Sirah Nabawiyah

Kisah Hijrah Pertama Umat Islam

Jum, 2 Juli 2021 | 00:00 WIB

Kisah Hijrah Pertama Umat Islam

Ilustrasi Nabi Muhammad. (Foto: NU Online)

Penindasan yang dialami kaum Muslimin pada pertengahan atau akhir tahun ke-4 kenabian, pada mulanya tidak seberapa. Namun, dari hari ke hari menjadi lebih keras. Hingga pertengahan tahun ke-5 kenabian, seolah tidak ada lagi tempat berlindung di Mekah. Akhirnya, Rasulullah saw menginstruksikan umat Muslim untuk hijrah ke Ethiopia. Di negeri itu ada raja yang adil lagi bijaksana.


Hijrah ke Ethiopia ini berdasarkan wahyu yang Allah turunkan pada nabi-Nya,


قُلۡ يَٰعِبَادِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمۡۚ لِلَّذِينَ أَحۡسَنُواْ فِي هَٰذِهِ ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٞۗ وَأَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٌۗ إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجۡرَهُم بِغَيۡرِ حِسَابٖ  


Artinya, “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar [39]: 10)


Alasan Rasulullah memilih negeri Ethiopia sebagai tempat hijrah adalah karena raja di negeri itu adalah seorang yang adil dan tidak ada seorang pun yang terzalimi olehnya. Raja itu bernama Ashhamah an-Najasyi. 


Tepatnya, hijrah ini dilaksanakan pada bulan Rajab tahun ke-5 kenabian. Rombongan hijrah itu terdiri dari 16 sahabat Nabi (12 orang laki-laki dan 4 orang wanita), dikepalai oleh Utsman bin Affan ra yang membawa serta Ruqayyah putri Rasulullah saw. (lihat Al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, hal. 92)


Hijrah pertama ke Ethiopia ini berjalan dengan aman. Meski hampir saja terpergoki oleh orang-orang kafir Quraisy. 


Beberapa saat kemudian, orang-orang yang hijrah ke Ethiopia mendapat kabar bawa seluruh penduduk Mekah telah masuk Islam. Hal ini membuat mereka sangat bergembira dan memutuskan untuk kembali ke Mekah. Sesampainya di Mekah, ternyata kabar itu dusta. Penindasan orang kafir Quraisy justru semakin menjadi.


Rasulullah menginstruksikan lagi pada kaum Muslim untuk hijrah ke Ethiopia kedua kalinya. Kali ini, rombongan yang hijrah terdiri dari 83 orang laki-laki -jika Ammar bin Yasir terhitung di dalamnya, sebab, riwayat yang menyatakan keikutsertaannya dalam rombongan ini masih diragukan kevalidannya- dan 18 atau 19 orang wanita. (lihat Al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, hal. 93)


Hijrah kedua ini lebih sulit daripada hijrah sebelumnya. Kaum Musyrikin berupaya keras agar misi hijrah kali ini gagal.


Politik Diplomasi Kaum Kafir Quraisy


Kaum Musyrikin yang tidak senang dengan hijrahnya kaum Muslimin, dan mereka tahu ke mana tujuannya itu, mereka melakukan upaya diplomatis dengan mengutus dua orang pilihan yang telah teruji dan cerdik, yaitu Amr bin al-Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah -sebelum keduanya masuk Islam-, untuk melakukan diplomasi dengan raja Ethiopia.


Kedua utusan kafir Quraisy itu membawa banyak aneka hadiah dan bingkisan untuk dipersembahkan kepada sang raja, para pembantunya, dan para pendeta kerajaan. Dengan bawaan yang mereka persembahkan itu, mereka berharap menolak permohonan kaum Muslimin untuk mengungsi sementara di negerinya.


Namun, di luar dugaan. Ashhamah an-Najasyi (raja Ethiopia) itu menolak untuk menyerahkan umat Islam, meskipun hanya satu orang. Bahkan, sang raja mengajak diskusi orang-orang Muslim tentang agama baru yang mereka anut.


Ashhamah an-Najasyi berkata, “Agama apa sebenarnya yang telah membuat kalian memisahkan diri dari kaum kalian, sementara kalian tidak memeluk agamaku atau agama lainnya?”


Ja’far bin Abi Thalib, juru bicara pihak Muslim menjawab dengan runtut, tegas, dan penuh kejujuran. 


Menurut Ja’far, dulu (sebelum ada Islam) kami berada dalam kesesatan, lalu Allah mengutus utusan yang dari golongan kami, yang kami tahu betul siapa dia. Kami pun mengikuti agama yang dibawanya. Tapi, kami mendapat penindasan demi penindasan. Hingga akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Ethiopia, negeri dengan raja adil lagi bijaksana.


Setelah mendengar ucapan panjang lebar dari Ja’far, sang raja memintanya untuk membacakan potongan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Ja’far pun membacakan ayat pertama dari surat Maryam. Mendengar ayat itu, sang raja langsung menangis. “Sungguh bacaan ini dan apa yang dibawa Isa benar-benar keluar dari sumber yang sama,” aku sang raja.


Sang raja lantas mengusir dua orang utusan kafir Quraisy itu. Namun belum lama, dua orang itu kembali lagi dan meminta sang raja untuk menanyakan perihal Nabi Isa kepada Ja’far. Akhirnya, sang raja memenuhi permintaan mereka dan menyuruh seseorang untuk menanyai tentang Nabi Isa pada Ja’far.


“Kami akan jawab tantang dia (Nabi Isa) sesuai apa yang kami dengar dari Muhammad saw. Dia (Nabi Isa) adalah seorang hamba Allah, ruh dari-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, sang perawan,” jawab Ja’far.


Sang raja membenarkan jawaban itu dan mengembalikan semua hadiah yang baru saja diberikan oleh dua orang utusan kafir Quraisy.


Hikmah dan Pelajaran


Keidentikan Ajaran Nabi Isa as dengan Nabi Muhammad saw


Ketika Ashhamah an-Najasyi -penguasa Ethiopia- mendengar penjelasan terkait Nabi Isa as dari Ja’far bin Abi Thalib, sang raja mengakui kemiripan antara ajaran Islam dengan agama sang raja yang memeluk agamanya Nabi Isa. 


Artinya, memang sejatinya ajaran Nabi Isa itu memiliki hubungan yang erat dengan ajaran Nabi Muhammad. Sama-sama mengakui Nabi Isa sebagai nabi, bukan tuhan. Hal ini juga menegaskan bahwa sejatinya semua nabi dan rasul membawa ajaran akidah yang sama. Hanya saja terjadi distorsi oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. (lihat Al-Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 94)


Orang Islam Boleh Meminta Bantuan non-Muslim


Bagi umat Muslim, ketika dalam kondisi terdesak, boleh meminta perlindungan kepada non-Muslim. Baik kepada kalangan ahli kitab seperti Ashhamah an-Najasyi, atau kepada kalangan orang musyrik seperti beberapa orang Quraisy yang menjamin kemanan dakwah Rasulullah saw: seperti Abu Thalib, paman Rasulullah, dan Muth’im bin ‘Adi yang menjamin keselamatan Rasulullah setelah kembali dari Thaif.


Meminta perlindungan kepada non-Muslim diperbolehkan selama tidak merusak atau membahayakan aktifitas dakwah Islam, menggoyahkan atau merubah hukum Islam, ataupun menyebabkan dilanggarnya beberapa hal yang diharamkan dalam Islam. (lihat Al-Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 94)


Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Mahasantri Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta