Sirah Nabawiyah

Sayyidah Nafisah: Wanita Salehah yang Menikah atas Petunjuk Rasulullah

Sel, 17 Agustus 2021 | 09:30 WIB

Sayyidah Nafisah: Wanita Salehah yang Menikah atas Petunjuk Rasulullah

Sayyidah Nafisah nenikah atas petunjuk Rasulullah saw

Jika hendak mencari sosok wanita ahli ibadah yang sangat taat, akademisi murni tanpa banyak berdikari, zuhud pada dunia, sangat berhati-hati, mempunyai banyak karamah, sangat tangkas dan lebih unggul dari wanita lainnya, serta memiliki garis keturunan mulia, maka figurnya adalah Sayyidah Nafisah. Wanita salehah yang lahir pada Rabu 11 Rabi’ul Awal 145 H di kota Makkah masa kekhilafahan Sultan Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad bin ‘Ali bin Abdullah bin ‘Abbas.

 

Hari kelahirannya bertepatan dengan hari kelahiran kakeknya yang mulia, Nabi Muhammad saw, nabi penutup bagi para nabi dan rasul, utusan paling mulia dan paling sempurna. Seolah, hari kelahiran Sayyidah Nafisah memberikan isyarat yang sangat jelas, bahwa kelak ia akan tumbuh menjadi wanita mulia, suci, dan memiliki derajat tinggi. Kemuliannya masyhur di kalangan penduduk bumi dan penduduk langit.

 

Nama Lengkap dan Kisah Kelahirannya

Ia bernama lengkap Sayyidah Nafisah binti Sayyid Hasan al-Anwar ibn Sayyid Zaid al-Ablaj ibn Sayyid Hasan ibn Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Rasulullah saw. Sayyidah Nafisah lahir ketika ayahnya, Sayyid Hasan sedang duduk dalam suatu majelis di Baitullah al-Haram di kota Makkah al-Mukarramah. Saat itu ia sedang mengajarkan manusia tentang ilmu dan keimanan.

 

Di tengah-tengah pengajiannya, datang kepadanya seorang budak dengan membawa kabar bahagia, yaitu lahirnya anak perempuan. Budak itu berkata kepadanya:

 

يَا سَيِّدِي أَبْشِرْ فَقَدْ وَلَدَتْ لَكَ اللَيْلَةَ مَوْلِدَةٌ جَمِيْلَةٌ لَمْ نَرَ أَحْسَنَ مِنْهَا وَجْهًا يَتَلَأْلَأُ النُّوْرُ مِنْ جَنْبَيْهَا

 

ِArtinya, “Wahai Tuan, berbahagialah. Sungguh telah lahir untukmu malam ini, anak perempuan yang cantik, tidak pernah kami jumpai anak yang lebih cantik darinya, terpancar cahaya dari wajahnya.”

 

Ketika mendengar berita bahagia itu Sayyid Hasan langsung sujud syukur kepada Allah sebagai ungkapan terimakasih atas terkabulnya doa yang dipanjatkannya, yaitu keinginannya untuk dikaruniai anak perempuan. (Jabbar Siraj, Qisshatu Sayyidah Nafîsah, [Yaman: Maktabah Taufiqiyah], halaman 10).

 

Sayyidah Nafisah mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya sejak masih kecil. Sejak saat itu, ketakwaan dan spiritualitasnya mulai muncul. Ia sangat senang melakukan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt sejak masih belia. Ia tumbuh besar di kota Madinah , dan selalu bersama dengan wanita-wanita salehah. Perbedaannya dengan wanita-wanita biasa pada umumnya sangat tampak dalam dirinya. Ia lebih senang menghabiskan waktunya untuk beribadah, membaca Al-Qur’an dan menuntut ilmu. Bahkan, ia berhasil menghafal Al-Qur’an sejak umurnya masih sangat belia, yaitu umur tujuh tahun.

 

Kekhusukannya sejak kecil yang selalu fokus ibadah menjadi teladan. Sebab, sejak Sayyidah Nafisah lahir, ia mendapatkan keridhaan langsung dari Allah swt dan Rasulullah saw. Dalam kitab Mursyiduz Zuwar Syekh Muwaffiquddin bin Utsman (wafat 615 H) menceritakan, ketika Sayyidah Nafisah lahir Sayyid Hasan membawanya ke makam Rasulullah saw dan berkata:

 

يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنِّي رَاضٍ عَنْ اِبْنَتِي نَفِيْسَة

 

Artinya, “Wahai Rasulullah, Sungguh saya ridha pada anak perempuanku, Nafisah.”

 

Hal itu tidak dilakukannya kecuali untuk mendapatkan keridhaan dan keberkahan dari kakeknya, Rasulullah saw. Setelah ziarah itu selesai, Sayyid Hasan pulang bersama dengannya. Sesampainya di rumah, pada malam hari, Sayyid Hasan bermimpi didatangi Rasulullah saw saat tidur. Rasulullah saw bersabda kepadanya:

 

يَا حَسَنُ، اِنِّي رَاضٍ عَنْ اِبْنَتِكَ نَفِيْسَة بِرِضَاكَ عَنْهَا، وَالْحَقُّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى رَاضٍ عَنْهَا بِرِضَاي

 

Artinya, “Wahai Hasan, Aku ridha kepada putrimu, Nafisah, sebagaimana keridhaanmu kepadanya, dan Allah swt ridha kepadanya sebagaimana keridhaanku.” (Muwaffiquddin bin Utsman, Mursyîduz Zuwar ilâ Qubûril Abrâr, [Lebanon: Dârul Mishriyah, Lebanon: 1995], halaman 196).

 

Karamah Sayyidah Nafisah

Secara umum, karamah adalah suatu kejadian luar biasa yang tidak bisa dinalar oleh logika dan rasio manuisa tidak mmapu untuk mengalisianya. Karamah hanya bisa terjadi pada orang-orang yang dicintai oleh Allah dan benar-benar menjalankan semua perintah-Nya serta secara sempurna mengikuti jejak langkah Rasulullah saw. Hal itu oleh Allah tampakkan sebagai pertolongan, kemuliaan, dan kehormatan, bagi orang-orang yang dikehendaki oleh-Nya. (Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba Alawi, Bughyatul Mustarsyidîn, [Bairut, Darul Fikr: 2000], halaman 644).

 

Begitu juga dengan Sayyidah Nafisah, sebagai wanita yang sangat taat kepada semua yang Allah perintahkan, dan dengan patuh mengikuti semua jejak langkah kakeknya, ia dianugerahi berbagai karomah yang tidak bisa terjadi pada orang lain, di antaranya adalah sebagai berikut.

 

Menikah atas perintah Rasulullah saw

Wanita salehah dan taat dalam beragama, patuh pada semua yang diperintahkan kepadanya, merupakan wanita yang sangat dicari oleh setiap laki-laki. Setiap laki-laki, pasti memiliki harapan untuk hidup dan berjodoh dengan wanita salehah. Memiliki istri salehah yang taat dalam beragama tentu hal yang sangat diinginkan, sebab dengan ketaatannya dalam beragama, menunjukkan bahwa ia juga taat kepada suaminya.

 

Sayyidah Nafisah adalah sosok wanita yang memenuhi kriteria itu. Ia cantik, salehah, baik, memiliki keturunan mulia, berbudi pekerti luhur, berbicara dengan lemah lembut, ahli Al-Qur’an, berilmu, sangat takwa kepada Allah swt dan rasul-Nya. Intinya, berbagai sifat kesempurnaan ada pada dirinya.

 

Dalam kitab Mursyîduz Zuwar, Syekh Muwaffiquddin menceritakan ihwal ketika Sayyidah Nafisah hendak dilamar oleh seorang laki-laki. Tepat pada usia 16 tahun, banyak laki-laki dari kalangan bangsawan dan ulama yang senang kepadanya dan hendak melamarnya. Hal itu mereka lakukan karena Sayyidah Nafisah merupakan wanita yang sangat baik dalam beragama, sehingga bukan hanya satu dua laki-laki yang hendak melamarnya. Namun harapan para lelaki saat itu tidak mendapatkan respon dari ayahnya, Sayyid Hasan al-Anwar.

 

Perasaan yang sama ternyata juga dirasakan oleh laki-laki yang juga memiliki nasab sama dengannya, Sayyid Ishaq al-Mu’taman bin Sayyid Ja’far Shadiq bin Sayyid Muhammad Baqir bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali bin Sayyid Zainal Abidin bin Sayyidina Husain bin Sayyidina Ali dan Sayyidah Siti Fatimah az-Zahra binti Rasulullah saw. Keduanya sama-sama memiliki garis keturunan yang bersambung kepada Rasulullah saw. Sayyidah Nafisah melalui jalur Sayyidina Hasan, sedangkan Sayyid Ishaq melalui jalur Sayyidina Husain.

 

Sayyid Ishaq langsung menyampaikan niat baiknya kepada kedua orang tuanya, kemudian di musyawarahkan dengen pembesar-pembesar keturunan Sayyid Husain. Alhamdulillah, semua keluarga menyepakatinya untuk melamar Sayyidah Nafisah. Sejurus kemudian ia bersiap-siap berangkat menuju rumah wanita yang hendak dilamarnya bersama dengan ayah dan beberapa pembesar Bani Husain lainnya.

 

Sesampainya mereka di rumah Sayyidah Nafisah, mereka disambut dengan hangat dan penuh hormat oleh keluarga Bani Hasan. Pembicaraan ringan dimulai sebelum sejurus kemudian membahas urusan inti tentang maksud dan tujuan melamar Sayyidah Nafisah, namun sayang lamaran itu ditolak. Lalu Sayyid Ishaq berkata:

 

فَلَمَّا فَاتَحُوْهَا أَبَاهَا الحَسَن فِي رُغْبَةِ إِسْحَاق الزَوَاجَ مِنْ نَفِيْسَة. فَهَا لَهُمْ مَا سَمْعُوا مِنْ رَفْضِ أَبِيْهَا فَغَضَبُوا وَكَانَ أَشَدَّهُمْ غَضْبًا إِسْحَقُ

 

Artinya, “Ketika mereka mulai menyampaikan keinginanya kepada ayahnya Sayyidah Nafisah, yaitu Sayyid Hasan raperihal Sayyid Ishaq ingin menikahinya, mereka terkejut atas penolakan yang mereka dengar ayah Sayyidah Nafisah, kemudian mereka marah dan yang paling marah adalah Sayyid Ishaq.”

 

Setelah lamarannya ditolak, keluarga Sayyid Ishaq pulang ke rumah, harapan bahagia yang mereka inginkan, namun kecewa yang didapatkan. Semuanya pulang, kecuali Sayyid Ishaq. Ia justru pergi menuju Raudlah asy-Syarif di Madinah dan duduk di mihrab kakeknya (Rasulullah saw), kemudian melakukan shalat. Setelah itu ia duduk di depan makam Rasulullah saw sambil menangis dan berkata:

 

اَلسَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، يَا سَيِّدَ الْمُرْسَلِيْنَ، وَيَا حَبِيْبَ رَبِّ العَالَمِيْنَ، اِنِّي ابْنُكَ لَوْعَتِي وَأَشْكُوْ إِلَيْكَ حَاجَتِي وَأَعْرِضُ عَلَيْكَ حَالَتِي، قَدْ خَطَبْتُ نَفِيْسَةَ ابْنَةِ عَمِّي الْحَسَن فَأَبَاهَا عَلَيَّ

 

Artinya, “Rahmat salam semoga terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah, wahai pemimpin para rasul, wahai kekasih Penguasa Alam semesta, aku adalah keturunanmu yang bingung, dan aku mengadu kepadamu atas kebutuhanku, dan menghadap kepadamu tentang keadaanku. Sungguh aku meminang Sayyidah Nafisah, anak perempuan pamanku, Sayyid Hasan, namun ia menolak (lamaran)ku.”

 

Setelah menyampaikan keluh kesah dan kebingungan kepada Rasulullah saw, Sayyid Ishaq pulang ke rumahnya dengan hati sedih dan perasaan kecewa. Namun pagi hari berikutnya, ternyata Sayyid Hasan ayah Sayyidah Nafisah, datang ke rumahnya dengan membawa kabar gembira akan melangsungkan akad antara Sayyid Ishaq dan putrinya Sayyidah Nafisah saat itu juga di rumahnya. Hati yang awalnya dipenuhi dengan kesedihan berubah menjadi bahagia tiada tara. Ia langsung menyampaikan berita gembira itu kepada keluarganya dan segera datang ke rumah Sayyidah Nafisah untuk melangsungkan akad.

 

Setelah keduanya berkumpul disertai oleh keluarga besar masing-masing, sayyid Hasan bercerita, pada malam hari ia bermimpi didatangi oleh Rasulullah saw dengan wajah yang sangat tampan. Rasulullah saw nmenyampaikan salam kepadanya, kemudian berkata:

 

يَا حَسَنُ، زَوِّجْ نَفِيْسَةَ ابْنَتِكَ إِسْحَقَ المُؤْتَمَنَّ

 

Artinya, “Wahai Hasan, nikahkan Nafisah putrimu dengan Ishaq yang dipercaya.”

 

Ternyata, keluh kesah yang disampaikan oleh Sayyid Ishaq kepada Rasulullah saw mendapatkan respon dan balasan positif. Ia kemudian dinikahkan dengan Sayyidah Nafisah atas restu dan perintah Rasulullah. Akad itu terjadi pada Jumat pertama Rajab 161 H. Wallahu a'lam. (Muwaffiquddin bin Utsman, Mursyîduz Zuwar, halaman 196-197; dan Jabbar Siraj, Qisshatu Sayyidah Nafîsah, halaman 15-16).

 

 

Ustdadz Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan.