Sirah Nabawiyah

Khalifah Al-Amin: Kisah Tragis Pemimpin yang Hedonis dan Ambisius

Rabu, 14 Agustus 2024 | 10:00 WIB

Khalifah Al-Amin: Kisah Tragis Pemimpin yang Hedonis dan Ambisius

Ilustrasi kegelapan. Sumber: Canva/NU Online

Di tengah gemerlap kekuasaan Dinasti Abbasiyah, muncul sosok Khalifah Al-Amin yang dikenal bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai pejabat yang tenggelam dalam gaya hidup hedonis. Harta melimpah dan kuasa tak terbatas menjadi obsesi yang menggiringnya pada keputusan-keputusan yang kontroversial dan bahkan meruntuhkan dinasti keluarganya sendiri.


Ia adalah Abu ‘Abdillah Muhammad ‘Al-Amin’ bin Harun ‘al-Rasyid’ alias putra Harun Arrasyid. Dirinya merupakan khalifah ke-6 Dinasti Abbasiyah yang memerintah pada Jumadil Akhir 194 H/809 M hingga Muharram 198 H/813 M. Ia adalah anak dari raja termasyhur Dinasti Abbasiyah, Harun Arrasyid  dari istrinya yang bernama Zubaidah binti Ja’far Al-Akbar. Ayah Zubaidah adalah anak dari Khalifah ke-2 Dinasti ‘Abbasiyah, Abu Ja’far Al-Mansur (Raghib as-Sirjani, al-Mawsu’ah al-Muyassarah fit Tarikh al-Islami, [Kairo: Iqra’, 2014], jilid I, hal. 249).


Muhammad putra Harun Arrasyid dikenal sebagai pria yang rupawan, perkasa, pemurah dan pandai bertutur kata. Namun, ia juga dikenal sebagai pribadi yang boros, mudah dihasut, dan jahil dalam ihwal tata negara. Al-Amin naik tahta pada umur 23 tahun selepas kewafatan ayahandanya (Jalaluddin as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, [Doha: Kementrian Wakaf dan Agama Islam Qatar, 2013M/1434 H], hal.473). 


Sepanjang kekhilafahannya, ia kerap terlibat persengketaan politik dengan saudara sebapaknya, yaitu Al-Ma’mun. Hal inilah yang membuat kepemimpinannya tidak bertahan lama, yaitu 4 tahun lebih 8 bulan dan 5 hari (Muhammad Qabbani, ad-Dawlah al-‘Abbasiyyah: Min al-Milad ila al-Suquth, [Beirut: Dar Wahy al-Qalam, 1427 H/2006 M], hal. 33). 


Pribadi yang boros
Khalifah yang memiliki 'kunyah' Abu ‘Abdillah ini terkenal boros. Ia tak segan menguras uang hasil pajak rakyat untuk kegemaran pribadi. Dua hari selepas pengangkatannya sebagai khalifah, ia langsung menguras kas negara dengan membangun lapangan untuk bermain bola di dekat Istana Al-Mansur (Tarikh al-Khulafa’, hal. 473).

 

Ia juga gemar membangun banyak istana di seantero wilayah kerajaan yang difungsikan sebagai tempat berpesta dan bersenang-senang (Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, [Riyadh: Bayt al-Afkar al-Dawliyyah, t.t.], hal. 1715). 


Al-Amin juga diketahui suka mengambil isi Baitul mal, seperti emas dan berlian untuk dihambur-hamburkan. Salah satu hobinya adalah mengoleksi hewan-hewan buas. Ia mengalokasikan dana kerajaan untuk membangun lima kapal khusus untuk mengangkut hewan-hewan koleksinya seperti singa, gajah, elang, ular, dan kuda. Kapal-kapal tersebut dilengkapi perkakas mirip busur untuk anak panah api yang difungsikan sebagai tambatan bagi hewan-hewan kesayangan putra pertama Harun Arrasyid itu (Tarikh al-Khulafa’, hal. 478).


Al-Amin sangat suka akan hiburan. Ia akan menjadi sangat pemurah kepada orang-orang yang mampu menghiburnya. Ia bahkan mengutus para bawahannya untuk melakukan scouting artis-artis penghibur di berbagai wilayah. Ia membekali utusan-utusannya itu dengan dana khusus demi menyukseskan tugas mereka (Tarikh al-Khulafa’, hal. 478).


Al-Amin juga menggemari sya’ir. Ia rela membayar mahal kepada siapa saja yang bisa memuaskan kegemarannya itu. Menurut penulis Tarikh Al-Khulafa’, Al-Amin pernah memberikan emas sebanyak isi satu kapal kepada penyair yang membacakan sya’ir berikut:


هِجْرَتُكِ حَتَّى قُلْتِ لَا يَعْرِفُ الْقِلى # وَزُرْتُك حَتّى قُلْتِ لَيْسَ لَهُ صَبْرُ

 

Aku tinggalkan engkau hingga aku katakan “ia tak mengenal benci” #
Dan ku kunjungi engkau hingga kau berkata; ‘Ia tak mengenal sabar’


Di kesempatan lain, ia memberikan tiga karung uang kepada Abdullah at-Taimi setelah penyair tersebut sukses meneruskan bait-bait sya’ir yang mangkrak karya Al-Amin sendiri (Tarikh al-Khulafa’, hal. 479).


Persengketaan politis dengan al-Ma’mun
Harun Arrasyid bisa jadi telah memprediksi bahwa akan ada sengketa politis di antara putra-putranya: Muhammad Al-Amin, ‘Abdullah Al-Ma’mun, dan Al-Qasim Al-Mu’tamin. Oleh karena itu, ia mengatur urutan suksesi khilafah dengan menjadikan Al-Amin sebagai putra mahkota pertama disusul Al-Ma’mun dan kemudian Al-Mu’tamin. Bahkan wasiat Arrasyid ditulis dan digantung di Ka’bah.  


Sayangnya wasiat yang sudah gamblang tersebut buyar setelah Al-Amin naik tahta. Perdana menteri Al-Amin, al-Fadhl bin ar-Rabi’ yang takut posisinya terancam jika kelak tampuk kekuasaan jatuh ke tangan Al-Ma’mun, menghasut Al-Amin untuk tidak menghapuskan status saudara-saudaranya dari jalur suksesi khilafah. 

 

Baru setahun menjabat, Al-Amin mencopot saudara sebapaknya, al-Qasim al-Mu’tamin (w. 280 H) dari jabatannya sebagai gubernur di Manbij. Selanjutnya, al-Fadhl bin ar-Rabi’ menghasut Al-Amin untuk menobatkan putranya yang masih menyusu, Musa sebagai putra mahkota. 


Al-Amin mengutus bawahannya untuk membujuk Al-Ma’mun mau legowo melepas posisi sebagai putra mahkota pertama dan memberikan posisinya pada keponakannya, Musa. Al-Ma’mun menolak mentah-mentah tawaran ini.


Tidak tinggal diam, Al-Amin merespons penolakan ini dengan mencopot surat wasiat Arrasyid di dinding Ka’bah dan merobeknya. Ia bergeming kala penasihat-penasihatnya, salah satunya Khuzaimah bin Hazim, memberi masukan agar Al-Amin tidak bertindak gegabah dengan melengserkan Al-Ma’mun dari posisi putra mahkota. Al-Amin justru langsung menasbihkan Musa yang masih bayi sebagai putra mahkota dan memberinya julukan ‘an-Nathiq bil Haq’ (Tarikh al-Khulafa’, hal. 473-474).  


Tak berhenti di situ, pada 195 H, Ia mengutus Ali bin Isa bin Haman dengan 40.000 pasukan untuk membunuh al-Ma’mun. Al-Ma’mun meresponsnya dengan mengirim Thahir bin al-Husein disertai 4.000 pasukan. Dengan semangat membara, pasukan Thahir sukses mengalahkan pasukan Al-Amin, bahkan membunuh Ali. Kepala Ali dipenggal dan kemudian diarak keliling Khurasan. Al-Ma’mun akhirnya dibaiat oleh warga Khurasan sebagai khalifah. 


Kekalahan ini merusak mentalitas kubu Al-Amin. Al-Amin menyesal atas keputusannya memakzulkan Al-Ma’mun sebagai putra mahkota. Orang-orang berkepentingan di kubunya tetap memanas-manasi Al-Amin agar tetap melanjutkan konfrontasi melawan Al-Ma’mun.


Kubu Al-Ma’mun terus menuai kemenangan. Hal ini tidak lepas dari kepribadian Al-Amin yang suka berfoya-foya dan tak cakap dalam menjalankan roda pemerintahan di suasana perang saudara. Makkah dan Madinah akhirnya jatuh ke tangan Al-Ma’mun, menyusul sebagian besar Iraq. Jatuhnya rezim Al-Amin tinggal menunggu waktu. 


Pada 198 H, Baghdad yang menjadi ibukota ‘Abbasiyah dikepung pasukan Al-Ma’mun yang dipimpin Thahir bin al-Husein. Ibukota hanya bertahan selama 15 hari. Para elit dan tentara kerajaan akhirnya membelot dari kubu Al-Amin. Al-Amin dan keluarga mengungsikan diri ke kota al-Mansur. Hasrat politis yang membawa pada akhir yang tragis (Tarikh al-Khulafa’, hal. 475-476). 


Perang sipil yang melibatkan Al-Amin dan Al-Ma’mun membawa kesengsaraan bagi umat Islam sendiri. Mereka yang telah mengalami manisnya masa kepemimpinan Harun Arrasyid selama 23 tahun, harus rela menelan pil pahit ketika kepemimpinan berpindah ke tangan Al-Amin.

 

Kas negara dikuras demi kepentingan raja. Baik kepentingan akan berfoya-foya, maupun kepentingan akan memperpanjang riwayat kekuasaan. Baghdad, ‘Kota Seribu Satu Malam’, menjadi kota yang porak-poranda dan biang syak-wasangka.


Al-Amin akhirnya mati setelah diculik dan kemudian dipenggal lehernya oleh orang-orang suruhan Thahir bin al-Husein. Kepala Sang Khalifah ke-4 Wangsa ‘Abbas ini dikirim ke Al-Ma’mun. Al-Ma’mun sendiri mengecam pembunuhan saudara sebapaknya itu. (Tarikh al-Khulafa’, hal. 477).

 

Ia menghukum Thahir yang ia anggap biang kerok, dengan mengasingkannya. Ia mengklaim ingin melakukan pendekatan damai dalam mengakhiri pertikaian dengan abangnya itu. Namun apa daya, nasi telah menjadi bubur.


Rifqi Iman Salafi, alumnus Sastra Inggris UIN Jakarta, Pesantren Al-Hikmah 2 Brebes, dan Pesantren Darus-Sunnah Ciputat