi antara orang kafir Makkah, kaum Yahudi, orang-orang Quraisy, dan beberapa kelompok konspirasi.

 


Perang Khandaq dipicu oleh seruan dan ajakan orang-orang Yahudi saat itu kepada beberapa kelompok dan pembesar suatu suku, lantaran mereka sangat emosi dan merasa sangat terhina ketika melihat kaum Muslimin semakin luar biasa dan semakin luas dalam menyebarkan agama Islam. Tidak hanya itu, kaum Yahudi merasa iri ketika melihat keuntungan yang selalu diraih umat Islam. Kaum Yahudi mulai membangun strategi, dengan cara melakukan konspirasi baru untuk mengumpulkan pasukan yang banyak, guna menyerang kaum Muslimin.


Syekh Wahbah Zuhaili menyebutkan dalam kitabnya,


وكان سبب الوقعة اليهود. فقد خرج نفر من بني النضير وبني قريظة، فقدموا على قريش بمكة، فدعوهم إلى حرب رسول الله ﷺ ، وقالوا لهم: إن دينكم خير من دينه، ثم جاؤوا غطفان وقيسا وعيلان وبني مرة وأشجع، فدعوهم إلى الحرب في المدينة، فتوافق المعسكران: الوثني والكتابي على تكوين جيش موحد بقيادة أبي سفيان.


Artinya, “Sebab terjadinya perang Khandaq adalah ulah orang Yahudi. Keluar sebagian golongan dari Bani Nudair dan Bani Quraizhah, kemudian menghadap orang-orang Quraisy di Makkah, lantas mereka mengajaknya untuk memerangi Rasulullah ﷺ. Mereka berkata kepada orang-orang Quraisy: sesungguhnya agama kalian lebih baik dari agama Muhammad. Setelah itu, mereka menghadap kelompok Ghatafan, Kaisan, Ilan, Bani Marrah, dan Asja’, dan mengajaknya untuk berperang ke Madinah, maka kedua kelompok (kafir penyembah barhala, dan ahli kitab) sepakat untuk membentuk tentara di bawah kepemimpinan Abu Sufyan” (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir liz Zuhaili, juz 21, h. 263).


Rencana jahat itu terdengar oleh kaum Muslimin, dan disampaikan kepada Rasulullah ﷺ. Kemudian Nabi mengajak para sahabat untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah itu, Salman al-Farisi menawarkan sebuah gagasan yang cemerlang. Seorang sahabat pendatang dari Persia itu mengusulkan agar kaum Muslimin menggali parit di wilayah utara kota Madinah, yaitu daerah yang bisa menghubungkan antara kedua ujung daerah Harran Waqim dan Harrah al-Wabrah. Daerah ini juga merupakan satu-satunya jalan terbuka di hadapan pasukan musuh. Sedangkan sisi lainnya sudah menjadi benteng, karena terdapat gunung-gunung tinggi, yang dipenuhi pohon kecil, dan dikelilingi pohon-pohon kurma, sehingga bisa menyulitkan unta dan pejalan kaki untuk melewatinya (Tafsir Munir liz Zuhaili, juz 21, h. 263).


Strategi yang diusulkan sahabat Salman al-Farisi diterima Rasulullah ﷺ  beserta para sahabat yang lain, mengingat jumlah pasukan tentara musuh yang begitu besar. Kemudian, dimulailah proses penggalian.


Di bawah panasnya terik Matahari, Rasulullah ﷺ  dan para sahabatnya menggali tanah dengan ukuran panjang mencapai mencapai 5.000 dzira’ (sekitar 3 kilometer), lebarnya 7-10 dzira’ (sekitar 4-6 meter), dan kedalaman 9 dzira’ (sekitar 5,5 meter). Dan yang perlu dijadikan teladan dalam penggalian parit ini, bahwa Rasulullah tidak hanya memerintahkan para sahabatnya, melainkan menjadi pengawal dan ikut bergotong royong sampai penggalian itu selesai.


Ketika pasukan Quraisy dan berbagai konspirasinya tiba di Madinah, mereka dikagetkan dengan parit yang menghalangi jalan mereka untuk memasuki kota Madinah guna menyerang kaum Muslimin. Berbagai upaya mereka lakukan untuk menerobos parit, namun selalu gagal, mereka berkata:


هذه مكيدة ما كانت العرب تكيدها، فوقعت مصادمات، وحاول بعض المشركين اقتحام الخندق، فرمي بالحجارة، واقتحمه بعضهم بفرسه فهلك أو قتل


Artinya, “Ini (parit) adalah tipu daya. Tidak ada orang Arab yang bisa tertipu. Maka, terjadilah benturan, sebagian kaum Musyrikin menembus pertahanan parit, melempari dengan batu, dan ada juga yang menerobos dengan kudanya, namun ia celaka bahkan ada yang mati” (Tafsir Munir liz Zuhaili, juz 21, h. 263).


Kecerdikan Nu’aim bin Mas’ud
Sebelum pertempuran berkecamuk antara kaum Muslimin dan pihak musuh, Rasulullah dan para sahabat merasakan ketakutan. Kemudian datanglah Nu’aim bin Mas’ud dari golongan bani Ghatafan, ia berkata pada Rasulullah:


يا رسول الله إني قد أسلمت وإن قومي لم يعلموا بإسلامي فمرني بما شئت فقال رسول الله ﷺ : إنما أنت فينا رجل واحد، فخذّل عنا إن استطعت، فإن الحرب خدعة.


Artinya, “Wahai Rasulullah, sungguh aku telah masuk Islam. Dan kaumku tidak mengetahui bahwa aku telah masuk Islam. Perintahkanlah kepadaku, apa saja yang engkau kehendaki. Rasulullah ﷺ  menjawab: engkau hanya seorang dari pihak kami, kembalilah kepada kaummu, karena sesungguhnya perang ini (Khandaq) adalah tipu daya.”

 


Setelah itu, Nu’aim berangkat menuju kubu bani Quraizhah , dan ia berhasil meyakinkan mereka untuk tidak ikut dalam pertempuran melawan Rasulullah ﷺ . Nu’aim berkata kepada mereka: “Jangan kalian membantu mereka (Quraisy) memerangi Nabi Muhammad sebelum kalian minta jaminan kepada kedua sekutu kalian, yaitu pemuka atau bangsawan terpandang dari mereka, sebagai jaminan atas peperangan ini, atau kalian mati bersama-sama dengan mereka.”


Selanjutnya, Nu’aim segera beranjak menuju kubu Quraisy dan Ghatafan dan ia kembali berhasil merayu mereka agar tidak melanjutkan serangannya pada Nabi Muhammad. Nu’aim berkata bahwa bani Quraizhah menyesal memutus perjanjian dengan Nabi Muhammad, bahkan mereka berjanji akan membantu Rasulullah menghadapi pasukan Ahzab.


Kepastian Janji Allah
Tidak berakhir sampai di situ, setelah Nu’aim yakin bahwa pasukan Ahzab tidak akan melancarkan serangan kepada kaum Muslimin, diam-diam ia pergi bergabung dengan pasukan Rasulullah ﷺ . Dan datanglah pertolongan yang Allah subhanahu wata’ala janjikan kepada nabi-Nya, berupa badai pasir yang meluluhlantakkan tenda-tenda dan menakut-nakuti tunggangan musuh. Akhirnya, mereka memutuskan untuk menghentikan pengepungan dan kembali ke negerinya masing-masing dengan kekalahan yang memalukan.


Kejadian itu menjadi bukti kebenaran firman Allah, yang telah menjanjikan kemenangan pada nabi-Nya dan bahkan akan meluluhlantakkan pihak sekutu. Dalam Al-Qur’an Allah subhanahu wata’ala berfirman:


يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ، إِذْ جاءَتْكُمْ جُنُودٌ، فَأَرْسَلْنا عَلَيْهِمْ رِيحاً وَجُنُوداً لَمْ تَرَوْها، وَكانَ اللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ بَصِيراً


Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika bala tentara datang kepadamu, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan bala tentara yang tidak dapat terlihat olehmu. Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”( Al-Ahzab: 9).


Imam Ibnu Katsir ad-Dimisqi dalam kitab tafsirnya mengatakan, bahwa angin yang Allah kirimkan saat itu adalah angin saba, yaitu angin yang sangat dingin dan keras tiupannya. Pendapat ini diperkuat oleh hadits Rasulullah, yaitu:


نصرت بالصبا، وأهلكت عاد بالدبور


Artinya, “Aku diberi pertolongan melalui angin saba, dan kaum ‘Ad dibinasakan dengan angin dabur (puyuh).”


Ibnu Katsir juga menyampaikan sebab diberangkatkannya angin saba pada malam itu, bahwa angin selatan (angin saba) berkata pada angin utara (angin yang berhawa panas) di malam pasukan Ahzab ingin menyerang Rasulullah: ‘marilah kita pergi untuk menolong Rasulullah ﷺ ’. Namun, angin utara menjawab: ‘sesungguhnya, hawa panas tidak dapat mengalir di malam hari.’ Oleh sebab itu, menurut Ibnu Katsir akhirnya angin saba-lah yang berangkat untuk membinasakan pasukan Ahzab (Imam Abul Fida Ibnu Katsir ad-Dimisqi, Tafsir Ibnu Katsir, juz 6, h. 384).



Sunnatullah, santri sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.